Jumat, 16 November 2007

THEOPNEUSTOS

THEOPNEUSTOS DAN DAMPAKNYA DALAM PEMAHAMAN ALKITAB

Oleh. P. Erianto Hasibuan



PENDAHULUAN

1. Apakah Teopneustos itu ?
Banyak orang Kristen mengakui Alkitab sebagai firman Allah, terutama karena Allah sendiri berbicara kepada mereka melalui Alkitab itu. la berbicara dengan kata‑kata Alkitab sedemikian rupa sehingga tiap keragu-raguan mengenai asal, sifat serta wewenang ilahinya hilang sama sekali. Akhirnya, hanya Allah yang dapat menjadi saksi yang memadai bagi diriNya sendiri. Segala kesaksian lain, seperti bukti sejarah ataupun kesimpulan filsafat hanya mempunyai nilai sekunder.
Jutaan orang Kristen dari tiap generasi bersaksi bahwa ketika mereka membaca Alkitab atau mendengar uraian daripadanya, maka mereka tergerak untuk mengakui kuasa yang melekat padanya. Calvin melihat hal ini sebagai pekerjaan Roh Kudus yang memberi kesaksian ilahi mengenai Alkitab, dan dia menyebutnya "kesaksian batin dari Roh Kudus" yang "lebih kuat dari bukti apapun".
Orang Kristen yang mengenal "kesaksian batin" ini akhirnya hanya dapat bersaksi bahwa memang demikian halnya. Alkitab datang kepada kita dengan kuasa karena merupakan firman Allah yang menyentuh kita sampai ke lubuk hati. Di dalamnya kita menjumpai keagungan suatu panggilan tanpa syarat yang hanya dapat digambarkan sebagai suara dan firman Allah, Pencipta dan Penebus kita. [1]
Dengan mengatakan Kitab Suci adalah Firman Tuhan kita percaya bahwa Allah telah berfirman dan Kitab Suci itulah bentuk Firman tersebut. Tetapi persoalan selanjutnya adalah, Bagaimanakah Tuhan berfirman? Soal ini menanyakan soal ilham, inspirasi atau teopneusti Kitab Suci. [2]
Dalam 2 Tim 3: 16 dikatakan bahwa segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Kata diilhamkan Allah dalam bahasa aslinya (Yunani) adalah Theopneustos (θεόπνευστος). Bagaimana Allah menggunakan manusia dalam pengilhaman Alkitab tersebut merupakan hal yang menarik untuk dikaji, karena berdasarkan sejarah gereja sudah demikian banyak para pakar yang mencoba untuk memberikan penjelasan perihal pengilhaman tersebut.

2. Ruang lingkup pembahasan
Sekalipun terdapat berbagai pandangan perihal proses terjadinya Alkitab seperti Skriptologi Ortodoksi yang menekankan bahwa pada proses terjadinya Alkitab, Allah bertindak sebagai pengarang utama, sedangkan manusia dipakai hanya sebagai alat di dalam tanganNya. Allah tidak saja memberi do­rongan (impulsus) dan tidak saja mengilhamkan isinya (res) secara men­tah‑mentah. Dengan ajaran tentang inspirasi verbal, Ortodoksi mengung­kapkan pandangan bahwa kata‑kata (verba) Alkitab diwahyukan Allah. Ki­tab Suci diartikan sebagai "diktat" Roh Kudus, manusia sendiri selaku penulisnya hanyalah tangan (manus) atau batu tulisan (calaml) bagi Allah. Pandangan Ortodoksi ini menyokong pengertian yang tidak historis dan menyamaratakan isinya. Dan juga pandangan Luther [3] Kitab Suci berkuasa penuh (auctoritas), sudah cukup (sufficientia), sudah jelas (claritas) dan mencapai maksudnya (efficacia), yaitu keselamatan manusia. Kuasa Kitab Suci yang penuh dian­taranya nyata dalam hal Alkitab mengesahkan diri sebagai Firman Allah di dalam hati orang‑orang percaya melalui kesaksian Roh Kudus (testimonium spiritus sancti internum).
Tetapi dalam pembahasan ini yang menjadi acuan adalah 2 Tim 3 : 16 yang mana dalam ayat tersebut disebutkan diilhamkan oleh Allah atau Theopneustos (θεόπνευστος). Dengan demikian dalam tulisan ini yang akan dibahas adalah bagaimana Allah mengilhamkan FirmanNya dengan melibatkan manusia, apakah manusia hanya sebagai “robot” tanpa melibatkan pikirannya atau manusia ikut berperan dengan pikirannya. Sejauh mana peran manusia dalam Allah mengilhamkan FirmanNya untuk menjadi Alkitab merupakan hal pendukung untuk sampai kepada bagaimana hubungan faktor Allah dan manusia di dalam Kitab Suci.
Atas hal tersebut maka dalam tulisan ini pertanyaan besar yang ingin dijawab adalah : bagaimanakah hubungan faktor Allah dan manusia di dalam Kitab Suci ?
PERAN MANUSIA DALAM TEOPNEUSTOS

Biarlah Alkitab menjelaskan Alkitab, mungkin merupakan pernyataan yang sesuai digunakan untuk menjelaskan bagaimana ayat-ayat di dalam Alkitab tersebut mampu menjelaskan Alkitab itu sendiri dalam hal terjadi polemik atas berbagai hal yang menyangkut kebenaran Firman Tuhan. Hal ini setidaknya menjadi landasan berfikir yang digunakan oleh Dr. R. Soedarmo [4] dalam menguraikan alasannya menggunakan istilah teopneusti dalam menguraikan perihal ilham, inspirasi Kitab Suci.
Pemilihan perkataan teopneusti didasarkan pada pertimbangan :
1 . Teopneusti dipakai oleh Kitab Suci sendiri (2 Tim. 3:16).
2. Inspirasi, ilham, itu umum sekali. Kita memakai inspirasi atau ilham kalau kita mengatakan bahwa seorang seniman menerima suatu ide (rencana) yang bukan buah dari berpikir, melainkan dengan sekonyong‑konyong atau lambat laun datang dengan sendirinya.
Dari manakah? Barangkali hal ini dapat diterangkan secara psikologis dengan adanya bawah‑sadar (onderbewuste), barangkali soal ini tidak dapat diterangkan sama sekali. Yang dapat dikatakan ialah: Kita tak dapat menentukan dengan tegas bahwa ilham demikian itu dari Allah datangnya.
Perkataan theopneustos berisi dengan terang bahwa yang memberikan, menghembuskan (pneo), itu Allah (theos). Tetapi bagaimanakah Allah "menghembuskan" Kitab Suci ini? Inilah soal yang sukar sekali dan dengan mencari jawaban tentang soal ini kita tidak mengatakan bahwa jawaban kita akan memecahkan soal ini habis‑habisan. Teopneusti tetap rahasia. Bagaimanakah mungkin bahwa Roh Suci memakai orang‑orang yang berdosa, maka dari itu yang penuh kemungkinan menjadi tersesat? Meskipun demikian buah pemakaian Roh Suci ini menjadi sesuatu yang tidak ada salahnya.
Sejauh mana peran manusia dalam theopneustos akan diuraikan berdasarkan teori Dua Faktor berikut ini :
Di dalam membicarakan soal ini kita berhadapan dengan faktor dari Allah dan faktor dari manusia di dalam Kitab Suci. Ada yang menyebut "pembuat pertama" yaitu Roh Suci dan "pembuat kedua" yaitu orang‑orang yang dipakai Roh Suci. Jadi yang disebut pembuat kedua itu bukannya yang menulis saja, sebab kalau kita mengakui bahwa Kitab Suci adalah kanon, tidak ada kekurangan dan kelebihan, maka yang dipakai Tuhan bukan hanya yang menulis melainkan juga yang mengumpulkan tulisan‑tulisan hingga menjadi Kitab Suci. Daud tentu juga menulis mazmur‑mazmur lain daripada yang dimuat dalam Kitab Suci dan 150 mazmur itu tidak semua dari Daud. Tetapi soal ini tidak begitu penting, yang penting ialah bahwa Allah mengumpulkan 150 mazmur itu di dalam Kitab Suci, dengan alat Daud dan penulis‑penulis mazmur lain (Asaf dan lain‑lain) dan juga orang‑orang yang mengumpulkannya. Siapakah orang‑orang ini? Pertanyaan ini tidak penting. Bahwa Allah memberikan Kitab SuciNya kepada jemaat di seluruh dunia itulah yang penting. Memang hanya pembuat yang pertamalah, Roh Kudus, yang sungguh penting. Yang kedua, hanyalah alat dalam tangan Tuhan, meskipun ia alat yang hidup, bukannya benda mati.
Bagaimanakah hubungan antara Roh Suci dengan manusia dalam Kitab Suci? Manakah buah Roh Suci dan manakah hasil pekerjaan orang ? Jawaban tentang pertanyaan itu pernah dicari secara memberatkan salah satu sudut dengan mengabaikan sudut lainnya. Ada yang memberatkan faktor dari Allah dengan melupakan faktor dari manusia, ada yang memberatkan faktor manusia dengan memperkecil bahkan meniadakan faktor Allah.
a. Pandangan yang hanya mempertahankan faktor dari Allah (Pandangan teopne-usti cara mekanis )
Pada abad pertama Philo sudah membicarakan ini. Di dalam pembicaraannya teranglah bahwa faktor dari manusia sebenarnya tidak usah diperhitungkan di dalam Kitab Suci. Sebab orang yang dipakai Roh Suci keadaannya selama dipakai sama dengan alat‑alat, perkakas, benda yang mati. la dipakai oleh Roh Suci, ia sendiri tidak bertindak sama sekali, tidak hidup biasa. la seakan‑akan pingsan hingga tidak tahu apakah yang dilakukan. Orang yang dipakai oleh Roh Suci diumpamakan sebagai alat musik yang mati belaka. Hanya kalau Roh Suci memainkannya maka ia dapat bekerja. Dengan cara demikian Kitab Suci ditulis oleh "pembuat pertama". Pembuat kedua hanya seperti pena yang tidak mengetahui segala yang diperbuat. Keadaannya seakan-akan hilang.
Pandangan yang demikian meniadakan faktor dari manusia di dalam Kitab Suci. Sebab manusia tidak bertindak sebagai manusia tetapi hanya sebagai mesin yang pada dirinya mati sebab hanya bersifat benda. Maka harus ada yang menjalankan yang kadang‑kadang dijadikan gambaran : Roh Suci yang membunyi-kan siter atau yang meniup seruling.
Teori ini pada tiap‑tiap abad terus‑menerus ada. Dan yang dekat dengan pandangan tersebut ialah pandangan yang mengatakan bahwa orang‑orang yang menjadi alat‑alat, mendengarkan suara Roh Suci yang mendiktekan dan orang itu hanya menulis saja (fundamentalisme ‑ Amerika).
Dorongan yang menimbulkan dan menguatkan pandangan inspirasi secara mekanis ialah untuk mempertahankan karya Kitab Suci selengkapnya, untuk menghindarkan segala kritik terhadap Kitab Suci. Memang kritik makin lama makin besar dan kalau kritik ini diberi satu jari saja tentu akan menyeret seluruh tubuh. Maka pandangan ini akan mempertahankan segenap Kitab Suci dan tidak mau memberikan pegangan sedikit pun kepada kritik terhadap Kitab Suci.
Pandangan inspirasi tersebut mirip atau sama dengan pandangan agama Islam tentang Kitab Alquran. Di dalam sorga adalah suatu kitab yang menjadi kitab asli dari segala kitab-kitab yang suci. Kitab di sorga ini tidak dijadikan, ia adalah kitab yang kekal. Dan dari kitab asli (ibu kitab) ini, diberikanlah salinan‑salinan kepada manusia dengan perantaraan malaikat Jibra'il. Jumlah kitab‑kitab salinan kitab di sorga itu ada 104. Diberikan kepada Adam 10, Set 50, Henokh 30, Abraham 10. Kitab-kitab yang tersebut itu sudah hilang, tinggallah kitab yang diberikan kepada Musa, yaitu Thora; kepada Daud: Jabur; kepada Tuhan Yesus: Injil; kepada Nabi Muhammad: Alquran. Jadi pada hakikatnya isi dari segala kitab itu sama saja sebab tiap kitab adalah salinan dari kitab di sorga (Sura 4:162,163). Nabi Muhammad menghormati bangsa‑bangsa yang mempunyai kitab yang disebut bangsa Al‑Kitab. la mengharap bahwa orang Yahudi dan Kristen juga akan menerima Alquran yang isinya sama dengan Thora dan Injil.
Jadi pandangan inspirasi secara mekanis memang mirip sekali dengan pandangan inspirasi Alquran.
Kita harus ingat bahwa tujuan pandangan inspirasi mekanis itu baik, yaitu mempertahankan Kitab Suci terhadap serangan dari ilmu pengetahuan. Kritik tentang segala sesuatu, juga tentang Kitab Suci makin lama makin hebat. Maka berbahayalah bahwa Kitab Suci akan tenggelam di dalam kritik ini. Maka untuk menghindari tenggelam inilah timbul pandangan inspirasi tersebut. Kitab Suci selengkapnya buatan Allah maka dari itu ilmu pengetahuan tidak boleh memberanikan diri untuk menjamin Kitab Suci.
Jadi maksudnya baik. Hanya yang harus ditanyakan ialah: Tercapaikah maksud ini? Pandangan inspirasi secara mekanis menduga: Kalau orang yang dipakai Allah itu hanya pasif saja, maka buah pekerjaan ini suci. Kalau manusia hanya menjadi mesin saja maka buah pekerjaan Allah yang memakai mesin ini tentu baik.
Tetapi apakah dugaan ini betul? Sebab juga sebagai mesin, manusia itu penuh dosa. Manusia dengan segala miliknya berdosa selengkapnya. Bahasanya pun penuh dosa. Apakah mungkin dengan mesin yang sudah dosa selengkapnya ini dibuat sesuatu yang suci, yang betul selengkapnya?
Dengan mesin yang rusak tidak dapat dibuat sesuatu yang baik. Dengan pena yang patah tak dapat terjadi tulisan yang indah. Dan memang di dalam Kitab Suci ada kekeliruan‑kekeliruan yang banyak mengenai tata bahasa.
Apakah Roh Suci tak dapat membuat kalimat‑kalimat yang baik? Kritik dari ilmu pengetahuan tidak dihindarkan dengan pandangan inspirasi ini, malahan Roh Suci sendiri, yang mendiktekan Kitab Suci tersebut di dalam kritik. Maka kesimpulan kita: Dengan pandangan inspirasi secara, mekanis Kitab Suci tak dapat dipertahankan terhadap kritik.
b. Pandangan yang menekankan faktor manusia
Menurut teologi dialektis, Kitab Suci adalah kesaksian manusia. Namun Kitab Suci adalah istimewa, sebab:
1. Isi Kitab Suci memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus dari mati.
2. Bahwa dengan alat Kitab Suci timbullah kepercayaan, ini menjadi bukti bahwa Allah berfirman di dalam Kitab Suci.
3. Yang memberi kesaksian‑kesaksian di dalam Kitab Suci ialah orang yang istimewa. Orang‑orang yang berada hanya agar bersaksi tentang Kristus kepada kita, mereka adalah saksi‑saksi pertama, mereka melihat dan mendengarkan sendiri.
Maka dari itu Kitab Suci adalah kesaksian tentang Allah dan dengan demikian Kitab Suci dapat disebut Firman Allah.
Jadi, di dalam pandangan ini arti "Kitab Suci adalah Firman Allah" berbeda daripada kalau kita mengatakan hal itu. Manusia memberi kesaksian, kesaksian tentang Yesus, tentang Allah. Jadi sebetulnya Kitab Suci bukan Firman Allah melainkan kitab mengenai Firman Allah. Bukannya pernyataan yang langsung dari Allah. Kitab Suci ialah kesaksian‑kesaksian dari manusia tetapi ... kesaksian mengenai Yesus Kristus. Digambarkan oleh Prof v. Niftrick: nabi‑nabi, rasul- rasul, mulai dari Musa hingga Yohanes, berdiri dalam lingkaran dan semua menunjukkan jarinya ke pusat lingkaran: Tuhan Yesus. Istilah "Kitab Suci adalah Firman Allah" disebabkan oleh: Peringatan akan Firman Allah yang dulu sudah pernah didengar dan Pengharapan bahwa kita akan mendengarnya lagi di dalam Kitab ini. Pada saat murah hati Allah, kalau Ia berfirman ‑ pada saat itu Kitab Suci adalah Firman Allah.
Sudah cukuplah untuk menerangkan bagaimana pandangan Teologi Dialektis tentang Kitab Suci. Di sini harus dikatakan lagi, maksud pandangan ini baik, yaitu mempertahankan pernyataan Allah. Sayang sekali pandangan ini dimulai dengan mengakui kekalahan terhadap kritik Kitab Suci. Dimulai dengan mengakui bahwa Kitab Suci memang penuh kesalahan dan kekeliruan. Kritik dibiarkan mengadakan pengadilan tentang Kitab Suci sebebas‑bebasnya. Sebab, katanya, Kitab Suci memang hanya pekerjaan manusia saja. Tetapi iman melihat di dalam Kitab Suci sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih tinggi daripada buah pekerjaan manusia itu. Iman melihat Firman Allah di dalam Kitab Suci dan selalu mengharapkan akan mendengar Firman Allah di dalam Kitab Suci.
Di dalam pandangan ini Kitab Suci adalah hanya buah pekerjaan manusia. Kitab Suci hanya mempunyai faktor dari manusia. Jadi pada hakikatnya sama saja dengan buku‑buku lain yang bersaksi tentang Tuhan Yesus Kristus. Sebenarnya tidak terang, sebab apakah Allah hanya berfirman di dalam Kitab Suci saja dan tidak di dalam buku‑buku lain yang bersaksi tentang Kristus. Dengan perkataan bahwa Allah hanya berfirman di dalam Kitab Suci, atau dengan mengakui bahwa hanya Kitab ini yang dapat disebut Kitab Suci, Firman Allah, maka pandangan ini sudah mengikat Allah. Kedaulatan Allah tidak dapat dibatasi oleh sebab buku.
Pandangan ini selalu takut untuk "mempunyai" sesuatu dari Allah untuk mengikat kedaulatan Allah. Tetapi di sini Allah toh diikat lagi. Dari pihak yang satu mereka mengatakan bahwa Kanon Kitab Suci belum tertutup bahkan tidak boleh tertutup. Tetapi dari pihak yang lain hanya memungkinkan tulisan‑tulisan yang dari penulis Kitab Suci yang dapat menambah kitab‑kitab dalam kanon. Dengan demikian timbullah kesukaran‑kesukaran. Orang mau menghindari soal faktor dari manusia dan dari Allah tetapi terpaksa melanggar asasnya sendiri (kedaulatan Tuhan tak boleh diikat).
Lagi pula pandangan terhadap Kitab Suci ini pandangan yang dualistis:
1. Pandangan secara ilmu pengetahuan (ilmu sejarah, ilmu kesusastraan dan lain‑lain).
2. Pandangan secara kepercayaan.
Seakan‑akan pandangan pertama dan kedua sama sekali tidak saling mempengaruhi. Seakan‑akan saya dapat memandang sebuah buku sebagai biasa, yang dapat saya adili habis‑habisan dan buku ini dapat saya pandang sebagai buku yang istimewa yang hanya dapat dipakai Roh Suci. Sebuah buku yang ternyata banyak kekeliruan, kebodohan dan kesalahannya, itu sebaik‑baiknya hanya menjadi buku yang mungkin memuat cerita‑cerita yang indah, tetapi hormat terhadap buku itu tentu tidak tinggi lagi.
Syukurlah di dalam praktik pada umumnya pandangan ini tidak dipakai dan seakan‑akan pandangan itu juga mengatakan Kitab Suci itu Firman Allah dengan arti yang juga kita pakai. Seandainya pandangan ini konsekuen dijalankan, tak ada sesuatu yang tetap, sebab segala sesuatu yang dikatakan mengenai Kitab Suci hanya mengenai tulisan manusia saja. Syukurlah pada umumnya konsekuensi ini tak terdapat.
Menurut Bruce Milne[5], pengilhaman berarti Allah langsung terlibat dalam penulisan Alkitab. Seberapa jauh pengaruh ilahi itu terjadi? Dijelaskan melalui tiga perikop penting dari Perjanjian Baru, yaitu :
1. II Timotius 3:16 menyebut "Segala tulisan tulisan suci yang diilhamkan Allah". Kata "diilhamkan" secara harfiah berarti 'dihembus nafas' dan nafas Allah adalah metafora yang lazim menggambarkan karya Allah dalam Perjanjian Lama, khususnya melalui Roh‑Nya (Kej 2:7; Ayb 33:4; Mzm 33:6). Pernyataan bahwa tulisan suci itu diilhami menyatakan asal dan sifat ilahinya: tulisan suci itu dihembus oleh nafas Allah. Objek perbuatan Allah itu ialah tulisan suci, penulis‑penulis manusianya tidak disebut. Memang mereka itu terlibat, namun di sini penciptaan tulisan suci sepenuhnya dilihat sebagai perbuatan Allah. Jangkauan pengilhaman itu adalah "segala" tulisan suci, yang segalanya hasil "penghembusan” nafas Allah. Dalam konteks ini maksudnya ialah seluruh Perjanjlan Lama.
2. II Petrus 1:19‑21 mendukung dan memperluas penegasan itu. Kesaksian dari saksi mata tidak sekuat "firman yang telah disampaikan oleh para nabi" (artinya Perjanjian Lama). Firman itu tidak timbul dari renungan pribadi para penulis, melainkan "oleh dorongan Roh Kudus, orang‑orang berbicara atas nama Allah". Kata kerja Yunani fero yang diterjemahkan "didorong" dipakai juga dalam Kisah Para Rasul 27:15 tentang kapal yang terombang‑ambing oleh badai. Jelaslah bahwa Petrus menguatkan pengertian perbuatan ilahi dalam menghasilkan segala tulisan suci.
3. Yohanes 10:34‑46 mencatat diskusi tentang pemakaian kata "Allah" dalam Perjanjian Lama, dalam hal ini Mazmur 82. Yesus mengemukakan bahwa wewenang Kitab Suci tidak dapat dibatalkan. Dengan keyakinan yang sama la menyamakan kata‑kata Perjanjian Lama dengan kata‑kata Allah dalam Matius 19:5, "Dan firmanNya".
Pengakuan Yesus akan wewenang dan pengilhaman ilahi seluruh Perjanjian Lama sudah disebutkan di atas. Hal yang sama berlaku bagi tulisan Perjanjian Baru, sebagaimana ditunjukkan oleh :
kesadaran Yesus sendiri bahwa Dia berwenang secara berdaulat;
pernyataanNya bahwa la mengutarakan kata‑kata Allah sendiri;
janjiNya kepada rasul‑rasul tentang Roh Kudus yang akan menyoroti pikiran mereka;
turunnya Roh Kudus atas mereka;
· keyakinan para rasul bahwa Roh Kudus menyoroti mereka dalam pengajaran; dan
· pengakuan mereka bahwa ada kuasa ilahi khusus dalam tulisan rasuli.

Dengan demikian, seluruh Alkitab yang sampai kepada kita ditegaskan sebagai hasil pengilhaman ilahi, naskah yang dihembus nafas Allah.

HUBUNGAN FAKTOR ALLAH DAN MANUSIA
DI DALAM KITAB SUCI

Berbagai pandangan yang diuraikan di atas pada dasarnya berbicara bagaimana hubungan faktor Allah dan manusia di dalam Kitab Suci, tetapi dalam pemecahannya dilakukan dengan menyangkal salah satu dari faktor tadi. Maksudnya ialah agar dapat mempertahankan Kitab Suci terhadap kritik yang makin lama makin kuat. Tetapi dari sebab hanya memegang satu pihak saja, maka maksud tadi tak tercapai. Malahan melemahkan kedudukan Kitab Suci. Pandangan inspirasi secara mekanis ingin mendiamkan segala kritik tentang Kitab Suci, juga tentang bentuk Kitab Suci, tentang kalimat‑kalimatnya dan seterusnya. Tetapi dengan sendirinya kritik tidak mau diam. Sebaliknya pandangan lain hendak mempertahankan Kitab Suci dengan memberi tempat yang istimewa kepada Kitab Suci, yakni hanya pada kepercayaan. Akibatnya: Kitab Suci lenyap sebagai Kitab Suci.
Kita meletakkan keberatan‑keberatan terhadap pandangan‑pandangan inspirasi yang sudah kita bicarakan. Kalau sekarang kita akan membicarakan dengan teopneusti "secara organis " yaitu pandangan yang kita pandang terdekat dengan pernyataan Kitab Suci sendiri, maka kita harus mengulangi: Janganlah kita mengharapkan akan menjawab segala soal‑soal yang sukar‑sukar. Teopneusti adalah perbuatan Roh Suci maka tetap suatu mujizat. Dan kita menganggap teopneusti organis tidak untuk menjawab segala soal. Memang dengan ini agak berkurang soal‑soal yang tidak terjawab, tetapi masih tinggal banyak pertanyaan yang tidak menerima jawaban. Kita menerima teopneusti organis karena inilah yang paling terang dinyatakan dalam Kitab Suci sendiri. Teopneusti secara mekanis disangkal oleh Kitab Suci sendiri, sebab di dalam Kitab Suci dinyatakan dengan terang bahwa alat‑alat, orang‑orang, yang dipakai Roh Suci untuk menjelmakan Kitab Suci itu tidak mati atau pingsan. Mereka menjalankan pikirannya sendiri, menjuruskan pikirannya menurut kehendaknya sendiri (Kayafas), malahan kadang‑kadang mereka menentang maksud Allah (Bileam), kadang‑kadang mereka ingin menulis tetapi dilarang oleh Allah (Why. 10:4). Orang‑orang yang dipakai oleh Roh Suci tidak menjadi mesin, tetapi tetap manusia yang berakal budi. Lagi pula orang‑orang itu bukannya atom yang tidak berhubungan dengan masyarakat pada zamannya, yang mempunyai lingkungan‑lingkungannya sendiri, berasal dari tingkatan masyarakatnya sendiri‑sendiri, dengan peradaban rohani maupun jasmani masing‑masing. Segala sesuatu ini melarang kita untuk menganggap teopneusti secara mekanis.
Berdasarkan penerimaan terhadap teopneusti secara organis, maka teopneusti mungkin dibedakan sebagai berikut :
a. Teopneusti dalam nabi‑nabi :
Di sini seakan‑akan ada jarak antara nabi yang menerima perintah dengan Roh Suci yang memberikan perintah, maka perintah datangnya dari luar. Nabi-nabi merasa dengan terang bahwa mereka hanya alat saja. Jalan yang dilalui pesan Allah dalam nabi‑nabi juga terdapat di dalam Rasul Yohanes tatkala akan menulis Kitab Wahyu.
b. Teopneusti di dalam para penyair :
Di sini tidak ada suatu perintah yang datang dari luar jiwa. Si penyair mengatakan perasaannya, menyatakan pandangannya, segala sesuatu ini akibat dari teopneusti, dorongan dari Roh Suci yang menjuruskan segala sesuatu agar dapat menjadi pernyataan bagi orang‑orang di kemudian hari. Jadi, di sini pernyataan Roh Suci tidak hanya melalui saja akan orang-orang yang dipakai, akan tetapi meresap di dalam hatinya, bisa dikatakan: menjadi darah dan dagingnya.
c. Bentuk yang ketiga adalah campuran a dan b, teopneusti rasul‑rasul
Rasul‑rasul telah mendengarkan segala sesuatu yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus Kristus. Maka tatkala mereka menjadi rasul, pernyataan sudah menjadi "daging dan darah", dan oleh karena mereka melihat dunia yang masih dalam kegelapan, maka pernyataan yang sudah menjadi darah daging mendorong mereka untuk melanjutkan apa yang sudah diterima. Akan tetapi tiap‑tiap rasul dan rasul‑rasul bersama juga pernah mendengarkan perintah dari luar, perintah Tuhan Yesus agar mereka, pergi ke seluruh dunia: Petrus agar pergi ke Kornelius, Paulus di dalam perjalanan ke Damsyik, Filipus agar pergi ke Gaza. Jadi, teopneusti dalam rasul‑rasul mirip dengan bentuk a dan mirip dengan bentuk b juga.




SIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
1. Dengan pandangan inspirasi secara, mekanis Kitab Suci tak dapat dipertahankan terhadap kritik.
2. Berdasarkan pernyataan dalam Kitab Suci sendiri kita mengakui pandangan teopneusti yang organis. Di sini kedua, faktor, dari Allah dan dari manusia, tidak disangkal salah satunya.
3. Pandangan teopneusti secara organis tidak lain hanya mengucap syukur kepada Allah yang memberikan firmanNya kepada manusia di dalam bentuk yang dapat dipahami manusia. Memang kasih Allah nyata, bahwa Ia tidak membuang bentuk‑bentuk manusia. Anak Allah sendiri pun hendak menjadi manusia. Lain jalan untuk menyelamatkan manusia tidak ada. Maka jalan itu dipakai juga oleh Tuhan.
Demikianlah pandangan teopneusti secara organis. Di sini diulangi lagi bahwa pandangan ini tidak timbul untuk memecahkan segala soal. Kita percaya bahwa Kitab Suci itu firman Allah. Tidak oleh karena tidak ada perkara yang tidak terang di dalam Kitab Suci dan tidak oleh karena kita dapat menerangkan sejelas‑jelasnya pekerjaan Roh Suci tentang Kitab Suci. Tetapi kita percaya, meskipun Kitab Suci masih menimbulkan soal‑soal yang sukar dan tak dapat dipecahkan. Roh Suci yang memberikan kepercayaan ini. Kepercayaan itu lebih kuat daripada ilmu pengetahuan. Pengetahuan berdasarkan budi manusia, padahal budi manusia mudah salah. Tetapi Roh Suci, Tuhan sendiri, tidak dapat keliru. Maka kepercayaan, juga kepercayaan akan dasar pengetahuan kekristenan, yaitu Kitab Suci, itu lebih kuat daripada pengetahuan. Seperti yang dinyatakan dalam Kitab Suci "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat" (lbr. 11: 1).

[1] Milne, Bruce, Mengenali Kebenaran : Panduan Iman Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003. hal 52-53
[2] Soedarmo, R, Ikhtisar Dogmatika, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2002. hal 57
[3] Becker, Deter, Pedoman Dogmatika : Suatu Kompendium Singkat, BPK Gunung Mulia, 2001. hal. 45.
[4] Soedarmo, op cit hal. 57-76
[5] Milne, op cit hal. 56-57

Tidak ada komentar: