Kamis, 29 November 2007

KONTEKSTUALISASI YANG DILAKUKAN NOMMENSEN DALAM PENGINJILAN DI TANAH BATAK

Oleh : P. Erianto Hasibuan
1. Pendahuluan
Dalam sejarahnya, berteologi dilakukan dengan beberapa cara: (1) bertolak dari Kitab Suci, yakni menafsirkan kebenarannya lalu mengaplikasikannya ke dalam situasi / kenyataan tertentu; (2) melakukan kontekstualisasi teologi, yakni teologi yang telah jadi/baku (di tempat/masa lain) diaplikasikan ke dalam situasi / kenyataan tertentu (lokal, masa kini); dan (3) menganalisis kenyataan-kenyataan lokal/masakini (dengan memanfaatkan ilmu-ilmu terkait secara lintas/multi disiplin) lalu merefleksikannya dengan kebenaran Kitab Suci.
Berteologi dengan ketiga cara di atas masing-masing dapat disebut berteologi tradisional, kontekstualisasi teologi (dalam arti memanfaatkan teologi impor) dan berteologi kontekstual. Cara terakhir menjadi pilihan karena dengan itu berlangsung upaya serius untuk membumikan teologi dalam kenyataan riil-aktual manusia/masyarakat/kehidupan setempat. Firman menjadi daging dengan langsung menjawab pergumulan dan harapan setempat. Dengan cara berteologi ini panggilan dan pemberitaan gereja tidak semata urusan sorga saja, melainkan bersangkut-paut dengan masalah-masalah manusia dan masyarakat setempat. Dengan begitu gereja mengikuti Yesus Kristus dalam pelayanan-Nya bukan sekadar menerima penebusan-Nya.[1]
Nomensen dalam penginjilannya ke tanah Batak dapat berhasil hingga ia diberi gelar sebagai Rasul di tanah Batak, sudah barang tentu karena ia mampu untuk membumikan teologi dalam kenyataan aktual masyarakat Batak. Dalam proses pembumian tersebut terlebih dahulu harus memahami makna dari apa yang disampaikan oleh Firman Tuhan didalam Alkitab, kemudian menerapkannya sesuai dengan kondisi masyarakat setempat untuk lebih dapat dipahami.
2. Ruang Lingkup Bahasan
Makalah ini akan membahas Kontekstualisasi dalam Alkitab, materi pokok untuk membahas hal tersebut akan diambil dari buku David J. Hesselgrave dan Edward Rommen dalam bukunya Contextualization : Meanings, Methods, and Models. Kemudian akan dibahas berbagai interpretasi yang dilakukan oleh Nommensen terhadap Firman Allah yang dibumikan sesuai dengan keadaan masyarakat Batak.
KONTEKSTUALISASI DALAM ALKITAB
1. Perjanjian Lama
Hesselgrave [2] menyajikan adanya perjumpaan lintas budaya didalam PL yaitu, bidang politik (Yos.9; 1Raj.15:16-22), agama (Hak.6:31-32; 1Raj.18:1-40; Zef.1:4-8), perdagangan (2Taw.8:17-18; 9:21; Yeh.27:12-25), dan seni (Yeh.23:11-21).
Surat yang dikirim nabi Yeremia kepada orang-orang buangan di Babel (Yer.29). Surat ini menganjurkan adaptasi secara sadar dan sengaja, yang dalam pemahaman modern dikenal dengan kontekstualisasi. Nabi mendesak para pembacanya untuk menantikan dengan sabar pembebasan dari Tuhan, dan dirikanlah rumah untuk kamu diami, buatlah kebun untuk kamu nikmati hasilnya, ambillah isteri untuk mem-peranakkan anak laki-laki dan perempuan; ambilkanlah isteri bagi anakmu laki-laki dan carikanlah suami bagi anakmu perempuan, supaya mereka melahirkan anak laki-laki dan perempuan, agar di sana kamu bertambah banyak dan jangan berkurang (Yer.29:5-6). Ayat ini merupakan ajakan bagi mereka untuk hidup normal ditanah pembuangan, lagipula Yeremia mengajak mereka untuk mengusahakan kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang (7). Istilah “usahakanlah” (darasy) harus dipahami dalam pengertian “bekerja untuk mencapai sesuatu atau atas nama seseorang” (seperti dalam Ul.11:12 [dipelihara]; 23:26; Ezr.9:12). Dengan demikian, mengusahakan kesejahteraan kota berarti, “meningkatkannya dengan usaha-usaha mereka sendiri dan memmeliharanya dengan hati-hati”.
Peringantan Yeremia tersebut dimaksudkan untuk mendorong orang-orang Yahudi agar aktif memberikan sumbangan bagi kesejahteraan umum kota Babel. Ajakan “berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN” mengisyaratkan bahwa kegiatan mereka tetap didasarkan pada hubungan perjanjian antara bangsa Yahudi dengan Allah. Artinya orang-orang Yahudi harus menjalani hidup beriman mereka dengan cara yang sesuai dengan kebudayaan orang Babel, namun tetap beriman Yahudi.
Sekalipun didalam PL ada contoh-contoh tentang perjumpaan lintas budaya dimana suatu kelompok berusaha memperoleh keuntungan dengan menyesuaikan diri dan memanfaatkan perbedaan-perbedaan kebudayaan. Namun demikian, karena upaya-upaya awal dalam adaptasi lintas budaya itu jarang melibatkan suatu berita keagamaan dan seringkali dimulai oleh orang-orang bukan Israel, maka pada akhirnya Hesselgrave, mengatakan bahwa yang terjadi didalam PL bukanlah sebagai “Kontekstualisasi” melainkan sebagai upaya-upaya awal untuk mengatasi halangan-halangan kebudaayaan.
2. Perjanjian Baru
Hesselgrave mengemukakan tiga pendekatan untuk meneliti kegiatan kontekstualisasi dalam Perjanjian Baru, yaitu :
Pertama, mengarahkan perhatian kepada orang-orang percaya pertama yang bergumul untuk melakukan transisi kepada budaya-budaya lain. Perjumpaan tersebut meliputi bidang politik (Kis.16:19-40), agama dan filsafat (Kis.17:16-34), sihir (Kis.13:4-12) dan ekonomi (Kis.19:23-41).
Kedua, mengarahkan perhatian kepada hasil kegiatan sastra yang dilakukan oleh orang yang berusaha mengkontekstualisasikan pemberitaanya, yaitu terbentuknya dokumen-dokumen PB itu sendiri. Masing-masing kitab Injil, misalnya mencerminkan kebudayaan penulisnya dan jelas ditujukan kepada pembaca yang khusus. Injil Matius bersifat Yahudi. Hal ini tercermin dalam penekanannya kepada nubuat kemesiasan, kedudukan raja, gelar-gelar ilahi Yesus dan istilah-istilah Aram yang mencirikan bahasa Yunani-Yahudinya. Lukas jelas mencerminkan pola pikir Helenis. Hal ini terlihat dalam pemakaian bahasa Yunani yang baik, dengan kosa kata beragam yang diperkaya dengan sejumlah istilah Semit.
Ketiga, menyoroti pergumulan para pemimpin jemaat mula-mula, untuk menciptakan dasar bagi kontekstualisasi Injil yang berkesinambungan, untuk bekerja secara berkesinambungan untuk menyingkirkan sejumlah halangan didalam maupun di luar jemaat. Pergumulan yang mendasar adalah apakah perlu melakukan penginjilan kepada orang non Yahudi, hal ini bukan saja pertentangan dikalangan jemaat, bahkan Paulus dan Petrus bergumul untuk masalah ini, dan bahkan harus diselesaikan melalui sidang di Yerusalem (Gal.2:11-16; Kis.15). Namun Allah memacukan dan mengarahkan jemaat mula-mula, seperti yang terjadi dalam peristiwa pelayanan Petrus kepada Kornelius (Kis.10). Dapat dikatakan bahwa kegiatan orang - orang percaya mula-mula dalam hal kontekstualisasi, bukanlah semata-mata tanggapan sukarela atau spontan terhadap perbedaaan-perbedaan budaya. Malah, Roh Allah mendorong mereka untuk menghapuskan tembok pemisah antara orang - orang Yahudi dan dunia bukan Yahudi.
Beberapa contoh didalam PB yang menggambarkan peristiwa kontekstualisasi antara lain adalah peristiwa di Listra (Kis.14:8-20), Paulus setelah menyembuhkan seorang lumpuh dianggap sebagai dewa Hermes (Paulus) dan dewa Zeus (Barnabas). Paulus menggunakan konsep politeisme yang dipahami oleh orang-orang Listra untuk mengajak mereka berbalik kepada Allah yang hidup, yang telah menjadikan langit dan bumi (Kis.14:15-17). Kasus kedua adalah pergumulan para murid perihal bagaimana menerapkan unsur-unsur tertentu dari berita injil secara budaya. Dalam Kisah Para Rasul 15, Lukas melaporkan secara rinci persidangan di Yerusalem. Menurut dia, perdebatan didorong oleh beberapa orang Farisi yang bertobat (5) bahwa orang belum sungguh-sunggh bertobat kecuali kalau ia disunat sesuai dengan kebiasaan Musa (1). Apa yang tampaknya dipertaruhkan di sini adalah persoalan, bagaimanakah dari tradisi keagamaan Yahudi yang merupakan bagian yang tidak boleh dibuang dari Injil Kristen, dan karenanya berlaku dalam segala kebudayaan (supra-kultural). Untuk memecahkan persoalaan ini, para rasul harus memutuskan unsur-unsur kekristenan yang bersifat mengikat bagi semua orang percaya, apapun latar belakang etnis dan keagamaan mereka. Petrus, Paulus dan Barnabas, membuka perdebatan dengan laporan tentang apa yang telah Allah lakukan di dalam dan melalui mereka. Hal-hal ini membawa pada kesimpulan bahwa Allah telah mengambil keputusan untuk memungkinkan orang-orang bukan Yahudi bergabung kedalam komunitas Kristen, tanpa harus mempunyai hubung-an sebelumnya dengan Israel dan pranata-pranatanya (Kis.15:7-12). Dengan demikian sudah jelas bahwa keselamatan tergantung pada hubungan pribadi dengan Allah dan bukan pada tradisi-tradisi dan pranata-pranata dari suatu kelompok etnis tertentu.
KONTEKSTUALISASI YANG AUTENTIK DAN RELEVAN
Dalam melakukan penafsiran secara kontekstual harus memperhatikan ”ciri-ciri setempat”, beberapa prinsip yang sangat penting dalam penafsiran secara kontekstual dikemukakan oleh Hesselgrave[3], sebagai berikut :
Pertama, tafsiran kontekstual yang autentik harus mencerminkan cara pemahaman dari budaya penerima, dan membandingkan kebenaran Alkitab dengan gagasan-gagasan budaya begitu rupa sehingga kebenaran Injil dikukuhkan dan diberitakan. Para penafsir akan memikirkan baik tempat-tempat di mana kebenaran dicerminkan maupun tempat-tempat di mana ia diubah oleh budaya penerima itu.
Kedua, kebenaran Injil dipertahankan dengan cara menegaskan sifat unik “kontekstualisasi” yang terdapat dalam Alkitab, yang diilhamkan oleh Roh Kudus. Memang penafsiran tidak dapat terelakkan baik dalam menerjemahkan maupun dalam menerapkan Alkitab. Namun kewibawaan Alkitab dijelaskan dan teologi dogmatika dibuat mungkin, hanya jika teks Alkitab itu dibeda-bedakan dari tafsiran tentang teks itu. Si pelaku kontekstualisasi autentik menolak untuk menempatkan penafsiran pribadi didalam teksnya.
Ketiga, suatu buku tafsiran adalah sarana tepat untuk berita-berita khusus yang disesuaikan dengan budaya setempat, yang menghasilkan pemahaman dan dampak.
NOMMENSEN DAN PENGINJILAN DI TANAH BATAK
1. Lebih jauh dengan Nommensen
Ia lahir pada perbatasan sebelah utara Jerman pada tahun terbunuhnya kedua pekabar Injil di Tapanuli, yaitu 1834. Asalnya dari keluarga yang sangat miskin, sehingga ketika masih kecil Nommensen terpaksa mencari nafkahnya sendiri. Pada usia 12 tahun, sedang ia sakit keras oleh karena lumpuh kakinya, maka ia bernazar untuk membawa Injil kepada orang-orang kafir jika Allah mau menyembuhkan penyakitnya itu. Ia mengalami dikabulkannya permohonannya itu, dan dengan sangat rajin ia meyia­p kan diri untuk memenuhi janjinya tadi. RMG memberikan pendidikan kepadanya serta mengutusnya pada tahun 1861. Pemerintah Belanda mengizinkan dia tinggal hanya di daerah yang didudukinya, sehingga Nommensen memilih Barus, tempat Van der Tuuk dahulu. Ia bermaksud untuk masuk kepedalaman dari Barus, akan tetapi usahanya gagal. Kemudian ia di Tapanuli Selatan, beserta dengan para pekabar Injil yang lain. Tetapi pada tahun 1864 ia memberanikan diri masuk ke daerah Silindung. Sangat pahit penga-lamannya di situ. Hampir tak tertahan olehnya tindakan-tindakan orang-orang Batak yang selalu mengganggu dia seperti juga halnya terhadap orang-orang Kristen Batak yang pertama. Di Huta Dame (Kampung Damai) ia mengumpulkan jemaat yang pertama, yang berdekatan dengan Saitnihuta, suatu pasar yang penting di daerah itu. Pada tahun 1873 ia mendirikan gedung Gereja, sekolah dan rumahnya sendiri di Pearaja, yang letaknya ditepi lereng sawah-sawah Silindung itu. Disitulah menetap pusat Gereja Batak sampai sekarang ini.
Akan tetapi pada saat diperluasnya daerah pengkristenan kesebelah Utara, maka Nommensen sendiri berpindah kepantai danau Toba, kekampung Sigumpar, untuk merintis jalan disitu. Disitu ia menetap sejak tahun 1891 sampai waktu ajalnya pada tahun 1918.
Nommensen bukan saja merupakan perintis yang berani dan tahan uji, ia juga memimpin usaha pengkristenan itu secara bijaksana dan dengan perspektif yang luas. Sudah pada tahun 1881 ia ditetapkan oleh pusat RMG menjadi "Ephorus" atas segala usaha Pekabaran Injil itu. Gelarnya itu, yang artinya sebenarnya tidak lain daripada "pengawas," masih berlaku digereja itu sampai sekarang ini untuk menyebut ketuanya. Kemudian pada ulang tahunnya ke-70 maka Universitas Bonn memberikan gelar Doktor kehormatan kepadanya.[4]
2. Kontekstualisasi dalam Penginjilan Nommensen di Tanah Batak
Kebiasaan Nommensen sejak tiba di Tanah Batak adalah dengan melakukan perjalanan yang selalu membawa kotak obat dan alat musik (harmonika). Melalui kotak obat tersebut ia banyak menyembuhkan orang sakit, melalui obat tersebut ia mencerita-kan tentang obat untuk orang sakit, tetapi ada obat yang paling mujarab yang menyem-buhkan manusia selamanya, yaitu Firman Tuhan.[5]
Pada pertemuan kepala-kepala kampung (raja-raja huta) di Silindung Nommensen datang dengan membawa sebuah buku tebal yaitu Alkitab, saat seseorang berkata :
” Ai sian dia do ro on si bontar mata on ? Tupa begu do i ulaning? Ise paloashon ibana mian di huta on? Atik na matamata ni Bolanda do ibana? (Dari mana datangnya si mata biru ini, mungkinkah dia hantu? Siapa yang mengijinkannya tinggal disini? Apakah dia bukan mata-mata Belanda?)[6]
Nommensen langsung menjawab :
“ Donganmu na do au, disuru Tuhanta mandapothon hamu. Ndang nadisuru Bolanda au, alai Tuhanta do marsuru au asa malua hamu sian rante ni sibolis i” (Saya adalah teman kalian yang disuruh Tuhan, bukan mata-mata Belanda, Tuhan menyuruhku agar kalian terbebas dari kungkungan setan)
“ Siapa Tuhan yang kau maksud, bukankah Tuhan kita Mulajadi Nabolon?”
“ Ya, itu betul, tetapi kalian belum mengenal Mulajadi Nabolon dengan benar. Mulajadi Nabolon itu adalah Yang Maha Kuasa, Pencipta Langit dan Bumi. Dialah Allah Tri Tunggal yang disebut dengan Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus, yang kita kenal dengan nama Tuhan kita Yesus Kristus”.

Nommensen tentulah telah memahami dengan baik bagaimana pemahaman orang Batak perihal Mulajadi Nabolon dan debata natolu, yang tiga pendirian, tiga kuasa,[7] sehingga pada kesempatan tersebut ia memperkenalkan Yesus Kristus melalui konsep Allah Tri-tunggal. Konsep ini akan lebih dapat diterima karena mereka juga te-lah memahami konsep debata si tolu sada, andai Nommensen langsug memperkenalkan Yesus Kristus maka hal tersebut akan sulit mereka terima karena nama itu tidak mereka kenal dan kemungkinan akan terjadi penolakan karena adanya nama lain selain nama yang sudah mereka kenal dengan baik yaitu Bataraguru, Sorisohaliapan dan Balabulan.
Didalam penginjilannya tidaklah jarang Nommensen menerima upaya pembunuhan dari penduduk setempat, utamanya dari para dukun (datu) yang merasa sumber penghasilan mereka terganggu karena obat yang kerap diberikan Nommensen kepada yang sakit secara gratis. Salah satu peristiwa upaya pembunuhan tersebut dilakukan oleh raja Panalungkap, ia datang ke rumah Nomensen di Silindung, ia langsung masuk ke dapur berpura-pura meminta api untuk menyalakan rokoknya. Si Jamalayu pembantu Nommensen sedang asyik mengaduk bubur didalam kuali. ”Jamalayu, kau dipanggil tuanmu”, kata Panalungkap. Si Jamalayu pergi kedepan menyongsong tuannya. Panalungkap dengan leluasanya mengadukkan racun ke dalam bubur. Panalungkap keluar dan pura-pura menyapa tuan rumah. Dia memperhatikan dan mengamati keadaan korbannya setelah selesai makan, dia yakin bahwa korbannya akan mati menggelepar. Apa yang terjadi ? Setelah memakan bubur bercampur racun dengan kenyang ternyata Nommensen segar bugar. Raja Panalungkap yang meracuninya men-jadi sangat heran karena menurut perkiraannya pastilah korban mati menggelepar. Dia sangat ketakutan, selanjutnya ia menjadi ingin mengetahui kegiatan Nommensen. Panalungkap mulai mengikuti kotbah Nommensen, dengan maksud untuk mengamati Nommensen, tetapi pada kenyataannya keadaan Nommensen ternyata tetap segar dan sehat. Suatu kali dalam kotbahnya Nommensen berkata :
” kita harus saling mengasihi dengan sepenuh hati karena kita sama-sama anak Tuhan. Jangan membalaskan perbuatan yang jahat tetapi doakanlah agar seorang yang berbuat jahat menjadi pengikut Tuhan”
Karena selalu merasa takut, maka setelah mendengarkan kotbah tersebut Panalungkap memberanikan diri untuk mendatangi Nommensen dan berkata:
” Apakah yang tuan katakan tadi siang di Gereja akan tuan lakukan, yaitu memafkan orang yang ingin membunuh kita, misalnya?” Oh. Ya, kata Nommensen.
Kemudian Panalungkap meminta ampun, minta dimaafkan oleh Nommensen, dia berkata :
” Beberapa kali aku menyuruh orang untuk membunuh tuan selalu gagal. Akhirnya aku sendiri yang mau melakukannya dengan memasukkan racun kedalam bubur tuan yang sedang dimasak oleh si Jamalayu. Aku heran, tuan tidak mati, tapi anjing tuan yang memakan sebagian bubur itu langsung mati menggelepar.”
Nommensen menjawab :
” Kau rupanya yang meracuni anjingku dan mau membunuhku, ya? Jadi kau sudah betul-betul mengetahui kesalahanmu ? Berdoalah kepada Tuhan, Dia yang menjagaiku dan juga menjaga engkau. Aku maafkan kau, tinggalkan kebiasaanmu yang buruk, jadilah pengikut Yesus”.
Panalungkap berkata lagi :
” Semula saya pikir tuan seorang tukang sihir atau dukun besar yang tak mempan diracun. Saya takut bahwa tuan tahu perbuatanku, sehingga suatu saat tuan akan membunuhku”.
Nommensen menjawab :
” Dukun dan tukang sihir yang paling kuat hanya satu. Dia yang menciptakan langit dan bumi, Dia tahu semuanya. Dia bisa menghidupkan orang mati. Dia maha Penyayang, mau berkorban demi orang lain, demi seluruh umat manusia. Dia Maha pemaaf, dimaafkan-Nya semua orang yang mau bertobat. Apakah kau sudah bertobat?. [8]
Akhirnya si Raja Panalungkap menangis dan bersujud meminta maaf kepada Nommensen. Dikemudian hari dia menjadi teman baik Nommensen. Si Raja Panalung-kap menjadi orang setempat pertama yang menjadi sahabat Nommensen, selanjutnya setelah rajin marguru (mempelajari Alkitab) dia dibaptis dengan nama Nikodemus.
Peristiwa di atas, menunjukkan bagaimana Nommensen menjelaskan kuasa dan kasih Tuhan, lewat pemahaman mereka tentang perdukunan. Budaya batak pada masanya yang mengandalkan kuasa perdukunan untuk menyakiti orang lain, ternyata tidak memiliki kekuatan ditangan Tuhan. Sekaligus Nommensen menjelakan kasih Tuhan melalui pengampunan, yang secara nyata dilakukannya.
Tonggak keberhasilan Nommensen dalam penginjilan terjadi pada tanggal 23 September 1864, saat akan dilakukan Pesta Besar untuk memuja Sombaon (tempat keramat) Siatas Barita yang berada di bukit Siatas Barita Simarangkir. Lebih dari seribu orang berkumpul di Onan Sitahuru, banyak dari mereka yang memegang senjata. Dalam upacara itu sudah tersiar berita bahwa yang akan dikorbankan adalah sibontar mata (orang Eropah) siapa lagi kalau bukan Nommensen. Sebelumnya Nommensen telah menulis 15 buah surat yang diberikan kepada raja-raja Silindung yang berkumpul di Onan Sitahuru. Dalam suratnya ia meminta tidak ada yang boleh membawa senjata seperti biasa. Tidak boleh saling bermusuhan sesama raja. Tidak boleh mempersembahkan manusia yang diyakini membawa sesajen kepada Ompu.
Pada saat acara berlangsung ada seseorang Sibaso yang kesurupan dan mengaku sebagai Ompu dari Siatas Barita :
” Kalian tidak menghormatiku, mana kuda yang mau kalian persembahkan itu?”
Ada yang menjawab : Ini Ompung, periksalah kudanya sangat bagus”.
Kemudian Si Ompung tadi menjawab dengan bengis :
” Kalian tidak menghormatiku, di mana orang yang membawa persembahan kalian ini untukku?”
Maksud Sibaso yang mengaku ompung tadi adalah manusia yang akan dibunuh didepan panggung upacara ritual. Biasanya sesajen harus diantarkan oleh seseorang manusia ke alam gaib, manusia ini harus dibunuh agar sesajen diterima oleh Sisombaon. Kemudian Sisombaon marah dan berkata :
” Aku datangkan bala kepada kalian, karena tidak menghormatiku.”
Pada saat Sibaso mulai beraksi, Nommensen berkata kepada seorang raja disampingnya:
” Ompung (kakek) siapa yang ingin cucunya dibunuh?, Bukankah semua orang tua sayang kepada anak cucunya?, Percayakah kalian bahwa Sibaso itu nenek moyang kalian? Itulah Sibolis (iblis), jangan percaya perkataan dia.” (Nommensen sambil menuding Sibaso)

Kemudian Nomensen berkata dengan tegas :
” Mungkinkah seorang kakek atau nenek (nenk moyang) menginginkan cucunya dikur-bankan untuknya? ” ”Nalilu do hamu, holan Debata do sisombaon” (Kalian tersesat, hanya Tuhan yang perlu disembah).
” yang mengaku nenek moyang kalian itu adalah setan yang menyesatkan manusia, yang membuat kalian selalu bertengkar, berperang satu sama lain. Mana ada orang yang tega membunuh cucunya. Jangan mau disesatkan oleh iblis. Justru untuk itulah aku datang, agar kalian bebas dari keterikatan dengan pemujaan setan. Tuhan kita adalah sangat penyayang dan pengasih. Darah anaknya Yesus sudah dikurbankan untuk menebus kita semua, jangan ada lagi kurban-kurban manusia seperti yang kamu lakukan sebelumnya, jangan mau mendengar orang yang mengaku nenek moyang, tidak ada lagi hubungan manusia yang hidup dengan yang sudah mati. Kita akan bertemu nanti di Surga, bila kita semua percaya akan darah penebus itu”.[9]
Nomensen berdoa kepada Tuhan Trituggal. Selanjutnya hujan deras datang tiba-tiba, angin puting beliung membahana, petir menggelegar, orang berlari kucar kacir, semuanya ketakutan, Nommensen tidak jadi dikurbankan. Setelah itu tidak ada lagi acara mamele sombaon (memuja setan).
Terlepas dari adanya peristiwa alam yang membubarkan para peserta dalam kejadian tersebut, tetapi penjelasan Nommensen akan Kasih Tuhan dan penebusan oleh darah Yesus yang diawali dengan membukakan kepada masyarakat setempat bahwa suara yang mereka dengar adalah suara setan, merupakan pemahaman yang mendalam dari Nommensen akan pola pikir mereka yang harus diluruskan. Selanjutnya penyesat-an tersebut telah dikaitkan oleh Nommensen dengan belenggu permusuhan yang memang kerap terjadi di masyarakat setempat dan merupakan fakta yang tak terbantah-kan. Pada kondisi ini Nommensen menguraikan peran Yesus sebagai penebus. Melalui pidato singkat tersebut, Nommensen dapat menjelaskan makna kehadirannya untuk membawa Kabar Baik (Barita Na Uli) kepada orang Batak dengan cara sesuai pemahaman mereka.
Setelah peristiwa ini, perkembangan penginjilan mengalami kemajuan pesat, tetapi hambatan masih tetap berlangsung dari berbagai pihak. Persoalan yang menonjol adalah penyingkiran orang-orang kristen baru dari tengah-tengah masyarakat, hingga akhirnya Nommensen membuat suatu tempat bagi para Kristen baru ini, yang disebut dengan huta dame yaitu kampung perdamaian.
Nommensen sendiri dipandang sebagai raja kampung Kristen itu. Meskipun orang-orang kristen pertama itu perlu dilindungi dari kebencian teman-teman sesukunya dalam suatu kediaman khusus, tetapi Nommensen melihat dengan jelas bahwa pengucilan tersebut mengakibatkan kerugian-kerugian yang mengkhawatirkan, dan bahwa kedudukannya sebagai kepala desa mereka adalah kurang cocok. Oleh sebab itu ia menyatakan dengan tegas sekali, bahwa ia tidak termasuk partai manapun dan tidak dapat memihak. ”Mereka yang berhubungan dengan saya, orang-orang yang telah dibaptis maupun yang belum dibaptis, tidaklah berada di bawah kekuasaan saya. Saya adalah guru mereka, tetapi bukan raja mereka. Tak seorang pun yang sudah Kristen atau yang mau menjadi Kristen dengan demikian berubah sukunya : sebaliknya rajanya yang sampai sekarang ini tetaplah rajanya selanjutnya.[10]
Nommensen begitu memahami budaya Batak, hingga ia tidak membuka peluang kepada pemahaman bahwa Kekristenan akan menghilangkan masyarakat dari ikatan budayanya utamanya adalah kekerabatan mereka dalam satu rumpun marga. Bahkan Nommensen justru menggunakan kekerabatan batak dari sisi marga tersebut untuk mempercepat penginjilannya, dengan cara tetap mengijinkan masyarakat Batak untuk melakukan acara adatnya kecuali untuk ritual-ritual yang berbau kekafiran, secara tegas ditentang olehnya.
SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Menurut Hesselgrave, didalam PL sesungguhnya belumlah ditemukan adanya kontekstualisasi tetapi sebagai upaya-upaya awal untuk mengatasi halangan-halangan kebudayaan. Didalam PB sudah ditemukan adanya kontekstualisasi sebagaimana yang dilakukan oleh penulis Matius bersifat Yahudi dan Lukas Helenis. Dalam tulisan Paulus juga ditemukan kontekstualisasi seperti peristiwa di Listra (Kis. 14:8-20), pembedaan antara Yahudi dan bukan Yahudi (Kis.15).
2. Kontekstualisasi yang autentik dan relevan adalah penafsiran yang dilakukan dengan memperhatikan ciri-ciri setempat. Dengan demikian dalam penafsiran harus dapat dilakukan dengan : Pertama, memahami budaya penerima, Kedua, menghindari penafsiran pribadi didalam teksnya, Ketiga, memahami budaya setempat.
3. Nomemmensen dalam penginjilannya di tanah Batak dapat dengan baik membumikan kebenaran Firman Tuhan karena ia memahami dengan baik budaya Batak. Hal tersebut terlihat, seperti Konsep Allah Tri Tunggal, dijelaskannya dengan menggunakan konsep Mulajadi Na Boleon dan debata si tolu sada, Kuasa dan Kasih Allah, dijelaskan kepada Panalungkap yang hendak membunuhnya. Firman Allah sebagai penyembuh dijelaskannya melalui obat yang diberikannya.
4. Puncak dari keberhasilan Nommensen dalam membumikan pengajaran Firman Tuhan adalah pada upacara sombaon, Nommensen memahami baik budaya permusuhan dan ketakutan akan kutukan di masyarakat Batak, dan dengan lugas ia mengidentifikasi penyebab semuanya itu adalah iblis yang selalu mereka sembah. Lalu dengan baik ia memperkenalkan Yesus anak Allah yang sudah mengorbakan darahnya, sehingga mereka tidak perlu lagi melakukan ritual-ritual penumpahan darah, bahkan secara tegas Nomensen menyatakan putusnya hubungan antara orang hidup dan mati, suatu hal yang selalu dipercaya oleh masyarakat setempat.
5. Penolakan Nommensen sebagai kepala desa di huta dame, merupakan fakta bahwa ia telah melakukan kontekstualisasi di bidang politik.

[1] Ngelow, Zakaria, D.Th Sumber : http://www.persetia.org/Kontekstual.htm
[2] Hesselgrave, David J and Rommen, Edward, Contextualization : Meanings, Methods, and Models, Baker Book House, 1989 Edisi Terjemahan oleh BPK Gunung Mulia, 2006. hal. 21 dhb.
[3] Ibid, hal. 276.
[4] Muller, Kruger, Dr. Th. Sejarah Gereja Di Indonesia. Badan Penerbitan Kristen-Jakarta, 1966. hal. 217-218.
[5] Pasaribu, Patar. M, DR. Ingwer Ludwig Nommensen Apostel di Tanah Batak, Univ. HKBP Nomensen, Medan, 2005. hal. 97.
[6] Ibid, hal.101 dhb.
[7] Kitab Batara Guru : Sumber : http://my.opera.com/raja batak
[8] Op.cit, Pasaribu. hal. 110-111
[9] Op.cit, Pasaribu. hal. 129-131
[10] Schreiner, Lothar, Adat und Evangelium. Zur bedeutung der altvolkischen Lebensordnungen fur Kirche und Mission unter der Batak in Nordsumatra, Gutterslocher Verlagshaus Ger Mohn, 1972. Edisi terjemahan oleh BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003. hal. 44.

Tidak ada komentar: