Kamis, 29 November 2007

KONTEKSTUALISASI YANG DILAKUKAN NOMMENSEN DALAM PENGINJILAN DI TANAH BATAK

Oleh : P. Erianto Hasibuan
1. Pendahuluan
Dalam sejarahnya, berteologi dilakukan dengan beberapa cara: (1) bertolak dari Kitab Suci, yakni menafsirkan kebenarannya lalu mengaplikasikannya ke dalam situasi / kenyataan tertentu; (2) melakukan kontekstualisasi teologi, yakni teologi yang telah jadi/baku (di tempat/masa lain) diaplikasikan ke dalam situasi / kenyataan tertentu (lokal, masa kini); dan (3) menganalisis kenyataan-kenyataan lokal/masakini (dengan memanfaatkan ilmu-ilmu terkait secara lintas/multi disiplin) lalu merefleksikannya dengan kebenaran Kitab Suci.
Berteologi dengan ketiga cara di atas masing-masing dapat disebut berteologi tradisional, kontekstualisasi teologi (dalam arti memanfaatkan teologi impor) dan berteologi kontekstual. Cara terakhir menjadi pilihan karena dengan itu berlangsung upaya serius untuk membumikan teologi dalam kenyataan riil-aktual manusia/masyarakat/kehidupan setempat. Firman menjadi daging dengan langsung menjawab pergumulan dan harapan setempat. Dengan cara berteologi ini panggilan dan pemberitaan gereja tidak semata urusan sorga saja, melainkan bersangkut-paut dengan masalah-masalah manusia dan masyarakat setempat. Dengan begitu gereja mengikuti Yesus Kristus dalam pelayanan-Nya bukan sekadar menerima penebusan-Nya.[1]
Nomensen dalam penginjilannya ke tanah Batak dapat berhasil hingga ia diberi gelar sebagai Rasul di tanah Batak, sudah barang tentu karena ia mampu untuk membumikan teologi dalam kenyataan aktual masyarakat Batak. Dalam proses pembumian tersebut terlebih dahulu harus memahami makna dari apa yang disampaikan oleh Firman Tuhan didalam Alkitab, kemudian menerapkannya sesuai dengan kondisi masyarakat setempat untuk lebih dapat dipahami.
2. Ruang Lingkup Bahasan
Makalah ini akan membahas Kontekstualisasi dalam Alkitab, materi pokok untuk membahas hal tersebut akan diambil dari buku David J. Hesselgrave dan Edward Rommen dalam bukunya Contextualization : Meanings, Methods, and Models. Kemudian akan dibahas berbagai interpretasi yang dilakukan oleh Nommensen terhadap Firman Allah yang dibumikan sesuai dengan keadaan masyarakat Batak.
KONTEKSTUALISASI DALAM ALKITAB
1. Perjanjian Lama
Hesselgrave [2] menyajikan adanya perjumpaan lintas budaya didalam PL yaitu, bidang politik (Yos.9; 1Raj.15:16-22), agama (Hak.6:31-32; 1Raj.18:1-40; Zef.1:4-8), perdagangan (2Taw.8:17-18; 9:21; Yeh.27:12-25), dan seni (Yeh.23:11-21).
Surat yang dikirim nabi Yeremia kepada orang-orang buangan di Babel (Yer.29). Surat ini menganjurkan adaptasi secara sadar dan sengaja, yang dalam pemahaman modern dikenal dengan kontekstualisasi. Nabi mendesak para pembacanya untuk menantikan dengan sabar pembebasan dari Tuhan, dan dirikanlah rumah untuk kamu diami, buatlah kebun untuk kamu nikmati hasilnya, ambillah isteri untuk mem-peranakkan anak laki-laki dan perempuan; ambilkanlah isteri bagi anakmu laki-laki dan carikanlah suami bagi anakmu perempuan, supaya mereka melahirkan anak laki-laki dan perempuan, agar di sana kamu bertambah banyak dan jangan berkurang (Yer.29:5-6). Ayat ini merupakan ajakan bagi mereka untuk hidup normal ditanah pembuangan, lagipula Yeremia mengajak mereka untuk mengusahakan kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang (7). Istilah “usahakanlah” (darasy) harus dipahami dalam pengertian “bekerja untuk mencapai sesuatu atau atas nama seseorang” (seperti dalam Ul.11:12 [dipelihara]; 23:26; Ezr.9:12). Dengan demikian, mengusahakan kesejahteraan kota berarti, “meningkatkannya dengan usaha-usaha mereka sendiri dan memmeliharanya dengan hati-hati”.
Peringantan Yeremia tersebut dimaksudkan untuk mendorong orang-orang Yahudi agar aktif memberikan sumbangan bagi kesejahteraan umum kota Babel. Ajakan “berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN” mengisyaratkan bahwa kegiatan mereka tetap didasarkan pada hubungan perjanjian antara bangsa Yahudi dengan Allah. Artinya orang-orang Yahudi harus menjalani hidup beriman mereka dengan cara yang sesuai dengan kebudayaan orang Babel, namun tetap beriman Yahudi.
Sekalipun didalam PL ada contoh-contoh tentang perjumpaan lintas budaya dimana suatu kelompok berusaha memperoleh keuntungan dengan menyesuaikan diri dan memanfaatkan perbedaan-perbedaan kebudayaan. Namun demikian, karena upaya-upaya awal dalam adaptasi lintas budaya itu jarang melibatkan suatu berita keagamaan dan seringkali dimulai oleh orang-orang bukan Israel, maka pada akhirnya Hesselgrave, mengatakan bahwa yang terjadi didalam PL bukanlah sebagai “Kontekstualisasi” melainkan sebagai upaya-upaya awal untuk mengatasi halangan-halangan kebudaayaan.
2. Perjanjian Baru
Hesselgrave mengemukakan tiga pendekatan untuk meneliti kegiatan kontekstualisasi dalam Perjanjian Baru, yaitu :
Pertama, mengarahkan perhatian kepada orang-orang percaya pertama yang bergumul untuk melakukan transisi kepada budaya-budaya lain. Perjumpaan tersebut meliputi bidang politik (Kis.16:19-40), agama dan filsafat (Kis.17:16-34), sihir (Kis.13:4-12) dan ekonomi (Kis.19:23-41).
Kedua, mengarahkan perhatian kepada hasil kegiatan sastra yang dilakukan oleh orang yang berusaha mengkontekstualisasikan pemberitaanya, yaitu terbentuknya dokumen-dokumen PB itu sendiri. Masing-masing kitab Injil, misalnya mencerminkan kebudayaan penulisnya dan jelas ditujukan kepada pembaca yang khusus. Injil Matius bersifat Yahudi. Hal ini tercermin dalam penekanannya kepada nubuat kemesiasan, kedudukan raja, gelar-gelar ilahi Yesus dan istilah-istilah Aram yang mencirikan bahasa Yunani-Yahudinya. Lukas jelas mencerminkan pola pikir Helenis. Hal ini terlihat dalam pemakaian bahasa Yunani yang baik, dengan kosa kata beragam yang diperkaya dengan sejumlah istilah Semit.
Ketiga, menyoroti pergumulan para pemimpin jemaat mula-mula, untuk menciptakan dasar bagi kontekstualisasi Injil yang berkesinambungan, untuk bekerja secara berkesinambungan untuk menyingkirkan sejumlah halangan didalam maupun di luar jemaat. Pergumulan yang mendasar adalah apakah perlu melakukan penginjilan kepada orang non Yahudi, hal ini bukan saja pertentangan dikalangan jemaat, bahkan Paulus dan Petrus bergumul untuk masalah ini, dan bahkan harus diselesaikan melalui sidang di Yerusalem (Gal.2:11-16; Kis.15). Namun Allah memacukan dan mengarahkan jemaat mula-mula, seperti yang terjadi dalam peristiwa pelayanan Petrus kepada Kornelius (Kis.10). Dapat dikatakan bahwa kegiatan orang - orang percaya mula-mula dalam hal kontekstualisasi, bukanlah semata-mata tanggapan sukarela atau spontan terhadap perbedaaan-perbedaan budaya. Malah, Roh Allah mendorong mereka untuk menghapuskan tembok pemisah antara orang - orang Yahudi dan dunia bukan Yahudi.
Beberapa contoh didalam PB yang menggambarkan peristiwa kontekstualisasi antara lain adalah peristiwa di Listra (Kis.14:8-20), Paulus setelah menyembuhkan seorang lumpuh dianggap sebagai dewa Hermes (Paulus) dan dewa Zeus (Barnabas). Paulus menggunakan konsep politeisme yang dipahami oleh orang-orang Listra untuk mengajak mereka berbalik kepada Allah yang hidup, yang telah menjadikan langit dan bumi (Kis.14:15-17). Kasus kedua adalah pergumulan para murid perihal bagaimana menerapkan unsur-unsur tertentu dari berita injil secara budaya. Dalam Kisah Para Rasul 15, Lukas melaporkan secara rinci persidangan di Yerusalem. Menurut dia, perdebatan didorong oleh beberapa orang Farisi yang bertobat (5) bahwa orang belum sungguh-sunggh bertobat kecuali kalau ia disunat sesuai dengan kebiasaan Musa (1). Apa yang tampaknya dipertaruhkan di sini adalah persoalan, bagaimanakah dari tradisi keagamaan Yahudi yang merupakan bagian yang tidak boleh dibuang dari Injil Kristen, dan karenanya berlaku dalam segala kebudayaan (supra-kultural). Untuk memecahkan persoalaan ini, para rasul harus memutuskan unsur-unsur kekristenan yang bersifat mengikat bagi semua orang percaya, apapun latar belakang etnis dan keagamaan mereka. Petrus, Paulus dan Barnabas, membuka perdebatan dengan laporan tentang apa yang telah Allah lakukan di dalam dan melalui mereka. Hal-hal ini membawa pada kesimpulan bahwa Allah telah mengambil keputusan untuk memungkinkan orang-orang bukan Yahudi bergabung kedalam komunitas Kristen, tanpa harus mempunyai hubung-an sebelumnya dengan Israel dan pranata-pranatanya (Kis.15:7-12). Dengan demikian sudah jelas bahwa keselamatan tergantung pada hubungan pribadi dengan Allah dan bukan pada tradisi-tradisi dan pranata-pranata dari suatu kelompok etnis tertentu.
KONTEKSTUALISASI YANG AUTENTIK DAN RELEVAN
Dalam melakukan penafsiran secara kontekstual harus memperhatikan ”ciri-ciri setempat”, beberapa prinsip yang sangat penting dalam penafsiran secara kontekstual dikemukakan oleh Hesselgrave[3], sebagai berikut :
Pertama, tafsiran kontekstual yang autentik harus mencerminkan cara pemahaman dari budaya penerima, dan membandingkan kebenaran Alkitab dengan gagasan-gagasan budaya begitu rupa sehingga kebenaran Injil dikukuhkan dan diberitakan. Para penafsir akan memikirkan baik tempat-tempat di mana kebenaran dicerminkan maupun tempat-tempat di mana ia diubah oleh budaya penerima itu.
Kedua, kebenaran Injil dipertahankan dengan cara menegaskan sifat unik “kontekstualisasi” yang terdapat dalam Alkitab, yang diilhamkan oleh Roh Kudus. Memang penafsiran tidak dapat terelakkan baik dalam menerjemahkan maupun dalam menerapkan Alkitab. Namun kewibawaan Alkitab dijelaskan dan teologi dogmatika dibuat mungkin, hanya jika teks Alkitab itu dibeda-bedakan dari tafsiran tentang teks itu. Si pelaku kontekstualisasi autentik menolak untuk menempatkan penafsiran pribadi didalam teksnya.
Ketiga, suatu buku tafsiran adalah sarana tepat untuk berita-berita khusus yang disesuaikan dengan budaya setempat, yang menghasilkan pemahaman dan dampak.
NOMMENSEN DAN PENGINJILAN DI TANAH BATAK
1. Lebih jauh dengan Nommensen
Ia lahir pada perbatasan sebelah utara Jerman pada tahun terbunuhnya kedua pekabar Injil di Tapanuli, yaitu 1834. Asalnya dari keluarga yang sangat miskin, sehingga ketika masih kecil Nommensen terpaksa mencari nafkahnya sendiri. Pada usia 12 tahun, sedang ia sakit keras oleh karena lumpuh kakinya, maka ia bernazar untuk membawa Injil kepada orang-orang kafir jika Allah mau menyembuhkan penyakitnya itu. Ia mengalami dikabulkannya permohonannya itu, dan dengan sangat rajin ia meyia­p kan diri untuk memenuhi janjinya tadi. RMG memberikan pendidikan kepadanya serta mengutusnya pada tahun 1861. Pemerintah Belanda mengizinkan dia tinggal hanya di daerah yang didudukinya, sehingga Nommensen memilih Barus, tempat Van der Tuuk dahulu. Ia bermaksud untuk masuk kepedalaman dari Barus, akan tetapi usahanya gagal. Kemudian ia di Tapanuli Selatan, beserta dengan para pekabar Injil yang lain. Tetapi pada tahun 1864 ia memberanikan diri masuk ke daerah Silindung. Sangat pahit penga-lamannya di situ. Hampir tak tertahan olehnya tindakan-tindakan orang-orang Batak yang selalu mengganggu dia seperti juga halnya terhadap orang-orang Kristen Batak yang pertama. Di Huta Dame (Kampung Damai) ia mengumpulkan jemaat yang pertama, yang berdekatan dengan Saitnihuta, suatu pasar yang penting di daerah itu. Pada tahun 1873 ia mendirikan gedung Gereja, sekolah dan rumahnya sendiri di Pearaja, yang letaknya ditepi lereng sawah-sawah Silindung itu. Disitulah menetap pusat Gereja Batak sampai sekarang ini.
Akan tetapi pada saat diperluasnya daerah pengkristenan kesebelah Utara, maka Nommensen sendiri berpindah kepantai danau Toba, kekampung Sigumpar, untuk merintis jalan disitu. Disitu ia menetap sejak tahun 1891 sampai waktu ajalnya pada tahun 1918.
Nommensen bukan saja merupakan perintis yang berani dan tahan uji, ia juga memimpin usaha pengkristenan itu secara bijaksana dan dengan perspektif yang luas. Sudah pada tahun 1881 ia ditetapkan oleh pusat RMG menjadi "Ephorus" atas segala usaha Pekabaran Injil itu. Gelarnya itu, yang artinya sebenarnya tidak lain daripada "pengawas," masih berlaku digereja itu sampai sekarang ini untuk menyebut ketuanya. Kemudian pada ulang tahunnya ke-70 maka Universitas Bonn memberikan gelar Doktor kehormatan kepadanya.[4]
2. Kontekstualisasi dalam Penginjilan Nommensen di Tanah Batak
Kebiasaan Nommensen sejak tiba di Tanah Batak adalah dengan melakukan perjalanan yang selalu membawa kotak obat dan alat musik (harmonika). Melalui kotak obat tersebut ia banyak menyembuhkan orang sakit, melalui obat tersebut ia mencerita-kan tentang obat untuk orang sakit, tetapi ada obat yang paling mujarab yang menyem-buhkan manusia selamanya, yaitu Firman Tuhan.[5]
Pada pertemuan kepala-kepala kampung (raja-raja huta) di Silindung Nommensen datang dengan membawa sebuah buku tebal yaitu Alkitab, saat seseorang berkata :
” Ai sian dia do ro on si bontar mata on ? Tupa begu do i ulaning? Ise paloashon ibana mian di huta on? Atik na matamata ni Bolanda do ibana? (Dari mana datangnya si mata biru ini, mungkinkah dia hantu? Siapa yang mengijinkannya tinggal disini? Apakah dia bukan mata-mata Belanda?)[6]
Nommensen langsung menjawab :
“ Donganmu na do au, disuru Tuhanta mandapothon hamu. Ndang nadisuru Bolanda au, alai Tuhanta do marsuru au asa malua hamu sian rante ni sibolis i” (Saya adalah teman kalian yang disuruh Tuhan, bukan mata-mata Belanda, Tuhan menyuruhku agar kalian terbebas dari kungkungan setan)
“ Siapa Tuhan yang kau maksud, bukankah Tuhan kita Mulajadi Nabolon?”
“ Ya, itu betul, tetapi kalian belum mengenal Mulajadi Nabolon dengan benar. Mulajadi Nabolon itu adalah Yang Maha Kuasa, Pencipta Langit dan Bumi. Dialah Allah Tri Tunggal yang disebut dengan Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus, yang kita kenal dengan nama Tuhan kita Yesus Kristus”.

Nommensen tentulah telah memahami dengan baik bagaimana pemahaman orang Batak perihal Mulajadi Nabolon dan debata natolu, yang tiga pendirian, tiga kuasa,[7] sehingga pada kesempatan tersebut ia memperkenalkan Yesus Kristus melalui konsep Allah Tri-tunggal. Konsep ini akan lebih dapat diterima karena mereka juga te-lah memahami konsep debata si tolu sada, andai Nommensen langsug memperkenalkan Yesus Kristus maka hal tersebut akan sulit mereka terima karena nama itu tidak mereka kenal dan kemungkinan akan terjadi penolakan karena adanya nama lain selain nama yang sudah mereka kenal dengan baik yaitu Bataraguru, Sorisohaliapan dan Balabulan.
Didalam penginjilannya tidaklah jarang Nommensen menerima upaya pembunuhan dari penduduk setempat, utamanya dari para dukun (datu) yang merasa sumber penghasilan mereka terganggu karena obat yang kerap diberikan Nommensen kepada yang sakit secara gratis. Salah satu peristiwa upaya pembunuhan tersebut dilakukan oleh raja Panalungkap, ia datang ke rumah Nomensen di Silindung, ia langsung masuk ke dapur berpura-pura meminta api untuk menyalakan rokoknya. Si Jamalayu pembantu Nommensen sedang asyik mengaduk bubur didalam kuali. ”Jamalayu, kau dipanggil tuanmu”, kata Panalungkap. Si Jamalayu pergi kedepan menyongsong tuannya. Panalungkap dengan leluasanya mengadukkan racun ke dalam bubur. Panalungkap keluar dan pura-pura menyapa tuan rumah. Dia memperhatikan dan mengamati keadaan korbannya setelah selesai makan, dia yakin bahwa korbannya akan mati menggelepar. Apa yang terjadi ? Setelah memakan bubur bercampur racun dengan kenyang ternyata Nommensen segar bugar. Raja Panalungkap yang meracuninya men-jadi sangat heran karena menurut perkiraannya pastilah korban mati menggelepar. Dia sangat ketakutan, selanjutnya ia menjadi ingin mengetahui kegiatan Nommensen. Panalungkap mulai mengikuti kotbah Nommensen, dengan maksud untuk mengamati Nommensen, tetapi pada kenyataannya keadaan Nommensen ternyata tetap segar dan sehat. Suatu kali dalam kotbahnya Nommensen berkata :
” kita harus saling mengasihi dengan sepenuh hati karena kita sama-sama anak Tuhan. Jangan membalaskan perbuatan yang jahat tetapi doakanlah agar seorang yang berbuat jahat menjadi pengikut Tuhan”
Karena selalu merasa takut, maka setelah mendengarkan kotbah tersebut Panalungkap memberanikan diri untuk mendatangi Nommensen dan berkata:
” Apakah yang tuan katakan tadi siang di Gereja akan tuan lakukan, yaitu memafkan orang yang ingin membunuh kita, misalnya?” Oh. Ya, kata Nommensen.
Kemudian Panalungkap meminta ampun, minta dimaafkan oleh Nommensen, dia berkata :
” Beberapa kali aku menyuruh orang untuk membunuh tuan selalu gagal. Akhirnya aku sendiri yang mau melakukannya dengan memasukkan racun kedalam bubur tuan yang sedang dimasak oleh si Jamalayu. Aku heran, tuan tidak mati, tapi anjing tuan yang memakan sebagian bubur itu langsung mati menggelepar.”
Nommensen menjawab :
” Kau rupanya yang meracuni anjingku dan mau membunuhku, ya? Jadi kau sudah betul-betul mengetahui kesalahanmu ? Berdoalah kepada Tuhan, Dia yang menjagaiku dan juga menjaga engkau. Aku maafkan kau, tinggalkan kebiasaanmu yang buruk, jadilah pengikut Yesus”.
Panalungkap berkata lagi :
” Semula saya pikir tuan seorang tukang sihir atau dukun besar yang tak mempan diracun. Saya takut bahwa tuan tahu perbuatanku, sehingga suatu saat tuan akan membunuhku”.
Nommensen menjawab :
” Dukun dan tukang sihir yang paling kuat hanya satu. Dia yang menciptakan langit dan bumi, Dia tahu semuanya. Dia bisa menghidupkan orang mati. Dia maha Penyayang, mau berkorban demi orang lain, demi seluruh umat manusia. Dia Maha pemaaf, dimaafkan-Nya semua orang yang mau bertobat. Apakah kau sudah bertobat?. [8]
Akhirnya si Raja Panalungkap menangis dan bersujud meminta maaf kepada Nommensen. Dikemudian hari dia menjadi teman baik Nommensen. Si Raja Panalung-kap menjadi orang setempat pertama yang menjadi sahabat Nommensen, selanjutnya setelah rajin marguru (mempelajari Alkitab) dia dibaptis dengan nama Nikodemus.
Peristiwa di atas, menunjukkan bagaimana Nommensen menjelaskan kuasa dan kasih Tuhan, lewat pemahaman mereka tentang perdukunan. Budaya batak pada masanya yang mengandalkan kuasa perdukunan untuk menyakiti orang lain, ternyata tidak memiliki kekuatan ditangan Tuhan. Sekaligus Nommensen menjelakan kasih Tuhan melalui pengampunan, yang secara nyata dilakukannya.
Tonggak keberhasilan Nommensen dalam penginjilan terjadi pada tanggal 23 September 1864, saat akan dilakukan Pesta Besar untuk memuja Sombaon (tempat keramat) Siatas Barita yang berada di bukit Siatas Barita Simarangkir. Lebih dari seribu orang berkumpul di Onan Sitahuru, banyak dari mereka yang memegang senjata. Dalam upacara itu sudah tersiar berita bahwa yang akan dikorbankan adalah sibontar mata (orang Eropah) siapa lagi kalau bukan Nommensen. Sebelumnya Nommensen telah menulis 15 buah surat yang diberikan kepada raja-raja Silindung yang berkumpul di Onan Sitahuru. Dalam suratnya ia meminta tidak ada yang boleh membawa senjata seperti biasa. Tidak boleh saling bermusuhan sesama raja. Tidak boleh mempersembahkan manusia yang diyakini membawa sesajen kepada Ompu.
Pada saat acara berlangsung ada seseorang Sibaso yang kesurupan dan mengaku sebagai Ompu dari Siatas Barita :
” Kalian tidak menghormatiku, mana kuda yang mau kalian persembahkan itu?”
Ada yang menjawab : Ini Ompung, periksalah kudanya sangat bagus”.
Kemudian Si Ompung tadi menjawab dengan bengis :
” Kalian tidak menghormatiku, di mana orang yang membawa persembahan kalian ini untukku?”
Maksud Sibaso yang mengaku ompung tadi adalah manusia yang akan dibunuh didepan panggung upacara ritual. Biasanya sesajen harus diantarkan oleh seseorang manusia ke alam gaib, manusia ini harus dibunuh agar sesajen diterima oleh Sisombaon. Kemudian Sisombaon marah dan berkata :
” Aku datangkan bala kepada kalian, karena tidak menghormatiku.”
Pada saat Sibaso mulai beraksi, Nommensen berkata kepada seorang raja disampingnya:
” Ompung (kakek) siapa yang ingin cucunya dibunuh?, Bukankah semua orang tua sayang kepada anak cucunya?, Percayakah kalian bahwa Sibaso itu nenek moyang kalian? Itulah Sibolis (iblis), jangan percaya perkataan dia.” (Nommensen sambil menuding Sibaso)

Kemudian Nomensen berkata dengan tegas :
” Mungkinkah seorang kakek atau nenek (nenk moyang) menginginkan cucunya dikur-bankan untuknya? ” ”Nalilu do hamu, holan Debata do sisombaon” (Kalian tersesat, hanya Tuhan yang perlu disembah).
” yang mengaku nenek moyang kalian itu adalah setan yang menyesatkan manusia, yang membuat kalian selalu bertengkar, berperang satu sama lain. Mana ada orang yang tega membunuh cucunya. Jangan mau disesatkan oleh iblis. Justru untuk itulah aku datang, agar kalian bebas dari keterikatan dengan pemujaan setan. Tuhan kita adalah sangat penyayang dan pengasih. Darah anaknya Yesus sudah dikurbankan untuk menebus kita semua, jangan ada lagi kurban-kurban manusia seperti yang kamu lakukan sebelumnya, jangan mau mendengar orang yang mengaku nenek moyang, tidak ada lagi hubungan manusia yang hidup dengan yang sudah mati. Kita akan bertemu nanti di Surga, bila kita semua percaya akan darah penebus itu”.[9]
Nomensen berdoa kepada Tuhan Trituggal. Selanjutnya hujan deras datang tiba-tiba, angin puting beliung membahana, petir menggelegar, orang berlari kucar kacir, semuanya ketakutan, Nommensen tidak jadi dikurbankan. Setelah itu tidak ada lagi acara mamele sombaon (memuja setan).
Terlepas dari adanya peristiwa alam yang membubarkan para peserta dalam kejadian tersebut, tetapi penjelasan Nommensen akan Kasih Tuhan dan penebusan oleh darah Yesus yang diawali dengan membukakan kepada masyarakat setempat bahwa suara yang mereka dengar adalah suara setan, merupakan pemahaman yang mendalam dari Nommensen akan pola pikir mereka yang harus diluruskan. Selanjutnya penyesat-an tersebut telah dikaitkan oleh Nommensen dengan belenggu permusuhan yang memang kerap terjadi di masyarakat setempat dan merupakan fakta yang tak terbantah-kan. Pada kondisi ini Nommensen menguraikan peran Yesus sebagai penebus. Melalui pidato singkat tersebut, Nommensen dapat menjelaskan makna kehadirannya untuk membawa Kabar Baik (Barita Na Uli) kepada orang Batak dengan cara sesuai pemahaman mereka.
Setelah peristiwa ini, perkembangan penginjilan mengalami kemajuan pesat, tetapi hambatan masih tetap berlangsung dari berbagai pihak. Persoalan yang menonjol adalah penyingkiran orang-orang kristen baru dari tengah-tengah masyarakat, hingga akhirnya Nommensen membuat suatu tempat bagi para Kristen baru ini, yang disebut dengan huta dame yaitu kampung perdamaian.
Nommensen sendiri dipandang sebagai raja kampung Kristen itu. Meskipun orang-orang kristen pertama itu perlu dilindungi dari kebencian teman-teman sesukunya dalam suatu kediaman khusus, tetapi Nommensen melihat dengan jelas bahwa pengucilan tersebut mengakibatkan kerugian-kerugian yang mengkhawatirkan, dan bahwa kedudukannya sebagai kepala desa mereka adalah kurang cocok. Oleh sebab itu ia menyatakan dengan tegas sekali, bahwa ia tidak termasuk partai manapun dan tidak dapat memihak. ”Mereka yang berhubungan dengan saya, orang-orang yang telah dibaptis maupun yang belum dibaptis, tidaklah berada di bawah kekuasaan saya. Saya adalah guru mereka, tetapi bukan raja mereka. Tak seorang pun yang sudah Kristen atau yang mau menjadi Kristen dengan demikian berubah sukunya : sebaliknya rajanya yang sampai sekarang ini tetaplah rajanya selanjutnya.[10]
Nommensen begitu memahami budaya Batak, hingga ia tidak membuka peluang kepada pemahaman bahwa Kekristenan akan menghilangkan masyarakat dari ikatan budayanya utamanya adalah kekerabatan mereka dalam satu rumpun marga. Bahkan Nommensen justru menggunakan kekerabatan batak dari sisi marga tersebut untuk mempercepat penginjilannya, dengan cara tetap mengijinkan masyarakat Batak untuk melakukan acara adatnya kecuali untuk ritual-ritual yang berbau kekafiran, secara tegas ditentang olehnya.
SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Menurut Hesselgrave, didalam PL sesungguhnya belumlah ditemukan adanya kontekstualisasi tetapi sebagai upaya-upaya awal untuk mengatasi halangan-halangan kebudayaan. Didalam PB sudah ditemukan adanya kontekstualisasi sebagaimana yang dilakukan oleh penulis Matius bersifat Yahudi dan Lukas Helenis. Dalam tulisan Paulus juga ditemukan kontekstualisasi seperti peristiwa di Listra (Kis. 14:8-20), pembedaan antara Yahudi dan bukan Yahudi (Kis.15).
2. Kontekstualisasi yang autentik dan relevan adalah penafsiran yang dilakukan dengan memperhatikan ciri-ciri setempat. Dengan demikian dalam penafsiran harus dapat dilakukan dengan : Pertama, memahami budaya penerima, Kedua, menghindari penafsiran pribadi didalam teksnya, Ketiga, memahami budaya setempat.
3. Nomemmensen dalam penginjilannya di tanah Batak dapat dengan baik membumikan kebenaran Firman Tuhan karena ia memahami dengan baik budaya Batak. Hal tersebut terlihat, seperti Konsep Allah Tri Tunggal, dijelaskannya dengan menggunakan konsep Mulajadi Na Boleon dan debata si tolu sada, Kuasa dan Kasih Allah, dijelaskan kepada Panalungkap yang hendak membunuhnya. Firman Allah sebagai penyembuh dijelaskannya melalui obat yang diberikannya.
4. Puncak dari keberhasilan Nommensen dalam membumikan pengajaran Firman Tuhan adalah pada upacara sombaon, Nommensen memahami baik budaya permusuhan dan ketakutan akan kutukan di masyarakat Batak, dan dengan lugas ia mengidentifikasi penyebab semuanya itu adalah iblis yang selalu mereka sembah. Lalu dengan baik ia memperkenalkan Yesus anak Allah yang sudah mengorbakan darahnya, sehingga mereka tidak perlu lagi melakukan ritual-ritual penumpahan darah, bahkan secara tegas Nomensen menyatakan putusnya hubungan antara orang hidup dan mati, suatu hal yang selalu dipercaya oleh masyarakat setempat.
5. Penolakan Nommensen sebagai kepala desa di huta dame, merupakan fakta bahwa ia telah melakukan kontekstualisasi di bidang politik.

[1] Ngelow, Zakaria, D.Th Sumber : http://www.persetia.org/Kontekstual.htm
[2] Hesselgrave, David J and Rommen, Edward, Contextualization : Meanings, Methods, and Models, Baker Book House, 1989 Edisi Terjemahan oleh BPK Gunung Mulia, 2006. hal. 21 dhb.
[3] Ibid, hal. 276.
[4] Muller, Kruger, Dr. Th. Sejarah Gereja Di Indonesia. Badan Penerbitan Kristen-Jakarta, 1966. hal. 217-218.
[5] Pasaribu, Patar. M, DR. Ingwer Ludwig Nommensen Apostel di Tanah Batak, Univ. HKBP Nomensen, Medan, 2005. hal. 97.
[6] Ibid, hal.101 dhb.
[7] Kitab Batara Guru : Sumber : http://my.opera.com/raja batak
[8] Op.cit, Pasaribu. hal. 110-111
[9] Op.cit, Pasaribu. hal. 129-131
[10] Schreiner, Lothar, Adat und Evangelium. Zur bedeutung der altvolkischen Lebensordnungen fur Kirche und Mission unter der Batak in Nordsumatra, Gutterslocher Verlagshaus Ger Mohn, 1972. Edisi terjemahan oleh BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003. hal. 44.

TEMPAT DAN FUNGSI HUKUM TAURAT MENURUT PAULUS

Oleh : P. Erianto Hasibuan
1. Pendahuluan
Pasca pertobatan, Paulus memiliki semanagat yang berapi-api untuk mengabdi kepada Allah, sebagai hamba setiawan ia menolak segenap kompromis dalam bentuk apapun. Bahkan ia dianggap sebagai tokoh dari sekte orang Nasrani (Kis.24:5). Se-mangat yang tak bersyarat itu terungkap dalam kehidupan yang terdiri atas penyangkal-an diri yang mutlak dan pengabdian kepada Dia yang dikasihi Paulus. Kerja keras dan lelah, haus, penderitaan, kemiskinan dan bahaya maut (1Kor.4:9-13; 2Kor.4:8 dab; 6:4-10; 11:23-27), tidak dipedulikan sama sekali mana kala Paulus menunaikan tugas yang dianggapnya sebagai tanggung jawabnya (1Kor.9:16 dab). Tidak ada sesuatupun dari semuanya itu yang mampu memisahkan Paulus dari kasih Allah dan Kristus (Rom.8:35-39). Sebaliknya, semuanya itu dianggapnya barang berharga oleh karena menyerupai dirinya dengan Gurunya yang bersengsara dan tersalib ( 2Kor.4:10 dab; Flp.3:10 dab).
Sesungguhnya Paulus tidak mau pertama-tama menegur kaum beriman, tetapi para lawan yang berusaha membujuk dan menyesatkan mereka: orang-orang Yahudi yang di mana-mana melawan dan menghalangi Paulus (Kis.13:45, 50; 14:2, 19; 17:5,13; 18:6; 19:9; 21:27), ataupun orang-orang Kristen ke-Yahudian yang ingin membebankan kuk hukum taurat pada mereka yang oleh Paulus direbut bagi Kristus (Gal.1:7, 2:4, 6:12 dab). Terhadap golongan-golongan itu Paulus tidak kenal ampun (1Tes.2:15 dab; Gal.5: 12; Flp.3:2). Gairah mereka yang sombong dan "kedagingan" dihadapi Paulus dengan daya rohani sejati yang menyatakan diri melalui kepribadiannya yang lemah (2Kor.10: 1-12:2), dan dengan sikap jujurnya yang membuktikan Paulus tidak mencari keuntung-an sendiri (Kis.18:3). Terlebih-lebih lawan Paulus itu ialah orang-orang Yahudi yang masuk Kristen dan ingin memaksakan adat-kebiasaan sendiri kepada orang-orang lain. Mereka menyalah-gunakan nama Petrus (1Kor.1:12), dan Yakobus (Gal.2:12), untuk menurunkan kewibawaan Paulus. Sebaliknya, Paulus sendiri selalu menghormati we-wenang para rasul sejati, (Gal.1:18; 2:2), walaupun mempertahankan bahwa sebagai saksi Kristus setara dengan mereka (Gal.1:11 dab; 1Kor.9:1; 15:8-11). Kalaupun terjadi bahwa sehubungan dengan perkara tertentu Paulus menentang Petrus (Gal.2:11-14), namun Paulus selalu menyatakan dirinya orang yang suka berdamai (Kis. 21:18-26).
2. Pengertian Hukum
Didalam PB istilah hukum atau hukum Tauarat merupakan terjemahan dari nomos. Menurut : The New Bible Dictionary[1] ada 6 pengertian dari penggunaan istilah hukum (nomos), yaitu :
(1) Untuk menunjukkan seluruh atau sebagian hukum dari PL. Rom.3:19a dan Rom.2: 17‑27 jelas menunjuk kepada hukum dalam PL secara keseluruhan. Dalam arti yang lebih terbatas istilah itu digunakan untuk menyebut kelima Kitab (Pentateukh) dibedakan dari dua bagian utama PL yang lain (bnd Luk.24:44). Ada beberapa tempat di mana tidak pasti apakah sebutan “Taurat Musa” hanya menunjuk kepada kelima Kitab itu, ataukah digunakan dalam arti yang lebih luas, yaitu PL tanpa “Kitab nabi‑nabi” (bnd Yoh.1:45; Kis.28:23).
(2) Menunjuk kepada sistim pemerintahan yang Musa tetapkan di Sinai. Penggunaan seperti ini kelihatan jelas khususnya dalam Surat‑surat Paulus (bnd Rom.5:13, 20; Gal.3:17, 19, 21a). Amat dekat dengan pengertian ini ialah penggunaan istilah ”di bawah hukum Taurat” oleh Paulus (1Kor.9:20; Gal.3:23; 4:4, 5, 2 1; bnd Ef.2:15; ”dari hukum Taurat” dalam. Rom.4:16). Ungkapan ini berarti berada di bawah sistim hukum Musa, atau pada 1Kor.9:20 berarti memandang diri sendiri sebagai masih terikat oleh bentuk‑bentuk kelembagaan yang ditetapkan Musa.
(3) Untuk menggambarkan hukum Allah sebagai penyataan dari kehendak Allah. (Rom. 3:20; 4:15; 7:2, 5, 7, 8, 9, 12, 16, 22; 8:3, 4, 7; 13:8, 10; 1Kor.15:56; Gal.3:13; 1Tim.1:8; Yak.1:25; 4:11). Dalam ayat‑ayat seperti itu nampak Ke-kudusan dan kewajib‑taatan yang mantap dari hukum Taurat sebagai pengungkap-an sifat Allah, yakni kudus, benar dan baik. Kewajiban untuk taat bagi manusia diungkapkan dalam istilah‑istilah ”di bawah Taurat” (1Kor.9:2 1, ennomos).
(4) Dalam arti hukum yang secara khusus dinyatakan, dalam pertentangan dengan tuntutan mengenai pekerjaan baik yang sejak awal tertulis dalam hati manusia (Rom.2:12‑14).
(5) Dalam arti yang buruk, untuk menunjukkan kedudukan orang yang menaruh perhatian kepada hukum, dan karena itu kepada perbuatan‑perbuatan atas dasar hukum, sebagai jalan pem­benaran dan penerimaan oleh Tuhan. Rumusan huponomon dalam Rom.6:14‑15; Gal.5:18 berarti ”di bawah hukum” dalam arti itu. Jika Paulus berkata ”kebenaran tanpa hukum telah dinyatakan” (Rm 3:21), ia memaksudkan kebenaran terlepas dari perbuatan‑perbuatan hukum, dan oleh sebab itu bertentangan dengan kebenaran karena justru hanyalah perbuatan‑ perbuatan. Apabila ia berkata bahwa kita telah mati bagi hukum, dan dibebaskan dari hukum (Rom.7:4, 6), ia menunjuk kepada pemutusan belenggu yang mengikat kita kepada hukum sebagai jalan diterima oleh Tuhan (bnd juga Gal.2:19). Hukum sebagai hukum, artinya sebagai perintah yang menuntut ketaatan dan menyatakan hukumannya terhadap semua pelanggaran, tidak mempunyai kemampuan atau kesempatan bagi pembenaran terhadap orang fasik. Pertentangan antara kebenaran berdasar hukum, yaitu kebenaran diri kita sendiri, dan kebenaran dari Allah yang disediakan dalam Kristus adalah pertentangan antara amal manusia dengan Injil anugerah (bnd Rom.10:3; Gal.2:21; 5:4; Flp.19). Polemik Paulus dalam Surat‑surat Roma dan Galatia adalah mengenai pertentangan ini.
(6) Hukum kadang‑kadang digunakan untuk menggambarkan suatu asas yang berpengaruh dan yang menguasai. Dalam arti ini Paulus berbicara tentang ”hukum iman” (Rom.3:27) yang dipertentangkan dengan hukum perbuatan. Pertentangan itu adalah antara asas iman dengan asas perbuatan‑perbuatan. Gagasan inilah tafsiran yang paling tepat terhadap istilah ”hukum” dalam Rom.7:21, 23, 25b; 8:2.
Jadi ada keanekaragaman dalam mengartikan istilah hukum, dan seringkali ada perbedaan makna yang dalam. Akibatnya, adalah apabila kita tidak menghargai perbedaan yang muncul dalam penggunaannya, maka kita dapat memasukkan arti yang sama sekali berbeda dari yang dimaksudkan oleh PB. Ada tempat‑tempat, terutama dalam Surat‑surat Paulus, di mana perubahan dari arti yang satu kepada yang lain terjadi dalam kalimat‑kalimat yang berdekatan. Dalam Rom.3:21, apabila kita tidak memper-hatikan dua arti yang berbeda dari kata itu, akan terjadi pertentangan yang pasti. Dalam Rom.4:14 ungkapan ”dari hukum” adalah berarti lepas dari iman. Tapi dalam ayat 16 ”dari hukum” tidaklah lepas dari iman karena mereka yang dari hukum digambarkan sebagai memiliki janji yang dikokohkan bagi mereka. Jadi di sini dituntut arti yang berbeda‑beda.
Dalam Seri Eksposisi Surat Roma No. 67 edisi bulan Juli 2007,[2] diuraikan bahwa substansi agama sejati adalah mementingkan relasi ketimbang hukum. Hal ini tidak berarti kekristenan merupakan antinomianisme karena kekristenan juga melawan antinomianisme. Tetapi kita harus mengembalikan hukum kembali kepada substansinya yang tidak boleh terlepas dari relasi. Orang-orang Farisi/Yahudi sudah menekankan hukum dalam agama, yang penting mentaati hukum. Kalau hukum itu mengatur ibadah kepada Tuhan maka tidak penting apakah orang itu mengasihi Tuhan atau tidak yang penting taat hukum.
Padahal hukum Taurat yang menjadi landasan agama Yahudi, permulaan dibuat dalam konteks relasi dan untuk mengatur relasi. Permulaan hukum itu: “Akulah TUHAN Allahmu yang membawa engkau keluar dari Mesir tanah perbudakan”, merupakan bentuk pernyataan bahwa kasih Allah demikian besar. Itu sebabnya ketaatan bangsa Israel kepada 10 hukum bukanlah terpaksa melainkan dengan kerelaan dan hati penuh kasih karena Allah telah lebih dahulu mengasihi. Lagipula, di dalam 10 hukum itu, mengatur relasi manusia dengan Allah yakni bagiamana manusia mengasihi Allah (hukum 1-4) dan mengatur relasi manusia dengan manusia, bagaimana manusia saling mengasihi (hukum 5-10). Karena itu, Tuhan Yesus mengatakan, jikalau engkau mengasihi Aku, engkau akan menuruti segala perintah ku. Agama yang menekankan hukum tanpa membangun relasi akan menghasilkan pribadi penuh kemunafikan. Tetapi jika memilik relasi penuh cinta kasih, hukum seberat apapun, pasti akan bisa ditaati.
3. Ke-Yahudian Vs Paulus
Dalam Rom.9:30-33, Paulus menggambarkan pertentangan yang ada antara dua macam sikap terhadap Allah. Yang pertama, adalah sikap orang Yahudi. Tujuan orang Yahudi ialah supaya dirinya benar dihadapan Allah, mereka menganggap hubungan yang baik dengan Allah sebagai suatu hal yang dapat dihasilkan dengan usaha sendiri. Yang kedua ialah sikap yang menunjukkan bagaimana arti yang sesungguhnya. Pada dasarnya, orang Yahudi berfikir bahwa seseorang melalui ketaatannya yang sungguh-sungguh kepada hukum Taurat, akan mendapat kredit pahala. Akibatnya, Allah berhutang kepadanya dan akan memberikan keselamatan kepadanya. Orang Yahudi berusaha supaya Allah berhutang kepadanya, padahal bangsa lain puas dengan berhutag pada Allah. Orang Yahudi berpendapat, bahwa ia dapat memperoleh keselamatan dengan melakukan hal-hal tertentu bagi Allah, bangsa lain tercengang melihat apa yang telah Allah kerjakan baginya. Orang Yahudi berusaha mencari jalan kepada Allah dengan perbuatan sendiri, bangsa lain datang melalui jalan iman.[3]
Pemahaman tersebut yang dihadapi Paulus di jemaat yang terdapat banyak orang Yahudi, seperti di Galatia orang-orang Yahudi datang mengatakan bahwa kaum beriman harus bersunat dan menaklukkan diri kepada hukum Taurat, kalau mau diselamatkan. Paulus sekuat tenaga melawan propaganda dan ajaran itu oleh karena berarti mundur selangkah dan menyia-nyiakan karya Kristus (Gal.5:4). Dengan tidak menyangkal nilai tata penyelamatan lama Paulus menentukan batasnya, oleh karena hanya tahap sementara dalam seluruh rencana penyelamatan Allah (Gal.3:23-25). Hukum Musa pada dirinya baik dan suci (Rom.7:12), dan sungguh-sungguh menyatakan kehendak Allah. Tetapi hukum Taurat tidak memberi manusia daya batiniah untuk menepatinya; dengan jalan itu hukum Taurat tidak hanya membuat manusia menjadi sadar akan dosanya dan kebutuhannya akan pertolongan dari Pihak Allah (Gal.3:19-22; Rom.3:20; 7:7-13). Adapun pertolongan yang berupa karunia belaka itu dahulu dijanjikan kepada Abraham sebelum hukum Taurat diberikan (Gal.3:16-18; Rom.4), dan dianugerahkan oleh Yesus Kristus: kematian dan kebangkitanNya sudah menghancurkan kemanusiaan lama yang diracuni dosa Adam dan menciptakan kemanusiaan baru Yesus yang menjadi prototip-nya (Rom 5:12-21). Setelah bergabung dengan Kristus melalui kepercayaan dan dijiwai oleh Roh Kudus, maka manusia selanjutnya dengan cuma-cuma menerima pembenaran sejati dan dapat hidup sesuai dengan kehendak Allah (Rom.8:1-4). Memanglah kepercayaan manusia harus menjadi nyata dalam pekerjaan, tetapi pekerjaan yang dilaksanakan berkat daya Roh Kudus (Gal.5:22-25; Rom.8:5-13), itu bukan lagi pekerjaan hukum Taurat yang padanya orang-orang Yahudi dengan angkuhnya menaruh kepercayaannya. Pekerjaan-pekerjaan itu dapat dilaksanakan oleh semua yang percaya kepada Kristus, meski datang dari kekafiran sekalipun (Gal.3:6-9, 14; Rom.4:11). Maka tata penyelama­tan Musa yang bernilai sebagai persiapan sekarang sudah ketinggalan zaman. Orang-orang Yahudi yang mau terus berpegang padanya sesungguhnya menempatkan diri di luar keselamatan yang sebenarnya. Allah mengizinkan mereka menjadi "buta", supaya kaum kafir dapat memperoleh keselamatan. Namun demikian orang-orang Yahudi tidak untuk selama-lamanya kehilangan kepilihannya dahulu, sebab Allah memang setia; ada sementara orang-orang Yahudi, yaitu "sisa kecil" yang dinubuatkan para nabi, sudah sampai percaya: dan nanti yang lain-lainpun akan bertobat (Rom.9-11). Sementara itu semua itu kaum beriman, entah orang-orang Yahudi entah bukan Yahudi, harus menjadi satu karena kasih dan saling menolong (Rom.12:1-15:13). Demikianlah pandangan luas yang sudah dirintis dalam Galatia dan dikembangkan dalam Roma. Dan berkat pan-dangan itulah maka kita mempunyai ulasan yang mengagumkan tentang masa lampau umat manusia yang berdosa (Rom.1:18-3:20), dan tentang pergumulan yang berlang-sung dalam diri setiap orang (Rom.7:14-25), tentang keselamatan yang dengan cuma-cuma dikaruniakan (Rom.3:24), daya yang terkandung dalam kematian dan kebangkitan Kristus (Rom.4:24 dab; 5:6-11), yang didalamnya orang turut serta oleh karena iman dan baptisan (Gal.3:26 dab; Rom.6:3-11), penguraian mengenai panggilan bangsa manusia menjadi anak-anak Allah (Gal.4:1-7; Rom.8:14-17), mengenai kasih Allah yang berhikmat, yang adil dan setia dalam menyelenggarakan rencana penyelamatan-Nya yang terlaksana tahap demi tahap (Rom.3:21-26; 8:31-39). Pandangan akhir zaman tetap tinggal, sebab kita memang diselamatkan dalam pengharapan (Rom.5:1-11; 8:24). Tetapi sama seperti dalam surat-surat kepada jemaat di Korintus, tekanan terletak pada keselamatan yang sudah dimulai sekarang; Roh yang dijanjikan sudah dimiliki sebagai "karunia-sulung” (Rom.8:23), sekarang orang-orang Kristen sudah siap hidup dalam Kristus, Rom 6:11, dan Kristus hidup di dalam mereka Gal 2:20.[4]
4. Teologi Paulus atas Hukum Taurat
Tom Jacobs[5] dengan jelas menguraikan bagaimana permasalahan Paulus dengan Taurat cukup rumit. Dari satu pihak ia memuji Taurat, dari lain pihak ia mengutuknya. Bagi Paulus Taurat adalah ”hukum Allah” (Rom.7:22)[6] Juga dikatakan bahwa "hukum Taurat adalah kudus" (Rom.7:12); "hukum Taurat itu baik" (ay 16). Di antara anugerah‑anugerah yang diterima Israel juga disebut ”hukum Taurat” (Rom.9:4).
Namun "dosa tidak diperhitungkan kalau tidak ada hukum Taurat" (Rom.5:13): "Oleh hukum Taurat orang mengenal dosa" (Rom 3,20). Dalam Rom.3:20 malahan dikatakan bahwa "hukum Taurat ditambahkan, supaya pelanggaran menjadi semakin banyak". Dalam perintah dosa mendapat kesempatan untuk membangkitkan di dalam diriku rupa‑rupa keinginan; sebab tanpa hukum Taurat dosa mati, akan tetapi sesudah datang perintah itu, dosa mulai hidup (Rom.7:8‑9). "Kuasa dosa ialah hukum Taurat" (1Kor.15:56); "hawa nafsu dosa dirangsang oleh hukum Taurat” (Rom.7:5). Maka tidak mengherankan bahwa ia menyebut seluruh situasi Taurat suatu ”pelayanan yang memimpin kepada penghukuman” (2Kor.3:9). Defacto Taurat berarti kutuk: ”Semua orang, yang hidup dari pekerjaan hukum Taurat, berada di bawah kutuk. Sebab ada tertulis: Terkutuklah orang yang tidak setia melakukan segala sesuatu yang tertutis dalam kitab hukum Taurat” (Gal.3:10). Singkatnya: ”Perintah yang seharusnya mem-bawa kepada hidup, ternyata justru membawa kepada kematian” (Rom.7:10).
Bagaimana hal itu mungkin? Paulus menjawab: "hukum Taurat tidak berdaya oleh daging" (Rom.8:3). Hal itu diuraikannya panjang lebar dalam Rom.7:7‑25. Dan dalam Rom.8:7 dengan tegas ia berkata bahwa ”keinginan daging tidak takluk kepada hukum Allah; hal ini memang tidak mungkin baginya”. Dan karena daging tidak dapat menuruti hukum Allah, maka Taurat juga tidak mampu memerdekakan manusia dari hukum dosa dan hukum maut (lih.Rom.8:2), sehingga dikatakan bahwa Taurat tidak dapat "menghidupkan" (Gal.3:12). Ketidakmampuan Taurat terdapat di sini, bahwa Taurat tidak dapat meniadakan ketidakmampuan manusia untuk melakukan Taurat. Maka hukum Taurat yang seharusnya membawa manusia kepada hidup, ternyata hanya menyebabkan bahwa "orang mengenal dosa" (Rom.3:20), bahwa "dosa mulai hidup" (Rom.7:9).
Bahwa Taurat begitu ineffisien, sebetulnya hanya diketahui dari wahyu Kristus Yesus. Tetapi yang paling penting bukanlah effisiensi Taurat, melainkan fungsinya. "Hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang" (Gal.3:24). Di sini perlu diperhatikan bahwa "penuntun" (paedagogos) barangkali tidak berarti guru melainkan pelayanan yang mengantar anak ke sekolah (dan membawa buku‑buku dan pensilnya). Taurat bagi Paulus sudah tidak berfungsi lagi, sejak kedatangan Kristus (lih. Rom.10:4). Hal itu dikatakan dengan sangat tegas dalam Gal.4:25: "Yerusalem sekarang hidup dalam perhambaan". Ayat ini harus dilihat dalam konteks keterangan Paulus mengenai kedua anak Abraham: "Seorang dari perempuan yang menjadi hambanya dan seorang dari perempuan yang merdeka. Tetapi anak dari perempuan yang menjadi hambanya diperanakkan menurut daging, dan anak dari perempuan yang merdeka oleh karena janji. Ini adalah suatu kiasan. Sebab kedua perempuan itu adalah dua ketentuan Allah: yang satu berasal dari Gunung Sinai dan melahirkan anak‑anak perhambaan, itulah Hagar ‑ Hagar ialah Gunung Sinai di tanah Arab ‑ dan ia sama dengan Yerusalem sekarang, karena ia hidup dalam perhambaan dengan anak‑anaknya. Tetapi Yerusalem surgawi adalah perempuan yang merdeka, dan ialah ibu kita" (ay 22‑26). Sudah dalam 2:4 dan 3:26‑28 Paulus menyebut situasi di bawah Taurat "perhambaan". Dan sekarang ia membuat seluruh bangsa Israel menjadi "anak dari perempuan yang menjadi hamba" (ay 23), walaupun mereka tentu saja berkeyakinan bahwa telah lahir "oleh karena janji". Bangsa Yahudi memandang diri sebagai turunan Iskak dan bukan turunan Ismail. Tetapi Paulus berkata bahwa orang Israel "diperanakkan menurut daging" dan tidak "oleh karena janji". Paulus melawankan situasi kedua anak ( = bangsa, umat) sebagai "dua ketentuan Allah" (harafiah: dua wasiat, "diatheke"). Seluruh fase sejarah keselamatan yang lazim disebut "Perjanjian Lama" dilawankan dengan "Perjanjian Baru".
Yang penting ialah bahwa di sini Paulus dengan jelas menunjuk kepada Perjanjian di gunung Sinai (ay 24). Dengan lain kata yang ditolak bu­kan hanya sejumlah peraturan dari Taurat, bahkan tidak hanya seluruh Taurat, tetapi seluruh fase sejarah keselamatan yang bermuara dalam Taurat. Di sini Paulus dengan paling tajam melawankan agama Yahudi dengan agama Kristiani. Maka hubungan yang dilihat oleh Paulus antara Taurat dan dosa, tidak disebabkan oleh karena pelanggaran peraturan tertentu, yang diketahui oleh Paulus. Taurat berhubungan dengan dosa, karena pengampunan dosa datang dengan Kristus dan tidak dengan Taurat.[7] Malahan ”dosa mempergunakan yang baik untuk mendatangkan kematian, supaya oleh perintah itu dosa lebih nyata lagi keadaan-nya sebagai dosa" (Rom.7:13; lih. Gal.3:21‑22). Taurat dihubungkan dengan dosa karena mencakup seluruh fase sejarah keselamatan sebelum kedatangan Kristus, artinya sebelum pengampunan dosa. Masa Taurat adalah "masa kesabaran" Allah, waktu ”Ia telah membiarkan dosa‑dosa” (Rom.3:25).
Dalam Galatia, Paulus melihat permasalahan ini melulu dari sudut orang Yahudi (lih. terutama 2:15). Dalam Roma soal diluaskan sampai kepada orang kafir, tetapi di situ pun titik pangkal adalah situasi orang Yahudi. Bagi Paulus Taurat adalah istilah dari sejarah keselamatan, dan mencakup seluruh periode sejarah bangsa Israel, sebagai persiapan untuk kepenuhan keselamatan dalam Kristus. "Sekarang, tanpa hukum Taurat, kebenaran Allah telah dinyatakan" (Rom.3:21). Maka Paulus berani berkata bahwa "tuntutan hukum Taurat digenapi dalam kita" (Rom.8:4). Paulus ”tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun tidak hidup di luar hukum Allah, karena hidup di bawah hukum Kristus” (1Kor.9:21). Penolakan Paulus terhadap Taurat, berdasarkan imannya akan Kristus. Bagi Paulus keselamatan datang atau dari Taurat atau dari Kristus; dan oleh karena bagi Paulus bukan soal lagi bahwa keselamatan datang dari Kristus, maka mustahillah datang dari Taurat. Dan karena keselamatan datang dari Kristus, yang diterima dalam iman, maka manusia tidak mempunyai ”dasar untuk bermegah” (Rom.3:27). Andaikata orang ”dibenarkan karena perbuatannya, maka ia peroleh dasar untuk bermegah” (Rom.4:2). Tetapi orang dibenarkan karena iman, oleh karena itu ”kita bermegah dalam Kristus Yesus dan tidak menaruh percaya pada hal‑hal lahiriah” (Flp.3:3-4). ”Aku sekali‑kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus” (Gal.6:14). Dan andaikata ada orang kristen yang memegahkan diri atas keselamatan yang diperoleh dalam Kristus, maka ia tidak menyadari arti imannya: ”apakah yang kaupunya, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapa engkau memegahkan diri, seolah‑olah engkau tidak menerimanya?” (1Kor.4:7). Bahwa keselamatan datang dari Kristus berarti bahwa Taurat tidak ada artinya lagi, dan bahwa manusia tidak pernah dapat memegahkan perbuatannya sendiri.
5. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas, beberapa hal dapat menjadi simpulan :
(1) Hukum Taurat diberikan Allah kepada bangsa Israel pada dasarnya dilandasi pada konteks relasi dan untuk mengatur relasi. Permulaan hukum itu: “Akulah TUHAN Allahmu yang membawa engkau keluar dari Mesir tanah perbudakan”, merupakan bentuk pernyataan bahwa kasih Allah demikian besar. Dengan demikian Hukum Taurat seyogianya tidak mereduksi relasi menjadi penekanan kepada hukum tanpa membangun relasi yang pada akhirnya akan menghasilkan pribadi penuh kemunafikan.
(2) Orang Yahudi berusaha supaya dirinya benar dihadapan Allah, melalui usahanya sendiri. Mereka berfikir bahwa seseorang melalui ketaatannya yang sungguh-sungguh kepada hukum Taurat, akan mendapat kredit pahala. Akibatnya, Allah berhutang kepadanya dan akan memberikan keselamatan kepadanya. Orang Yahudi berusaha mencari jalan kepada Allah dengan perbuatan sendiri, bangsa lain datang melalui jalan iman. Itulah sebabnya mereka tidak memerlukan Kristus.
(3) Fungsi hukum Taurat menurut teologi Paulus, adalah :
a. Menyebabkan orang mengenal dosa (Rom.3:20; 7:7).
b. Menyebabkan "dosa mulai hidup" (Rom.7:9).
c. Penuntun bagi kita sampai Kristus datang (Gal.3:24)
d. Membuat manusia menjadi sadar akan dosanya dan kebutuhannya akan pertolongan dari Pihak Allah (Gal.3:19-22; Rom.3:20; 7:7-13).
(4) Oleh karena Taurat bagi Paulus sudah tidak berfungsi lagi, sejak kedatangan Kristus (Rom.10:4) dan Taurat juga tidak mampu memerdekakan manusia dari hukum dosa dan hukum maut (Rom.8:2), sehingga dikatakan bahwa Taurat tidak dapat "menghidupkan" (Gal.3:12). Dan Taurat tidak dapat meniadakan ketidakmampuan manusia untuk melakukan Taurat, maka Taurat bukanlah sumber keselamatan, karena kita memang diselamatkan dalam pengharapan (Rom.5:1-11; 8:24).
(5) Paulus ”tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun tidak hidup di luar hukum Allah, karena hidup di bawah hukum Kristus” (1Kor.9:21). Penolakan Paulus terhadap Taurat, berdasarkan imannya akan Kristus.
(6) Oleh karena Keselamatan datang dari Kristus, yang diterima dalam iman, maka manusia tidak mempunyai ”dasar untuk bermegah” (Rom.3:27).
(7) Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa Hukum Taurat tetap masih diperlukan sebagai buah dari orang yang telah menerima anugerah keselamatan dari Allah didalam Yesus Kristus.
[1] Douglas, JD.The New Bible Dictionary, Inter-Varsity Press, Leicester LEI 7GP, England,1988. Edisi terjemahan oleh Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, Jakarta, 2002. Jilid I hal. 406-408.
[2] Sumber : http://griimalang.page.tl/01-Juli-2007.htm
[3] Barclay, William. The Daily Bible Study : The Letter of the Romans, The Saint Andrew Press, Edinburgh, Scotland,1983. Edisi Terjemahan oleh BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003. hal. 201-202.
[4] Sumber : http://sabdaweb.sabda.org/biblical/intro
[5] Jacobs, Tom. Paulus Hidup, Karya dan Teologinya, Kanisius, Yogyakarta, 1983. hal 176-179
[6] Lih. Rom.7:26; 8:7; 1 Kor.7:19
[7] Lih. Kor.1:30; Kol.1:14; Rom.8:1

SOTERIA MENURUT PAULUS

Oleh : P. Erianto Hasibuan
1. Pendahuluan
Sebelum kita membahas lebih jauh hal keselamatan menurut Paulus, maka perlu kita mengenal lebih jauh akan Paulus. Paulus adalah seorang Ibrani sejati, dari suku Benyamin. Suku Benyamin bersama suku Yehuda merupakan dua suku di daerah Palestina Selatan (kerajaan Yehuda). Dua suku ini tetap memihak kepada keturunan Daud setelah kerajaan Israel pecah. Disunat pada hari ke delapan, memenuhi hukum Taurat dalam Im. 12:3 “mengerat kulit khatan pada hari ke delapan”. Informasi ini memberi kita kesimpulan bahwa orang tua Paulus tentulah orang Ibrani yang setia terhadap perintah-perintah Allah.
Berdasarkan pengakuannya sendiri di Yerusalem, ketika ia akan ditahan, Paulus bersaksi: “Aku adalah orang Yahudi dari Tarsus (Kis. 21:29)”. Kesaksiannya dilanjutkan dengan: “Aku adalah orang Yahudi, lahir di Tarsus di tanah Kilikia, tetapi dibesarkan di kota ini; dididik dengan teliti di bawah pimpinan Gamaliel dalam hukum nenek moyang kita (Kis. 22:3). Di depan Sanhendrin (Mahkamah Agama), Paulus mengaku: “Aku adalah orang Farisi, keturunan orang Farisi” (Kis. 23:6). Kepada jemaat di Korintus Paulus menuliskan “Apakah mereka orang Ibrani? Aku juga orang Ibrani. Apakah mereka orang Israel? Aku juga orang Isreal. Apakah mereka keturunan Abraham? Aku juga keturunan Abraham” (2 Kor. 11:22).
Paulus adalah seorang bilingual, fasih menggunakan dua bahasa yakni: Yunani dan Ibrani. Sebagai seorang Israel dari kecil Paulus telah diajari bahasa ibu (Ibrani). Kemudian sepanjang masa hidupnya Paulus lebih banyak menggunakan bahasa Yunani. Bahasa Yunani menjadi bahasa pergaulan dalam seluruh kawasan yang dikuasai kekaisaran Romawi. Menurut Drane[1] ada tiga pengaruh utama pada Paulus selama masa mudanya, yakni agama Yahudi, filsafat Yunani dan agama-agama rahasia.
Dengan pengaruh tersebut dapat dipahami bagaimana Paulus dalam menyampaikan pendapatnya akan keselamatan (Yun. Soteria) selalu mengkaitkannya dengan pemahaman orang Yahudi akan Taurat sebagai sumber keselamatan. Bahkan dikalangan non Kristen topik ini telah menjadi bahan mereka untuk menyerang iman kekristenan, dengan mengatakan bahwa Paulus adalah ”penyesat” ajaran keselamatan yang dibawa oleh Yesus dan disebarluaskan oleh para Rasul yang hidup bersama-sama Yesus. Pemahaman yang benar akan menolong kita untuk tetap teguh kepada kepercayan kita semula dan bahkan menolong mereka yang mengalami keraguan.
2. Pengertian.
Keselamatan dalam teologi Paulus lebih dikenal dengan tema ”pembenaran” (dikaiosis) yang terutama dikembangankan dalam kitab Roma dan Galatia. Kata dikaiosis sendiri hanya terdapat dalam Rom.4:25 dan 5:18. Sedang kata kerja ”membenarkan” (dikaioun) digunakan 15 kali dalam Roma dan 8 kali dalam Galatia. Disamping itu dalam Korintus hanya terdapat dalam 1Kor.4:4 dan 1Kor.6:11.[2].
Penerjemahan ”dikaioun” dalam bahasa Indonesia menjadi ”membenarkan” dikritisi oleh Jacobs [3], menurutnya kata ”membenarkan” dalam arti biblis yang paling dekat adalah menyatakan benar. Tetapi menurutnya dalam pengertian bahasa Indonesia hal itu kurang tepat, karena pengertian tersebut dihubungkan dengan pembicaraan atau juga dengan pemikiran. Dalam kitab suci, atau lebih tepat dalam kebudayaan Yahudi ”membenarkan” dihubungkan dengan tindakan manusia. Kata ”membenarkan” adalah sebuah istilah dari dunia pengadilan: dinyatakan ”benar” orang yang tingkah lakunya baik. Misalnya dalam Ul. 25:1 dikatakan "Apabila ada perselisihan di antara beberapa orang, lalu mereka pergi ke pengadilan, dan mereka diadili dengan dinyatakannya siapa yang benar dan siapa yang salah”. Maka dalam Mat.12:37 dinyatakan ”menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum." Disini ”membenarkan dilawankan dengan ”mempersalahkan” atau ”menghukum”.
Istilah ”membenarkan”, yang defacto dimasukkan ke dalam terjemahan kitab suci oleh penerjemah protestan, mengandung pandangan teologis tertentu. Sebenarnya tidak dapat dikatakan bahwa ”membenarkan” sama dengan ”menyatakan benar”, yang benar ialah pandangan bahwa ”kebenaran” manusia merupakan partisipasi pada ”kebenaran” Allah.
Secara hurufiah selamat atau keselamatan, dalam bahasa Ibrani yesu’a dan Yunani soteria, berarti tindakan atau hasil dari pembebasan atau pemeliharaan dari bahaya atau penyakit, mencakup keselamatan dan kemakmuran. Pergeseran arti ”keselamatan” dalam Alkitab, bergerak dari ihwal fisik ke kelepasan moral dan spiritual.[4] Tetapi oleh karena seluruh ajaran Paulus mengenai pembenaran selalu ditempatkan dalam rangka soteriologinya, maka dalam pembahasan selanjutnya penulis akan menggunakan istilah pembenaran dan keselamatan dengan maksud adalah soteria menurut Paulus.
3. Soteria Menurut Penulis Paulus
a. Ringkasan
Paulus menyatakan bahwa Kitab Suci dapat memberi manusia ”hikmat dan menuntun ke keselamatan oleh iman kepada Yesus Kristus” (2Tim.3:15 dab), dan menyediakan sarana-sarana yang penting untuk menikmati keselamatan yang penuh. Dengan memperluas dan menerapkan konsep PL tentang keadilan Tuhan yang menjadi bayang-bayang bagi keadilan yang menyelamatkan didalam PB, Paulus menunjukkan betapa tidak ada keselamatan oleh hukum. Sebab hukum hanya dapat menunjukkan kehadiran dan memancing aktivitas dosa, dan membungkamkan manusia dalam kesalahannya di hadapan Allah (Rom.3:19; Gal.2:16).
Keselamatan disediakan sebagai anugerah dari Allah yang adil, yang berbuat dalam rahmat kepada pendosa yang tidak layak. Pendosa yang oleh anugerah iman, percaya kepada keadilan Kristus, memberikan kepada pedosa yang tak layak itu (yaitu memperhitungkan baginya keadilan Kristus yang sempurna), mengampuni dosa-dosanya, mendamaikan dia dengan diri-Nya sendiri di dalam dan melalui Kristus yang sudah ”membuat perdamaian melalui darah salib-Nya” (2Kor.5:18;Rom.5:11;Kol.1:20), mengangkatnya menjadi keluarga-Nya (Gal.4:5 dab; Ef.1:13; 2 Kor.1:22) memberinya materai, kesungguhan, dan buah sulung dari Roh-Nya didalam hatinya, dan dengan demikian menjadikannya makhluk baru. Oleh Roh yang sama sarana keselamatan berikutnya memampukan dia berjalan dalam kehidupan yang baru, sambil makin mematikan perbuatan-perbuatan daging (Rom.8:13) sampai akhirnya ia dijadikan sama dengan Kristus (Rom.8:29) dan keselamatannya digenapi dalam kemuliaan (Flp.3:21).
Pokok soteriologi Paulus adalah ”prinsip solidaritas” : Karena Kristus bersatu dengan manusia dalam kematian, maka manusia bersatu dengan Kristus dalam kebangkitan. ”Allah mengutus putra-Nya sendiri dalam kesamaan daging dosa dan kerena dosa” (Rom.8:3) ” Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah” (2Kor.5:21). Tetapi kesatuan Kristus dengan kita dalam kematian merupakan dasar untuk kesatuan kita dengan Kristus dalam kehidupan. ”kami tahu, bahwa Ia, yang telah membangkitkan Tuhan Yesus, akan membangkitkan kami juga bersama-sama dengan Yesus”. (2Kor.4:14), atau dengan kata lain : Yesus Kristus, menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya (2Kor.8:9). Dasar teologi pembenaran adalah solidaritas Kristus dengan manusia.
Pada akhirnya secara tegas Paulus mengatakan bahwa ”tidak seorang pun dapat dibenarkan di hadapan Allah oleh karena melakukan hukum Taurat (Rom.3:20; Gal.2:16), argumentasi yang dikemukannya adalah :
(1) Karena tidak ada orang yang (dengan sempurna) mengalami Taurat, dan
(2) Juga andaikata orang mentaati Taurat dengan sepenuhnya, tidak ada gunanya sebab kebenaran datang hanya karena iman.
Metode
Dalam menyampaikan kabar keselamatan (pembenaran) Paulus menggunakan metode metafor, yaitu melalui penggambaran keselamatan kedalam 3 gambaran, yaitu :
(1) gambaran ”perdamaian” yang dikembangkan terurama dalam Rom.5:10-11; 2Kor.5: 18-20.
(2) gambaran ”pembenaran” dalam Rom.3:25.
(3) gambaran ”penebusan” yang terdapat tertama dalam Rom.3:24; 8:23; 1Kor.1:30.
Dalam PL Yahwe disebut ”Penebus Israel” (Yes.41:14; 43:14; 44:6). Dalam PB Allah mengutus anakNya untuk menebus (membeli) mereka yang ada dibawah Taurat (Gal.4:5).
Dalam penyampaian tulisan-tulisannya maupun surat-surat pengembalaannya, Paulus kerap menggunkan metode dialogis, dengan mengajukan pertanyaan dan men-jawab sendiri pertanyaan dimaksud, namun kadang ada pertanyaan-pertanyaan yang dibiarkan tanpa jawaban, seperti misalnya Rom.7:24; Flp. 1:22; 1Kor.7:16.
c. Bahan yang digunakan
Dalam membahas soteoriologi Paulus terutama menggunakan hukum Taurat, yang dibahas dalam terang Injil. Keberadaan Taurat sebagai sumber keselamatan bagi kaum Yahudi telah digugat oleh Paulus, bahwa ”pembenaran” hanya oleh iman didalam Yesus Kristus.
Kekuatan dan Kelemahan
Sebenarnya seluruh doktrin keselamatan Paulus didasarkan pada kemiskinan dihadapan Allah, bahwa kita tidak dapat menyelamatkan diri kita dengan melakukan Hukum Taurat dan dengan usaha kita sendiri, tapi kita, seperti anak kecil, bergantung sepenuhnya kepada Allah. Roh Allah yang telah disuruh kedalam hati kita itu, yang memungkinkan kita untuk berseru di dalam kemiskinan roh, "ya Abba, ya Bapa." Disinilah letaknya seluruh dasar bagi teologia Paulus. Paulus memahami ajaran Tuhan Yesus dengan begitu baik dan sempurna. Saat dia berbicara tentang kehilangan segala sesuatu. Saat kita kehilangan segala sesuatu, kita akan menjadi miskin. Paulus menganggap semuanya sebagai sampah. Itu adalah kemiskinan di hadapan Allah ! Ia menganggap semua itu tidak berharga supaya dia dapat memperoleh Kristus. Inilah menjadi kekuatan bagi berita keselamatan menurut Paulus, Yesus adalah pusat dan sumber keselamatan yang melayakkan orang yang seharusnya tidak layak untuk menerima keselamatan. Secara tegas Paulus hendak mengatakan, diluar Kristus tidak ada keselamatan. Ketergantungan akan keselamatan kepada Kristus, dipertegas lagi oleh Paulus pada saat ia mengalami penderitaan yang berat dan bahkan putus asa dengan mengatakan ”Bahkan kami merasa, seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati. Tetapi hal itu terjadi, supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri, tetapi hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati.(2Kor.1:9). Ketergantungan kepada Taurat untuk mencapai keselamatan akan mengarahkan manusia untuk menggantungkan keselamatan kepada kemampuan dan kekuatannya sendiri, apabila pemahaman ini yang berkembang maka Yesus Kristus menjadi tidak lagi penting. Inilah yang ditolak secara tegas oleh Paulus. Bahkan pada akhirnya Ia mengatakan bahwa ”bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan”. (Flp.1:21).
Kelemahan Paulus dalam pemberitaan keselamatan adalah adanya pertanyaan-pertanyaan yang ia berikan dan tidak dijawab dengan tegas olehnya, seperti Flp. 1:22, Paulus sendiri menunjukkan kebingungannya, apakah harus memilih untuk tetap hidup atau mati. Hal ini dapat dikaitkan dengan kesengsaraan yang sedang dialaminya, olehkarena demikian sakitnya, hingga Ia sendiri tidak dapat menentukan apaka lebih baik baginya untuk tetap hidup atau mati saja. Demikian halnya pada Rom. 7:24 ”Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini? Pertanyaan ini seolah menunjukkan kebingungan Paulus bahwa sekalipun ia berkeinginan untuk tetap melayani hukum Allah dengan akal budinya tetapi ia juga memiliki tubuh insani yang melayani hukum dosa.
Kelemahan tersebut juga terjadi perihal hukum Taurat, Paulus mengatakan Taurat tidak dapat "menghidupkan" (Gal.3:12). Ketidakmampuan Taurat terdapat di sini, bahwa Taurat tidak dapat meniadakan ketidakmampuan manusia untuk melakukan Taurat. Maka hukum Taurat yang seharusnya membawa manusia kepada hidup, ternyata hanya menyebabkan bahwa "orang mengenal dosa" (Rom.3:20), bahwa "dosa mulai hidup" (Rom.7:9). Lebih tegas lagi menurut Paulus "Hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang" (Gal.3:24), bahkan Taurat bagi Paulus sudah tidak berfungsi lagi, sejak kedatangan Kristus. Rom.10:4 Sebab Kristus adalah kegenapan hukum Taurat, sehingga kebenaran diperoleh tiap-tiap orang yang percaya, didalam suratnya ke Efesus secara lebih ekslpisit dikatakan sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, (Efesus 2:15).
Tetapi disisi lain Paulus mengatakan bahwa bukanlah orang yang mendengar hukum Taurat yang benar di hadapan Allah, tetapi orang yang melakukan hukum Tauratlah yang akan dibenarkan. (Rom.2:13), selanjutnya Paulus mengatakan. hukum Taurat adalah kudus, dan perintah itu juga adalah kudus, benar dan baik.(Rom.7:12) Ini menjadi membingungkan karena Paulus didalam suratnya ke Galatia mengatakan Kamu tahu, bahwa tidak seorang pun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus. Sebab itu kami pun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum Taurat. Sebab: "tidak ada seorang pun yang dibenarkan" oleh karena melakukan hukum Taurat. (Galatia 2:16 bdk Gal.3:11)
[1] Drane, John, Introducing the New Testament, Lion Publishing plc, Sandy Lane West, Littlemore, Oxford, England, 1986. Edisi Terjemahan oleh BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2005. hal. 291.

[2] Sutanto, Hasan. Perjanjian Baru Interlinear Yunani –Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru (PBIK), LAI, Jakarta, 2004. Jilid II hal. 214-215.
[3] Jacobs, Tom, Paulus, Hidup, Karya dan Teologinya, Kanisius, Yogyakarta, 1983. hal.163 - 164.
[4] Douglas, J.D.The New Bible Dictionary, Intervarsity Press, Leicester LEI 7GP, England, 1988. Edisi terjemahan oleh Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF. Jakarta, 2002. Jilid II hal. 375.

Rabu, 28 November 2007

SOTERIA MENURUT INJIL

Oleh : P. Erianto Hasibuan

1. Pendahuluan
Persoalan keselamatan (Yun. Soteria) merupakan permasalahan yang sangat mendasar bagi setiap orang, seringkali apabila ditanya kepada seorang yang mengaku beragama kristen, apakah engkau akan selamat bila telah meninggal dunia, masih terdapat jawaban yang beragam. Sebagian akan menjawab dengan yakin bahwa dia akan selamat, tetapi yang lain dapat saja menjawab dengan keraguan, mengingat dua hal, pertama dia khawatir dikatakan sombong, atau yang lain memang dia tidak memiliki keyakinan sama sekali bahwa ia akan selamat. Sproul[1] menceriterakan, bahwa sewaktu ia masih di seminari, teman-teman sekelas melakukan pemungutan suara. Ternyata kurang lebih sembilan puluh persen menyatakan bahwa mereka tidak yakin akan keselamatannya.
Bercermin dari pengakuan Sproul tersebut, jika dikalangan teolog sendiri masih mengalami keraguan akan keselamatan, bagaimana halnya dikalangan awam?. Lebih lanjut mengenai keyakinan akan keselamatan, Sproul mengutarakan bahwa ada 4 macam manusia di dunia ini :
(1) orang yang tidak diselamatkan dan tahu bahwa ia tidak diselamatkan.
(2) orang yang diselamatkan tetapi tidak tahu bahwa ia diselamatkan.
(3) orang yang diselamatkan dan tahu bahwa ia diselamatkan.
(4) orang yang tidak diselamatkan tetapi ”tahu” bahwa ia diselamatkan.
Untuk dapat menyakini dengan baik bahwa kita adalah termasuk kepada golongan nomor (3), diperlukan pemahaman yang benar akan keselamatan sesuai dengan firman Tuhan, karena dapat saja terjadi bahwa seseorang yakin bahwa ia adalah orang yang diselamatkan karena terpengaruh paham universalisme, bahwa setiap orang diselamatkan. Apabila peryataan itu benar, maka deduksinya yang logis akan menjadi mudah. Proses berpikirnya akan menjadi ”setiap manusia diselamatkan, saya manusia, oleh karena itu saya diselamatkan.[2]
Dalam tulisan ini, yang akan dibahas adalah keselamatan (soteria) sesuai dengan Injil menurut keempat penulis, yaitu Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Oleh karenanya dalam pembahasan penulis tidak hanya terpaku pada penggunaan kata semata, tetapi juga topik yang membicarakan keselamatan termasuk yang menyangkut pertobatan, pemulihan hubungan serta pertumbuhan mencapai kedewasaan Iman.
2. Pengertian.
Selamat atau Keselamatan, dalam bahasa Ibrani yesu’a dan Yunani soteria, berarti tindakan atau hasil dari pembebasan atau pemeliharaan dari bahaya atau penyakit, mencakup keselamatan dan kemakmuran. Pergeseran arti ”keselamatan” dalam Alkitab, bergerak dari ihwal fisik ke kelepasan moral dan spiritual.[3] Titik tolak pemikiran Alkitab ialah bahwa sejak kejatuhannya, manusia baik sebagi perseorangan maupun sebagai masyarakat memerlukan pertolongan, yaitu keselamatan. Ia berada dalam lingkaran setan pada posisi dan kondisi yang berbahaya, bersalah dan tak berdaya. Kesalahannya telah tidak melayakkan dia menerima bantuan yang dapat melepaskannya dari keadaan dan kedudukannya itu. Tidak ada kebijakan dan kekuatan manusiawi yang mampu memecahkan masalah itu untuk dapat keluar dari dalam lingkaran itu. Allah sendiri mengambil prakarsa jika manusia harus diselamatkan. Prakarsa Allah tersebut tergambar dalam defenisi keselamatan menurut Dodd [4] :
Soteriology (from Greek : soteria, salvation and logos, word). The part of theology that deals with salvation. It includes topics like how God calls people, rescue them from sin, and brings them into relationship (adoption, union with God). It also includes how he helps them grow in the Christian life, and what the goal is.

Pengertian keselamatan yang mencakup bagaimana Allah memanggil tidak terbatas hanya pada pembebasan atau pemeliharaan, tetapi juga mencakup mengembali-kan hubungan dengan Tuhan, hingga pada akhirnya akan dapat bertumbuh. Perjanjian Baru (PB) dengan jelas menunjukkan keterbudakan manusia kepada dosa, bahaya dan kekuatan dosa, dan kelepasan dari dosa yang hanya dapat diperoleh dalam Kristus. Alkitab memberikan pernyataan-pernyataan yang makin lama makin jelas bagaimana Allah menyediakan dasar keselamatan, menawarkannya, dan bagaimana Dia sendiri pada diri-Nya adalah satu-satunya keselamatan manusia.
Berdasarkan defenisi di atas, maka penulis akan membahas bagaimana Keselamatan menurut para penulis Injil, ditinjau dari 2 langkah menuju keselamatan sebagaimana defenisi dari keselamatan itu sendiri, yaitu :
(1) Panggilan Allah yang menjadikan manusia bertobat (metanoe) dan percaya (pisteuo).
(2) Bertumbuh didalam iman kepada Kristus untuk mencapai tujuan keselamatan.


3. Soteria Menurut Penulis Injil
a. Ringkasan
Dari berbagai topik keselamatan yang ada di Injil sinoptis dapat diringkas menjadi bagaimana para penulis Injil melihat kriteria untuk mendapatkan Keselamatan (Kerajaan Allah), yaitu :
(1) Menghasilkan buah. (Mat.13:1-23; Mrk.4:1-20;Luk.8:4-15)
(2) Bertahan sampai kesudahan (setia) (Mat.10:22)
(3) Bersedia diproses dan berubah (Mat.13:31-35)
(4) Keselamatan sebagai harta yang paling berharga (Mat.13:44-46; Mrk.8:35)
(5) Merendahkan diri.(Mat.18:1-5)
(6) Memiliki Iman (Luk.7:50)
Panggilan Allah untuk bertobat didalam Injil telah dituliskan Matius sejak awal pelayanan Yesus, yaitu pasca Ia dicobai dipadang gurun, dan tampil pertama kali di Galilea, Yesus memberitakan apa yang sebelumnya diberitakan oleh Yohanes Pembaptis, yaitu ”Berobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat” (Mat.3:2;4:17). Kabar pertobatan ini juga diberitakan didalam Injil sinoptis lainnya (Mrk.1:15;Luk.3:3), tujuan pertobatan oleh penulis Injil sinoptis diakui untuk masuk kedalam Kerajaan Sorga, sekalipun diungkapkan dengan cara yang berbeda, seperti untuk tidak binasa menurut penulis Injil Lukas (Mat.18:3;Mrk.1:15;Luk.13:3)
Apakah pertobatan tersebut menghasilkan keselamatan, ketiga penulis Injil sinoptis menulis dengan cara yang sama, melalui perumpamaan seorang penabur, bahwa yang mencapai pada keselamatan sebagai buah dari pertobatan adalah mereka yang menghasilkan buah, apakah 30 kali, 60 kali atau bahkan 100 kali.
Didalam injil sinoptis, kata keselamatan hanya satu kali diucapkan oleh Yesus, sebagaimana yang dicatat dalam Luk.19:9. Ayat ini dapat mengacu kepada diri-Nya sendiri sebagai kandungan keselamatan yang memberikan pengampunan kepada Zakheus, atau kepada sesuatu yang nyata oleh perubahan tindakan yang dilakukan oleh pemungut cukai itu. Luk. 18:26 dan konteksnya, menunjukkan bahwa keselamatan mengimbau hati yang menyesal, sifat seperti kanak-kanak, ketidak berdayaan diri yang pasrah menerima, dan penyangkalan segala sesuatu demi Kristus.
Yohanes menggambarkan pertobatan sebagai kelahiran kembali (Yoh.3:3), pada saat percakapan dengan Nikodemus, Yesus menjelaskan bahwa bukti pertobatan adalah dilahirkan dari air dan Roh. Sekalipun penggambaran yang berbeda dengan penulis Injil sinoptik, tetapi ukuran keselamatan menurut penulis Injil Yohanes sama dengan penulis injil sinoptik yaitu melalui perbuatan-perbuatannya dalam hal ini perbuatan yang benar (Yoh.3:21), yang tidak lain adalah buah yang dihasilkan.
Dalam 1:12 dab orang dilahirkan sebagai anak Allah karena mempercayai Kristus, sedang dalam 3:5 kelahiran kembali oleh Roh mutlak penting guna memasuki Kerajaan, tapi 3:14,17 menjelaskan bahwa hidup baru itu tidak mungkin lepas dari dari kepercayaan akan kematian Kristus, karena tanpa kematian Kristus maka manusia berada di bawah penghukuman (3:18). Dalam 4:22 keselamatan datang melalui bangsa Yahudi, melalui wahyu yang disalurkan dalam sejarah lewat umat Allah.
Lebih lanjut dikatakan dalam 5:14 seorang yang sudah dipulihkan harus tidak berbuat dosa lagi agar keadaannya tidak menjadi lebih buruk. Dalam 5:24 orang percaya sudah melewati maut menuju ke kehidupan, dalam 6:35 Yesus mengatakan bahwa Dialah roti kehidupan, kepada-Nya saja orang harus datang (6:68) untuk perkataan yang menghidupkan kepada kehidupan yang kekal, dalam 7:39 air melambangkan kehidupan Roh yang menyelamatkan, yang akan datang setelah Yesus dipermuliakan.
Dalam 8:12 penginjil menunjukkan kesejahteraan karena bimbingan terang, dan dalam 32, 36 kebebasan oleh kebenaran di dalam Anak, dalam 9:25, 37, 39 ke-selamatan merupakan penglihatan spiritual, dalam 10:10 jalan masuk bagi manusia ke kehidupan yang selamat dan berkelimpahan dan yang dari Bapa adalah melalui Kristus, dalam 11:25 dab hidup kebangkitan menjadi milik orang-orang percaya, dalam 11:50 tujuan penyelamatan dari kematian Kristus digambarkan. Dalam 12:32 Kristus yang ditinggikan dalam kematian menghimbau orang kepadanya, dalam 13:10 pembasuhan pertama yang dilakukan-Nya mengartikan keselamatan (bersih seluruhnya), dalam 14:6 Kristus adalah jalan yang benar dan hidup menuju hadirat Bapa, dalam 15:5 tinggal didalam Dia, Pokok Anggur, merupakan rahasia dari sumber-sumber kehidupan, dalam 16 :7-15 demi nama-Nya Roh akan mengatasi kendala-kenadala keselamatan dan mempersiapkan relasinya, dalam 17:2, 3, 12 Kristus menjagai mereka yang mempunyai pengetahuan tentang diri-Nya, dalam 19:30 keselamatan digenapi, dalam 20:21-23 kata-kata damai dan pengampunan menyertai Roh, dalam 21:15-18 Kasih-Nya yang menyembuhkan memancarkan kasih dalam pengikut-Nya dan memulihkan sang pengikut untuk pelayanan.
Metode
Metode penyampaian pengajaran yang dilakukan Yesus pada zamannya adalah dengan menggunakan perumpamaan, menurut Hunter[5] sebuah perumpamaan biasanya haya mempunyai satu tertium (bagian ketiga). Sebuah alegori barangkali mempunyai selusin. Didalam perumpamaan hanya ada satu pokok persamaan yang utama antara cerita dan maksudnya, sedang bagian-bagian lainnya semata-mata hanya membantu untuk membuat cerita itu realistis dan dengan demikian berguna sebagai kekuatan utama dari perumpamaan itu seperti bulu-bulu ayam yang menjadi sayap anak panah.
Para penulis injil Sinoptis juga menuliskan pengajaran Yesus tersebut dengan perumpamaan. Perumpamaan tersebut umumnya disampaikan dalam rangka melakukan pengajaran kepada orang banyak maupun kepada para murid, yang bukan merupakan jawaban dari pertanyaan dari murid maupun orang banyak.
Matius dalam menyampaikan berita Keselamatan menggunakan metode yang sistematis, diawali dengan ajakan bertobat (Mat.4:17), setelah memilih para murid Ia kembali mengutarakan bagaimana Yesus menyembuhkan sebagai sarana untuk mem-bangkitkan kepercayaan (Mat.8:1-9dab). Setelah Matius memberikan gambaran yang cukup akan makna panggilan dan kepercayaan, lalu disajikan bagaimana Yesus mengu-tus para murid dan secara eksplisit memperkenalkan jalan keselamatan bagi orang yang akan bertahan hingga kesudahannya (Mat.10:22). Pasca topik ini, Matius kembali me-nyajikan pembicaraan tentang Kerajaan Sorga melalui berbagai perumpamaan.
Markus mengawali pemberitaan keselamatan seperti halnya Matius, dengan menyerukan pertobatan (Mat.1:15), kemudian setelah memanggil para murid, melaku-kan berbagai mujizat penyembuhan untuk menunjukkan pentingnya iman yang menye-lamatkan, selanjutnya Markus menyajikan berbagai perumpamaan yang berkaitan dengan Keselamatan. Sekalipun penyajian Markus menyerupai pola Matius, tetapi Markus lebih menitik beratkan pada apa yang dilakukan Yesus daripada apa yang di-ajarkannya. Markus mencantumkan 18 mukjizat Yesus dan hanya 4 perumpamaan-Nya.
Lukas menyajikan berta keselamatan berbeda dengan kedua penulis sebelum-nya. Setelah Yesus dicobai selama empat puluh hari dan kembali ke Galilea, Ia tidak mencatat Yesus menyerukan berita”pertobatan” sebagaimana Matius dan Markus. Lukas hanya mencatat bahwa Yesus mengajar di rumah-rumah ibadat. (Luk.4:15). Ajakan pertobatan dicatatnya melalui pemberitaan akan Yohanes pembaptis (Luk.3:3). Secara keseluruhan Lukas menyajikan berita keselamatan secara cermat dan kronologis.
Metode penulisan yang digunakan oleh penulis Injil Yohanes berbeda dengan metode penulis Injil sinoptis yang menggunakan perumpamaan, sebab Yohanes me-nuliskan pengajaran Yesus dengan menggunakan metode dialog dan pembicaraan.[6]

c. Bahan yang digunakan
Dalam menyampaikan pengajarannya termasuk yang berupa perumpamaan, Tuhan Yesus menggunakan bahan yang terdapat disekitarnya, seperti perumpamaan biji sesawi dan ragi, adalah hal yang biasa dililakukan di Palestina, demikian juga dengan penabur benih.
Sementara para penulis Injil sinopsis dalam menggunakan bahan, pada prinsipnya sangat bergantung kepada latar belakang penulis Injil dan tujuan penulisannya. Injil Matius ialah untuk menyatakan dan menonjolkan, bahwa semua nubuat di dalam PL telah dipenuhi didalam Yesus, dan oleh karena itu Yesus adalah Sang Mesias.[7] Sebagai Injil pengajaran, maka bahan yang digunakan oleh penulis Injil Matius adalah bahan-bahan dari PL.
Markus menulis Injilnya untuk menggambarkan Yesus apa adanya, sekalipun tidak melupakan sisi ilahi Yesus, sebagai Anak Allah. Bagi Markus, Yesus bukanlah manusia biasa. Ia adalah Allah ditengah-tengah manusia yang selalu membuat mereka tercegang dengan perkataan-perkataan dan perbuatan-Nya. Lebih lanjut dikatakan bahwa tak ada kitab Injil lain yang memberikan gambaran tentang Yesus sebagai sosok yang sangat manusiawi seperti yang diberitakan Injil Markus.[8] Bahan yang digunakan oleh Markus dalam menulis Injilnya terutama adalah cerita yang dituturkan oleh Petrus kepadanya, sehingga Injil Markus lebih mirip kepada biograpi Yesus yang ditulis secara hidup oleh Markus.
Injil Lukas adalah injil yang universal. Segala tembok pemisah dihancurkan, Yesus Kristus adalah bagi semua orang tanpa perbedaan.[9] Sebagai Injil yang universal, Lukas melihat kasih Allah tersebut tidak terbatas. Sebagai Injil yang dibuat secara cermat dan teliti, Lukas menggunakan bahan-bahan dari Injil-Injil terdahulu utamanya adalah Markus.
Injil Yohanes menyatakan sendiri bahwa tujuannya adalah ”supaya kamu percaya bahwa Yesuslah Mesias” (Yoh.20:31) dan untuk menguatkan dasar iman supaya orang percaya dapat terus percaya kendati ada ajaran palsu[10]. Sebagai Injil yang ditulis paling kemudian, maka penulis Injil Yohanes sudah barang tentu menggunakan bahan-bahan yang ada pada Injil sinoptis.
Kekuatan dan Kelemahan
Kekuatan Injil Matius, adalah memberitakan bahwa Yesus adalah Anak Allah dan Mesias yang dinubuatkan dalam PL. Pemberitaan ini sekaligus menyatakan bahwa Kerajaan Allah dinyatakan di dalam dan melalui Yesus Kristus. Pemberitaan ini seharusnya sangat efektif untuk memberitakan keselamatan kepada orang Yahudi, karena mereka telah memahami dengan baik isi PL termasuk nubuatan tentang Mesias. Penyajian silsilah Yesus mulai dari Abraham dan mujizat-mujizat yang dilakukan, selayaknya mengukuhkan keberadaan Yesus sebagai juru selamat sebagaimana yang dikenal oleh bangsa Yahudi.
Kelemahan Injil Matius dalam memberitakan berita keselamatan, utamanya adalah keengganan penulis Injil Matius untuk melepaskan diri dari tradisi ke-Yahudi-an, dalam topik hal berpuasa misalnya, Matius mengatakan agar anggur yang baru disimpan dalam kantong yang baru, agar terpelihara keduanya. (Mat.9:17) Hal ini berbeda dengan apa yang ditulis oleh Markus yaitu Anggur yang baru hendaknya disimpan dalam kantong yang baru (Mrk.2:22) sedang Lukas menuliskan bahwa tidak seorangpun yang telah meminum anggur tua ingin meminum anggur yang baru, sebab ia akan berkata : ”Anggur yang tua itu baik”.(Luk.5:39). Berdasarkan hal tersebut terkesan bahwa Matius tetap ingin mempertahankan tradisi ke-Yahudia-an, hal ini juga menunjuk kepada kesulitan mereka untuk menerima Yesus sebagai Juru Selamat, dibanding dengan usaha mereka memenuhi Taurat Musa sebagai sumber keselamatan.
Injil Markus menggambarkan keselamatan melalui tokoh Yesus sebagai Putra Allah dan Mesias, hamba yang menderita. Mesias dalam pengertian Markus adalah tokoh yang memberi kekuatan bagi mereka untuk mampu bertahan didalam penderitaan hingga pada akhirnya akan memperoleh keselamtan. Kata-kata segera (Yun: euthus) digunakan didalam PB sebanyak 51 kali terbesar ada di Injil Markus sebanyak 41 kali. Kekhasan hamba yang menderita ditonjolkan oleh Markus dengan memandang bahwa keselamatan hanya akan dapat diperoleh apabila tetap bertahan didalam Yesus sampai pada kesudahannya. (Mrk.13:13).
Kelemahan Injil Markus, justru datang dari kekuatannya untuk memberi kekuatan bagi mereka yang menderita agar tetap bertahan. Dengan maksud agar mereka yang menderita tetap bertahan, maka penonjolan kedatangan Yesus kedua kali yang akan segera tiba bahkan dikatkan "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya di antara orang yang hadir di sini ada yang tidak akan mati sebelum mereka melihat bahwa Kerajaan Allah telah datang dengan kuasa." (Mrk.9:1) dan ”sesungguhnya angkatan ini tidak akan berlalu, sebelum semuanya itu terjadi”.(Mrk.13:31). Uraian ini, dapat saja membuat pendengar menjadi enggan untuk melakukan aktivitasnya, dan hanya menantikan kedatangan Tuhan yang kedua kali. Bila hal ini yang terjadi maka penyelamatan akan dipahami tidak lagi secara menyeluruh, yaitu tubuh dan jiwa.
Lukas, dengan apik menuliskan bahwa Yesus adalah juru selamat yang universal, bukan hanya milik orang Yahudi tetapi milik semua bangsa, demikian juga pria dan wanita bahkan kaum papa sekalipun. Gambaran ini terlihat dari silsilah yang dibuat Lukas hingga Adam. Lukas juga menggambarkan bahwa Yesus adalah juru selamat yang ilahi dan insani. Sebagai orang non Yahuudi, Lukas juga memisahkan dengan tegas antara Injil dengan adat (tradisi) sebagaimana telah diuraikan sebelumnya perihal anggur tua dan baru (Luk.5:36-39). Yang utama bagi Lukas untuk memperoleh keselamatan adalah iman, karena iman kepada Yesus Kristuslah yang menyelamatkan.
Sekalipun didalam Injil Lukas terdapat mukjizat Yesus, tetapi Injil Lukas lebih menekankan pada pengajaran dan perumpamaan-perumpamaan Yesus. Perumpamaan akan anak yang hilang (Luk.15:11-32), menjadi kekhususan dari Lukas, perumpamaan ini menonjolkan pengampunan, yang memperkuat pemberitaan Lukas bahwa ”Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang”. (Luk.19:10).
Kelemahan Injil lukas ada pada masalah pengampunan, perumpamaan akan anak yang hilang, selain sebagai kekuatan Injil Lukas, tetapi sekaligus juga menjadi ke-lemahan. Perumpamaan ini dapat saja ditafsirkan lain, iman kepada Yesus Kristus dapat saja ditafsirkan terlepas dari perbuatan, sebagaimana yang dialami Yakobus dijemaat-nya, yang mendorong dia untuk menekankan kesatuan antara iman dan perbuatan.
Injil Yohanes menekankan pada Keilahian Yesus sebagai Anak Allah, oleh karenanya didalam Injilnya tidak mencantumkan silsilah dari Yesus, tetapi pengakuan bahwa Yesus telah ada sejak semula. Sebagai Injil yang ditujukan agar orang percaya bahwa Yesuslah Mesias Anak Allah, maka didalam Injil Yohanes kata percaya (Yun. pisteuo) digunakan sebanyak 108 kali, yang berarti Injil ini memberikan keyakinan bahwa didalam Yesus ada keselamatan. Keselamatan yang diterima menurut Yohanes akan menghasilkan suatu perubahan (lahir baru) yaitu mutu kehidupan yang datang melalui persekutuan dengan Kristus. Pada akhirnya Yohanes mengarah kepada konsep kuncinya yaitu hidup kekal.
Injil Yohanes merupakan Injil yang teologis, sehingga tidak mudah untuk dipahami. Seperti misalnya penggunaan istilah Yesus adalah kebenaran, Roh kudus adalah Roh kebenaran dan Firman Allah adalah Kebenaran (Yoh.8:32) tidak cukup mudah untuk memahaminya. Seperti halnya yang dialami oleh Nikodemus, saat menerima pengajaran akan lahir baru.
[1] Sproul, RC. Chosen By God, Tyndale House Publisher, Inc, Wheaton, Illinois, USA. Edisi Terjemahan oleh Seminari Alkitab Asia Malang (SAAT), 1996. hal. 155-156.
[2] Ibid, hal. 157.
[3] Douglas, J.D. The New Bible Dictionary, Intervarsity Press, Leicester LEI 7GP, England, 1988. Edisi terjemahan oleh Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF. Jakarta, 2002. Jilid II hal. 375.
[4] Dodd, Debbie. Dictionary of Theological, Evangelism and Missions Information Service (EMIS), Wheaton, Illinois, 1987. hal. 132-133.
[5] Hunter, A.M. Interpreting the Parables, SCM Press Ltd. 58 Bloomsbury Street, London WCI,1981. Edisi terjemahan oleh BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001. hal. 6
[6] Op.cit, Douglas. hal. 206.
[7] Barclay, William. The Daily Bible Study : The Gospel of Mathew Volume I, The Saint Andrew Press, Edinburgh, Scotland, 1983. Edisi terjemahan oleh BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003. hal.9.
[8] Barclay, William. The Daily Bible Study : The Gospel of Mark, The Saint Andrew Press, Edinburgh, Scotland, 1983. Edisi terjemahan oleh BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2006. hal.9-10.
[9] Barclay, William. The Daily Bible Study : The Gospel of Luke, The Saint Andrew Press, Edinburgh, Scotland, 1983. Edisi terjemahan oleh BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2005. hal.6.
[10] Stamps, Donald ,C. The Full Life Study Bible, Life Publishers International, 1992. Edisi terjemahan oleh Gandum Mas, Jakarta, 2006. hal. 1695.

Pax Vobiscum: PENGHAKIMAN TERAKHIR

Pax Vobiscum: PENGHAKIMAN TERAKHIR

Jumat, 16 November 2007

THEOPNEUSTOS

THEOPNEUSTOS DAN DAMPAKNYA DALAM PEMAHAMAN ALKITAB

Oleh. P. Erianto Hasibuan



PENDAHULUAN

1. Apakah Teopneustos itu ?
Banyak orang Kristen mengakui Alkitab sebagai firman Allah, terutama karena Allah sendiri berbicara kepada mereka melalui Alkitab itu. la berbicara dengan kata‑kata Alkitab sedemikian rupa sehingga tiap keragu-raguan mengenai asal, sifat serta wewenang ilahinya hilang sama sekali. Akhirnya, hanya Allah yang dapat menjadi saksi yang memadai bagi diriNya sendiri. Segala kesaksian lain, seperti bukti sejarah ataupun kesimpulan filsafat hanya mempunyai nilai sekunder.
Jutaan orang Kristen dari tiap generasi bersaksi bahwa ketika mereka membaca Alkitab atau mendengar uraian daripadanya, maka mereka tergerak untuk mengakui kuasa yang melekat padanya. Calvin melihat hal ini sebagai pekerjaan Roh Kudus yang memberi kesaksian ilahi mengenai Alkitab, dan dia menyebutnya "kesaksian batin dari Roh Kudus" yang "lebih kuat dari bukti apapun".
Orang Kristen yang mengenal "kesaksian batin" ini akhirnya hanya dapat bersaksi bahwa memang demikian halnya. Alkitab datang kepada kita dengan kuasa karena merupakan firman Allah yang menyentuh kita sampai ke lubuk hati. Di dalamnya kita menjumpai keagungan suatu panggilan tanpa syarat yang hanya dapat digambarkan sebagai suara dan firman Allah, Pencipta dan Penebus kita. [1]
Dengan mengatakan Kitab Suci adalah Firman Tuhan kita percaya bahwa Allah telah berfirman dan Kitab Suci itulah bentuk Firman tersebut. Tetapi persoalan selanjutnya adalah, Bagaimanakah Tuhan berfirman? Soal ini menanyakan soal ilham, inspirasi atau teopneusti Kitab Suci. [2]
Dalam 2 Tim 3: 16 dikatakan bahwa segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Kata diilhamkan Allah dalam bahasa aslinya (Yunani) adalah Theopneustos (θεόπνευστος). Bagaimana Allah menggunakan manusia dalam pengilhaman Alkitab tersebut merupakan hal yang menarik untuk dikaji, karena berdasarkan sejarah gereja sudah demikian banyak para pakar yang mencoba untuk memberikan penjelasan perihal pengilhaman tersebut.

2. Ruang lingkup pembahasan
Sekalipun terdapat berbagai pandangan perihal proses terjadinya Alkitab seperti Skriptologi Ortodoksi yang menekankan bahwa pada proses terjadinya Alkitab, Allah bertindak sebagai pengarang utama, sedangkan manusia dipakai hanya sebagai alat di dalam tanganNya. Allah tidak saja memberi do­rongan (impulsus) dan tidak saja mengilhamkan isinya (res) secara men­tah‑mentah. Dengan ajaran tentang inspirasi verbal, Ortodoksi mengung­kapkan pandangan bahwa kata‑kata (verba) Alkitab diwahyukan Allah. Ki­tab Suci diartikan sebagai "diktat" Roh Kudus, manusia sendiri selaku penulisnya hanyalah tangan (manus) atau batu tulisan (calaml) bagi Allah. Pandangan Ortodoksi ini menyokong pengertian yang tidak historis dan menyamaratakan isinya. Dan juga pandangan Luther [3] Kitab Suci berkuasa penuh (auctoritas), sudah cukup (sufficientia), sudah jelas (claritas) dan mencapai maksudnya (efficacia), yaitu keselamatan manusia. Kuasa Kitab Suci yang penuh dian­taranya nyata dalam hal Alkitab mengesahkan diri sebagai Firman Allah di dalam hati orang‑orang percaya melalui kesaksian Roh Kudus (testimonium spiritus sancti internum).
Tetapi dalam pembahasan ini yang menjadi acuan adalah 2 Tim 3 : 16 yang mana dalam ayat tersebut disebutkan diilhamkan oleh Allah atau Theopneustos (θεόπνευστος). Dengan demikian dalam tulisan ini yang akan dibahas adalah bagaimana Allah mengilhamkan FirmanNya dengan melibatkan manusia, apakah manusia hanya sebagai “robot” tanpa melibatkan pikirannya atau manusia ikut berperan dengan pikirannya. Sejauh mana peran manusia dalam Allah mengilhamkan FirmanNya untuk menjadi Alkitab merupakan hal pendukung untuk sampai kepada bagaimana hubungan faktor Allah dan manusia di dalam Kitab Suci.
Atas hal tersebut maka dalam tulisan ini pertanyaan besar yang ingin dijawab adalah : bagaimanakah hubungan faktor Allah dan manusia di dalam Kitab Suci ?
PERAN MANUSIA DALAM TEOPNEUSTOS

Biarlah Alkitab menjelaskan Alkitab, mungkin merupakan pernyataan yang sesuai digunakan untuk menjelaskan bagaimana ayat-ayat di dalam Alkitab tersebut mampu menjelaskan Alkitab itu sendiri dalam hal terjadi polemik atas berbagai hal yang menyangkut kebenaran Firman Tuhan. Hal ini setidaknya menjadi landasan berfikir yang digunakan oleh Dr. R. Soedarmo [4] dalam menguraikan alasannya menggunakan istilah teopneusti dalam menguraikan perihal ilham, inspirasi Kitab Suci.
Pemilihan perkataan teopneusti didasarkan pada pertimbangan :
1 . Teopneusti dipakai oleh Kitab Suci sendiri (2 Tim. 3:16).
2. Inspirasi, ilham, itu umum sekali. Kita memakai inspirasi atau ilham kalau kita mengatakan bahwa seorang seniman menerima suatu ide (rencana) yang bukan buah dari berpikir, melainkan dengan sekonyong‑konyong atau lambat laun datang dengan sendirinya.
Dari manakah? Barangkali hal ini dapat diterangkan secara psikologis dengan adanya bawah‑sadar (onderbewuste), barangkali soal ini tidak dapat diterangkan sama sekali. Yang dapat dikatakan ialah: Kita tak dapat menentukan dengan tegas bahwa ilham demikian itu dari Allah datangnya.
Perkataan theopneustos berisi dengan terang bahwa yang memberikan, menghembuskan (pneo), itu Allah (theos). Tetapi bagaimanakah Allah "menghembuskan" Kitab Suci ini? Inilah soal yang sukar sekali dan dengan mencari jawaban tentang soal ini kita tidak mengatakan bahwa jawaban kita akan memecahkan soal ini habis‑habisan. Teopneusti tetap rahasia. Bagaimanakah mungkin bahwa Roh Suci memakai orang‑orang yang berdosa, maka dari itu yang penuh kemungkinan menjadi tersesat? Meskipun demikian buah pemakaian Roh Suci ini menjadi sesuatu yang tidak ada salahnya.
Sejauh mana peran manusia dalam theopneustos akan diuraikan berdasarkan teori Dua Faktor berikut ini :
Di dalam membicarakan soal ini kita berhadapan dengan faktor dari Allah dan faktor dari manusia di dalam Kitab Suci. Ada yang menyebut "pembuat pertama" yaitu Roh Suci dan "pembuat kedua" yaitu orang‑orang yang dipakai Roh Suci. Jadi yang disebut pembuat kedua itu bukannya yang menulis saja, sebab kalau kita mengakui bahwa Kitab Suci adalah kanon, tidak ada kekurangan dan kelebihan, maka yang dipakai Tuhan bukan hanya yang menulis melainkan juga yang mengumpulkan tulisan‑tulisan hingga menjadi Kitab Suci. Daud tentu juga menulis mazmur‑mazmur lain daripada yang dimuat dalam Kitab Suci dan 150 mazmur itu tidak semua dari Daud. Tetapi soal ini tidak begitu penting, yang penting ialah bahwa Allah mengumpulkan 150 mazmur itu di dalam Kitab Suci, dengan alat Daud dan penulis‑penulis mazmur lain (Asaf dan lain‑lain) dan juga orang‑orang yang mengumpulkannya. Siapakah orang‑orang ini? Pertanyaan ini tidak penting. Bahwa Allah memberikan Kitab SuciNya kepada jemaat di seluruh dunia itulah yang penting. Memang hanya pembuat yang pertamalah, Roh Kudus, yang sungguh penting. Yang kedua, hanyalah alat dalam tangan Tuhan, meskipun ia alat yang hidup, bukannya benda mati.
Bagaimanakah hubungan antara Roh Suci dengan manusia dalam Kitab Suci? Manakah buah Roh Suci dan manakah hasil pekerjaan orang ? Jawaban tentang pertanyaan itu pernah dicari secara memberatkan salah satu sudut dengan mengabaikan sudut lainnya. Ada yang memberatkan faktor dari Allah dengan melupakan faktor dari manusia, ada yang memberatkan faktor manusia dengan memperkecil bahkan meniadakan faktor Allah.
a. Pandangan yang hanya mempertahankan faktor dari Allah (Pandangan teopne-usti cara mekanis )
Pada abad pertama Philo sudah membicarakan ini. Di dalam pembicaraannya teranglah bahwa faktor dari manusia sebenarnya tidak usah diperhitungkan di dalam Kitab Suci. Sebab orang yang dipakai Roh Suci keadaannya selama dipakai sama dengan alat‑alat, perkakas, benda yang mati. la dipakai oleh Roh Suci, ia sendiri tidak bertindak sama sekali, tidak hidup biasa. la seakan‑akan pingsan hingga tidak tahu apakah yang dilakukan. Orang yang dipakai oleh Roh Suci diumpamakan sebagai alat musik yang mati belaka. Hanya kalau Roh Suci memainkannya maka ia dapat bekerja. Dengan cara demikian Kitab Suci ditulis oleh "pembuat pertama". Pembuat kedua hanya seperti pena yang tidak mengetahui segala yang diperbuat. Keadaannya seakan-akan hilang.
Pandangan yang demikian meniadakan faktor dari manusia di dalam Kitab Suci. Sebab manusia tidak bertindak sebagai manusia tetapi hanya sebagai mesin yang pada dirinya mati sebab hanya bersifat benda. Maka harus ada yang menjalankan yang kadang‑kadang dijadikan gambaran : Roh Suci yang membunyi-kan siter atau yang meniup seruling.
Teori ini pada tiap‑tiap abad terus‑menerus ada. Dan yang dekat dengan pandangan tersebut ialah pandangan yang mengatakan bahwa orang‑orang yang menjadi alat‑alat, mendengarkan suara Roh Suci yang mendiktekan dan orang itu hanya menulis saja (fundamentalisme ‑ Amerika).
Dorongan yang menimbulkan dan menguatkan pandangan inspirasi secara mekanis ialah untuk mempertahankan karya Kitab Suci selengkapnya, untuk menghindarkan segala kritik terhadap Kitab Suci. Memang kritik makin lama makin besar dan kalau kritik ini diberi satu jari saja tentu akan menyeret seluruh tubuh. Maka pandangan ini akan mempertahankan segenap Kitab Suci dan tidak mau memberikan pegangan sedikit pun kepada kritik terhadap Kitab Suci.
Pandangan inspirasi tersebut mirip atau sama dengan pandangan agama Islam tentang Kitab Alquran. Di dalam sorga adalah suatu kitab yang menjadi kitab asli dari segala kitab-kitab yang suci. Kitab di sorga ini tidak dijadikan, ia adalah kitab yang kekal. Dan dari kitab asli (ibu kitab) ini, diberikanlah salinan‑salinan kepada manusia dengan perantaraan malaikat Jibra'il. Jumlah kitab‑kitab salinan kitab di sorga itu ada 104. Diberikan kepada Adam 10, Set 50, Henokh 30, Abraham 10. Kitab-kitab yang tersebut itu sudah hilang, tinggallah kitab yang diberikan kepada Musa, yaitu Thora; kepada Daud: Jabur; kepada Tuhan Yesus: Injil; kepada Nabi Muhammad: Alquran. Jadi pada hakikatnya isi dari segala kitab itu sama saja sebab tiap kitab adalah salinan dari kitab di sorga (Sura 4:162,163). Nabi Muhammad menghormati bangsa‑bangsa yang mempunyai kitab yang disebut bangsa Al‑Kitab. la mengharap bahwa orang Yahudi dan Kristen juga akan menerima Alquran yang isinya sama dengan Thora dan Injil.
Jadi pandangan inspirasi secara mekanis memang mirip sekali dengan pandangan inspirasi Alquran.
Kita harus ingat bahwa tujuan pandangan inspirasi mekanis itu baik, yaitu mempertahankan Kitab Suci terhadap serangan dari ilmu pengetahuan. Kritik tentang segala sesuatu, juga tentang Kitab Suci makin lama makin hebat. Maka berbahayalah bahwa Kitab Suci akan tenggelam di dalam kritik ini. Maka untuk menghindari tenggelam inilah timbul pandangan inspirasi tersebut. Kitab Suci selengkapnya buatan Allah maka dari itu ilmu pengetahuan tidak boleh memberanikan diri untuk menjamin Kitab Suci.
Jadi maksudnya baik. Hanya yang harus ditanyakan ialah: Tercapaikah maksud ini? Pandangan inspirasi secara mekanis menduga: Kalau orang yang dipakai Allah itu hanya pasif saja, maka buah pekerjaan ini suci. Kalau manusia hanya menjadi mesin saja maka buah pekerjaan Allah yang memakai mesin ini tentu baik.
Tetapi apakah dugaan ini betul? Sebab juga sebagai mesin, manusia itu penuh dosa. Manusia dengan segala miliknya berdosa selengkapnya. Bahasanya pun penuh dosa. Apakah mungkin dengan mesin yang sudah dosa selengkapnya ini dibuat sesuatu yang suci, yang betul selengkapnya?
Dengan mesin yang rusak tidak dapat dibuat sesuatu yang baik. Dengan pena yang patah tak dapat terjadi tulisan yang indah. Dan memang di dalam Kitab Suci ada kekeliruan‑kekeliruan yang banyak mengenai tata bahasa.
Apakah Roh Suci tak dapat membuat kalimat‑kalimat yang baik? Kritik dari ilmu pengetahuan tidak dihindarkan dengan pandangan inspirasi ini, malahan Roh Suci sendiri, yang mendiktekan Kitab Suci tersebut di dalam kritik. Maka kesimpulan kita: Dengan pandangan inspirasi secara, mekanis Kitab Suci tak dapat dipertahankan terhadap kritik.
b. Pandangan yang menekankan faktor manusia
Menurut teologi dialektis, Kitab Suci adalah kesaksian manusia. Namun Kitab Suci adalah istimewa, sebab:
1. Isi Kitab Suci memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus dari mati.
2. Bahwa dengan alat Kitab Suci timbullah kepercayaan, ini menjadi bukti bahwa Allah berfirman di dalam Kitab Suci.
3. Yang memberi kesaksian‑kesaksian di dalam Kitab Suci ialah orang yang istimewa. Orang‑orang yang berada hanya agar bersaksi tentang Kristus kepada kita, mereka adalah saksi‑saksi pertama, mereka melihat dan mendengarkan sendiri.
Maka dari itu Kitab Suci adalah kesaksian tentang Allah dan dengan demikian Kitab Suci dapat disebut Firman Allah.
Jadi, di dalam pandangan ini arti "Kitab Suci adalah Firman Allah" berbeda daripada kalau kita mengatakan hal itu. Manusia memberi kesaksian, kesaksian tentang Yesus, tentang Allah. Jadi sebetulnya Kitab Suci bukan Firman Allah melainkan kitab mengenai Firman Allah. Bukannya pernyataan yang langsung dari Allah. Kitab Suci ialah kesaksian‑kesaksian dari manusia tetapi ... kesaksian mengenai Yesus Kristus. Digambarkan oleh Prof v. Niftrick: nabi‑nabi, rasul- rasul, mulai dari Musa hingga Yohanes, berdiri dalam lingkaran dan semua menunjukkan jarinya ke pusat lingkaran: Tuhan Yesus. Istilah "Kitab Suci adalah Firman Allah" disebabkan oleh: Peringatan akan Firman Allah yang dulu sudah pernah didengar dan Pengharapan bahwa kita akan mendengarnya lagi di dalam Kitab ini. Pada saat murah hati Allah, kalau Ia berfirman ‑ pada saat itu Kitab Suci adalah Firman Allah.
Sudah cukuplah untuk menerangkan bagaimana pandangan Teologi Dialektis tentang Kitab Suci. Di sini harus dikatakan lagi, maksud pandangan ini baik, yaitu mempertahankan pernyataan Allah. Sayang sekali pandangan ini dimulai dengan mengakui kekalahan terhadap kritik Kitab Suci. Dimulai dengan mengakui bahwa Kitab Suci memang penuh kesalahan dan kekeliruan. Kritik dibiarkan mengadakan pengadilan tentang Kitab Suci sebebas‑bebasnya. Sebab, katanya, Kitab Suci memang hanya pekerjaan manusia saja. Tetapi iman melihat di dalam Kitab Suci sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih tinggi daripada buah pekerjaan manusia itu. Iman melihat Firman Allah di dalam Kitab Suci dan selalu mengharapkan akan mendengar Firman Allah di dalam Kitab Suci.
Di dalam pandangan ini Kitab Suci adalah hanya buah pekerjaan manusia. Kitab Suci hanya mempunyai faktor dari manusia. Jadi pada hakikatnya sama saja dengan buku‑buku lain yang bersaksi tentang Tuhan Yesus Kristus. Sebenarnya tidak terang, sebab apakah Allah hanya berfirman di dalam Kitab Suci saja dan tidak di dalam buku‑buku lain yang bersaksi tentang Kristus. Dengan perkataan bahwa Allah hanya berfirman di dalam Kitab Suci, atau dengan mengakui bahwa hanya Kitab ini yang dapat disebut Kitab Suci, Firman Allah, maka pandangan ini sudah mengikat Allah. Kedaulatan Allah tidak dapat dibatasi oleh sebab buku.
Pandangan ini selalu takut untuk "mempunyai" sesuatu dari Allah untuk mengikat kedaulatan Allah. Tetapi di sini Allah toh diikat lagi. Dari pihak yang satu mereka mengatakan bahwa Kanon Kitab Suci belum tertutup bahkan tidak boleh tertutup. Tetapi dari pihak yang lain hanya memungkinkan tulisan‑tulisan yang dari penulis Kitab Suci yang dapat menambah kitab‑kitab dalam kanon. Dengan demikian timbullah kesukaran‑kesukaran. Orang mau menghindari soal faktor dari manusia dan dari Allah tetapi terpaksa melanggar asasnya sendiri (kedaulatan Tuhan tak boleh diikat).
Lagi pula pandangan terhadap Kitab Suci ini pandangan yang dualistis:
1. Pandangan secara ilmu pengetahuan (ilmu sejarah, ilmu kesusastraan dan lain‑lain).
2. Pandangan secara kepercayaan.
Seakan‑akan pandangan pertama dan kedua sama sekali tidak saling mempengaruhi. Seakan‑akan saya dapat memandang sebuah buku sebagai biasa, yang dapat saya adili habis‑habisan dan buku ini dapat saya pandang sebagai buku yang istimewa yang hanya dapat dipakai Roh Suci. Sebuah buku yang ternyata banyak kekeliruan, kebodohan dan kesalahannya, itu sebaik‑baiknya hanya menjadi buku yang mungkin memuat cerita‑cerita yang indah, tetapi hormat terhadap buku itu tentu tidak tinggi lagi.
Syukurlah di dalam praktik pada umumnya pandangan ini tidak dipakai dan seakan‑akan pandangan itu juga mengatakan Kitab Suci itu Firman Allah dengan arti yang juga kita pakai. Seandainya pandangan ini konsekuen dijalankan, tak ada sesuatu yang tetap, sebab segala sesuatu yang dikatakan mengenai Kitab Suci hanya mengenai tulisan manusia saja. Syukurlah pada umumnya konsekuensi ini tak terdapat.
Menurut Bruce Milne[5], pengilhaman berarti Allah langsung terlibat dalam penulisan Alkitab. Seberapa jauh pengaruh ilahi itu terjadi? Dijelaskan melalui tiga perikop penting dari Perjanjian Baru, yaitu :
1. II Timotius 3:16 menyebut "Segala tulisan tulisan suci yang diilhamkan Allah". Kata "diilhamkan" secara harfiah berarti 'dihembus nafas' dan nafas Allah adalah metafora yang lazim menggambarkan karya Allah dalam Perjanjian Lama, khususnya melalui Roh‑Nya (Kej 2:7; Ayb 33:4; Mzm 33:6). Pernyataan bahwa tulisan suci itu diilhami menyatakan asal dan sifat ilahinya: tulisan suci itu dihembus oleh nafas Allah. Objek perbuatan Allah itu ialah tulisan suci, penulis‑penulis manusianya tidak disebut. Memang mereka itu terlibat, namun di sini penciptaan tulisan suci sepenuhnya dilihat sebagai perbuatan Allah. Jangkauan pengilhaman itu adalah "segala" tulisan suci, yang segalanya hasil "penghembusan” nafas Allah. Dalam konteks ini maksudnya ialah seluruh Perjanjlan Lama.
2. II Petrus 1:19‑21 mendukung dan memperluas penegasan itu. Kesaksian dari saksi mata tidak sekuat "firman yang telah disampaikan oleh para nabi" (artinya Perjanjian Lama). Firman itu tidak timbul dari renungan pribadi para penulis, melainkan "oleh dorongan Roh Kudus, orang‑orang berbicara atas nama Allah". Kata kerja Yunani fero yang diterjemahkan "didorong" dipakai juga dalam Kisah Para Rasul 27:15 tentang kapal yang terombang‑ambing oleh badai. Jelaslah bahwa Petrus menguatkan pengertian perbuatan ilahi dalam menghasilkan segala tulisan suci.
3. Yohanes 10:34‑46 mencatat diskusi tentang pemakaian kata "Allah" dalam Perjanjian Lama, dalam hal ini Mazmur 82. Yesus mengemukakan bahwa wewenang Kitab Suci tidak dapat dibatalkan. Dengan keyakinan yang sama la menyamakan kata‑kata Perjanjian Lama dengan kata‑kata Allah dalam Matius 19:5, "Dan firmanNya".
Pengakuan Yesus akan wewenang dan pengilhaman ilahi seluruh Perjanjian Lama sudah disebutkan di atas. Hal yang sama berlaku bagi tulisan Perjanjian Baru, sebagaimana ditunjukkan oleh :
kesadaran Yesus sendiri bahwa Dia berwenang secara berdaulat;
pernyataanNya bahwa la mengutarakan kata‑kata Allah sendiri;
janjiNya kepada rasul‑rasul tentang Roh Kudus yang akan menyoroti pikiran mereka;
turunnya Roh Kudus atas mereka;
· keyakinan para rasul bahwa Roh Kudus menyoroti mereka dalam pengajaran; dan
· pengakuan mereka bahwa ada kuasa ilahi khusus dalam tulisan rasuli.

Dengan demikian, seluruh Alkitab yang sampai kepada kita ditegaskan sebagai hasil pengilhaman ilahi, naskah yang dihembus nafas Allah.

HUBUNGAN FAKTOR ALLAH DAN MANUSIA
DI DALAM KITAB SUCI

Berbagai pandangan yang diuraikan di atas pada dasarnya berbicara bagaimana hubungan faktor Allah dan manusia di dalam Kitab Suci, tetapi dalam pemecahannya dilakukan dengan menyangkal salah satu dari faktor tadi. Maksudnya ialah agar dapat mempertahankan Kitab Suci terhadap kritik yang makin lama makin kuat. Tetapi dari sebab hanya memegang satu pihak saja, maka maksud tadi tak tercapai. Malahan melemahkan kedudukan Kitab Suci. Pandangan inspirasi secara mekanis ingin mendiamkan segala kritik tentang Kitab Suci, juga tentang bentuk Kitab Suci, tentang kalimat‑kalimatnya dan seterusnya. Tetapi dengan sendirinya kritik tidak mau diam. Sebaliknya pandangan lain hendak mempertahankan Kitab Suci dengan memberi tempat yang istimewa kepada Kitab Suci, yakni hanya pada kepercayaan. Akibatnya: Kitab Suci lenyap sebagai Kitab Suci.
Kita meletakkan keberatan‑keberatan terhadap pandangan‑pandangan inspirasi yang sudah kita bicarakan. Kalau sekarang kita akan membicarakan dengan teopneusti "secara organis " yaitu pandangan yang kita pandang terdekat dengan pernyataan Kitab Suci sendiri, maka kita harus mengulangi: Janganlah kita mengharapkan akan menjawab segala soal‑soal yang sukar‑sukar. Teopneusti adalah perbuatan Roh Suci maka tetap suatu mujizat. Dan kita menganggap teopneusti organis tidak untuk menjawab segala soal. Memang dengan ini agak berkurang soal‑soal yang tidak terjawab, tetapi masih tinggal banyak pertanyaan yang tidak menerima jawaban. Kita menerima teopneusti organis karena inilah yang paling terang dinyatakan dalam Kitab Suci sendiri. Teopneusti secara mekanis disangkal oleh Kitab Suci sendiri, sebab di dalam Kitab Suci dinyatakan dengan terang bahwa alat‑alat, orang‑orang, yang dipakai Roh Suci untuk menjelmakan Kitab Suci itu tidak mati atau pingsan. Mereka menjalankan pikirannya sendiri, menjuruskan pikirannya menurut kehendaknya sendiri (Kayafas), malahan kadang‑kadang mereka menentang maksud Allah (Bileam), kadang‑kadang mereka ingin menulis tetapi dilarang oleh Allah (Why. 10:4). Orang‑orang yang dipakai oleh Roh Suci tidak menjadi mesin, tetapi tetap manusia yang berakal budi. Lagi pula orang‑orang itu bukannya atom yang tidak berhubungan dengan masyarakat pada zamannya, yang mempunyai lingkungan‑lingkungannya sendiri, berasal dari tingkatan masyarakatnya sendiri‑sendiri, dengan peradaban rohani maupun jasmani masing‑masing. Segala sesuatu ini melarang kita untuk menganggap teopneusti secara mekanis.
Berdasarkan penerimaan terhadap teopneusti secara organis, maka teopneusti mungkin dibedakan sebagai berikut :
a. Teopneusti dalam nabi‑nabi :
Di sini seakan‑akan ada jarak antara nabi yang menerima perintah dengan Roh Suci yang memberikan perintah, maka perintah datangnya dari luar. Nabi-nabi merasa dengan terang bahwa mereka hanya alat saja. Jalan yang dilalui pesan Allah dalam nabi‑nabi juga terdapat di dalam Rasul Yohanes tatkala akan menulis Kitab Wahyu.
b. Teopneusti di dalam para penyair :
Di sini tidak ada suatu perintah yang datang dari luar jiwa. Si penyair mengatakan perasaannya, menyatakan pandangannya, segala sesuatu ini akibat dari teopneusti, dorongan dari Roh Suci yang menjuruskan segala sesuatu agar dapat menjadi pernyataan bagi orang‑orang di kemudian hari. Jadi, di sini pernyataan Roh Suci tidak hanya melalui saja akan orang-orang yang dipakai, akan tetapi meresap di dalam hatinya, bisa dikatakan: menjadi darah dan dagingnya.
c. Bentuk yang ketiga adalah campuran a dan b, teopneusti rasul‑rasul
Rasul‑rasul telah mendengarkan segala sesuatu yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus Kristus. Maka tatkala mereka menjadi rasul, pernyataan sudah menjadi "daging dan darah", dan oleh karena mereka melihat dunia yang masih dalam kegelapan, maka pernyataan yang sudah menjadi darah daging mendorong mereka untuk melanjutkan apa yang sudah diterima. Akan tetapi tiap‑tiap rasul dan rasul‑rasul bersama juga pernah mendengarkan perintah dari luar, perintah Tuhan Yesus agar mereka, pergi ke seluruh dunia: Petrus agar pergi ke Kornelius, Paulus di dalam perjalanan ke Damsyik, Filipus agar pergi ke Gaza. Jadi, teopneusti dalam rasul‑rasul mirip dengan bentuk a dan mirip dengan bentuk b juga.




SIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
1. Dengan pandangan inspirasi secara, mekanis Kitab Suci tak dapat dipertahankan terhadap kritik.
2. Berdasarkan pernyataan dalam Kitab Suci sendiri kita mengakui pandangan teopneusti yang organis. Di sini kedua, faktor, dari Allah dan dari manusia, tidak disangkal salah satunya.
3. Pandangan teopneusti secara organis tidak lain hanya mengucap syukur kepada Allah yang memberikan firmanNya kepada manusia di dalam bentuk yang dapat dipahami manusia. Memang kasih Allah nyata, bahwa Ia tidak membuang bentuk‑bentuk manusia. Anak Allah sendiri pun hendak menjadi manusia. Lain jalan untuk menyelamatkan manusia tidak ada. Maka jalan itu dipakai juga oleh Tuhan.
Demikianlah pandangan teopneusti secara organis. Di sini diulangi lagi bahwa pandangan ini tidak timbul untuk memecahkan segala soal. Kita percaya bahwa Kitab Suci itu firman Allah. Tidak oleh karena tidak ada perkara yang tidak terang di dalam Kitab Suci dan tidak oleh karena kita dapat menerangkan sejelas‑jelasnya pekerjaan Roh Suci tentang Kitab Suci. Tetapi kita percaya, meskipun Kitab Suci masih menimbulkan soal‑soal yang sukar dan tak dapat dipecahkan. Roh Suci yang memberikan kepercayaan ini. Kepercayaan itu lebih kuat daripada ilmu pengetahuan. Pengetahuan berdasarkan budi manusia, padahal budi manusia mudah salah. Tetapi Roh Suci, Tuhan sendiri, tidak dapat keliru. Maka kepercayaan, juga kepercayaan akan dasar pengetahuan kekristenan, yaitu Kitab Suci, itu lebih kuat daripada pengetahuan. Seperti yang dinyatakan dalam Kitab Suci "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat" (lbr. 11: 1).

[1] Milne, Bruce, Mengenali Kebenaran : Panduan Iman Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003. hal 52-53
[2] Soedarmo, R, Ikhtisar Dogmatika, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2002. hal 57
[3] Becker, Deter, Pedoman Dogmatika : Suatu Kompendium Singkat, BPK Gunung Mulia, 2001. hal. 45.
[4] Soedarmo, op cit hal. 57-76
[5] Milne, op cit hal. 56-57