Jumat, 14 Desember 2007

KONSELING PERNIKAHAN

I. Pendeta sebagai Koselor Pernikahan

Seseorang yang menghadapi persoalan dalam keluarga, seharusnya pergi kepada orang tuanya untuk mendiskusikannya, tetapi pada kenyataannya mereka justru pergi kepada para pendeta untuk meminta nasehat. Menagapa demikian? Karena orang tua mereka sangat sibuk, sehingga mereka pergi kepada pendeta sebagai figur orang tua. Figur tersebut menunjukkan adanya gambaran peran yang menunjukkan nilai orang tua pada pendeta tersebut.
Konsep peran berarti bahwa didalam hidup ini, kita melihat seseorang yang melakukan tugas untuk kita dengan cara tertentu. Peran selalu mencakup pemenuhan beberapa kebutuhan atau keinginan.
Ada banyak peran yang ada di masyarakat dihadirkan pada diri pendeta, berikut diuraikan gambaran peran seorang pendeta dalam arti luas, yaitu:
Pendeta adalah teman dalam arti luas untuk gereja dan Tuhan.
Pendeta diharapkan selalu ada dimana ia dibutuhkan, dirumah sakit, di rumah bahkan dipenjara, dan ia siap selama 24 jam. Pendeta diharapkan dapat memenuhi setiap kebutuhan jemaatnya, baik yang bersifat materi maupun spiritual.
Pendeta sunguh-sunguh tertarik dengan masalah perkawinan dan rumah tangga.
Pendeta terlibat terhadap pelayanan sejak baptisan bayi, menikahkan mereka yang telah dewasa hingga pemakaman orang tua atau bahkan kegenerasi di atasnya. Ia tidak hanya terlibat dengan permasalah seremoni tetapi juga dengan pengajaran.
Pendeta memiliki peran yang dapat dipercaya dalam isu perceraian.
Pendeta dapat dipercaya oleh mereka yang percaya bahwa perceraian seharusnya tidak ada, bahkan dapat dipercaya oleh masyarakat umum yang percaya bahwa pendeta akan menyelamatkan suatu pernikahan jika masih mungkin.
Pendeta menetapkan suatu keputusan atas benar dan salah.
Setiap orang yang datang kepada pendeta berharap bahwa mereka akan menerima jawaban benar atau salah atas situasi yang sedang mereka hadapi. Jika seorang isteri melaporkan bahwa suaminya menginginkan oral sex, maka dia akan mengharapkan jawaban pendeta bahwa itu adalah sejenis penyimpangan. Seorang suami yang datang dan menceritakan bahwa isterinya selingkuh dengan bosnya, maka si suami akan yakin bahwa pendeta tidak akan menjawab, ” lalu apa?,” ”Itu terjadi setiap saat.”

Pendeta menawarkan keselamatan.
Ketika sebuah pernikahan gagal, orang selalu berhadapan dengan ketidak berdayaannya. Mereka lalu bertanya kepada dirinya sendiri, apa yang salah dengan ku? Mungkin agama dapat menolong. Mereka tahu bahwa tujuan agama adalah mengubah orang. Jika aku dapat mengajak pasanganku berbicara kepada pendeta, mungkin pendeta dapat menguatkan kami untuk mendapat jalan keluar, itulah harapan si suami.

PENDETA MENGEVALUASI KEWAJIBANNYA
Konseling juga merupakan kewajiban dari seorang Pendeta, dalam hal ini termasuk Konseling pernikahan.Hal ini harus benar-benar menjadi perhatian oleh Pendeta dan mereka yang menyerahkan orang-orang kepadanya.
Masalah pertama dalam konseling pernikahan bagi pendeta adalah pelatihan.
Selain dapat belajar dari berbagai buku, para pendeta dapat memperoleh pelatihan dari sekolah-sekolah teologi yang ada disekitarnya atau rumah sakit (klinik psikologi) yang ada dilingkungannya. Pelatihan tersebut akan dapat membantu pendeta meningkatkan kemampuan personalnya untuk mengatasi permasalahan yang ada saat wawancara.
Masalah kedua yang dihadapi pendeta adalah masalah reputasi moral.
Isu kerap dihadapi oleh seorang konselor bila mengunjungi lawan jenis berkali-kali. Untuk menghindari isu tersebut, setelah wawancara pertama atau kedua dapat dilakukan wawancara ditempat yang orang lain ada. Dalam konseling rumah tangga yang menghasilkan perceraian, pendeta juga akan menjadi sasaran empuk bagi isu moral.
Masalah ketiga menyangkut etis atau nilai-nilai.
Pendeta kerap diperhadapkan kepada masalah etis atau nilai-nilai yang sulit dalam melakukan konseling pernikahan. Sebagai contoh, jika seseorang mengatakan bahwa perceraian dapat dibenarkan jika karena jinah, apakah yang dilakukan pendeta, dalam kerangka teologis, apakah yang akan dikatakannya kepada wanita yang menikahi homoseksual dan membenci tubuh wanita itu dan menolak untuk menyentuhnya?. Haruskah seorang wanita tetap mempertahankan pernikahannya dengan seorang suami yang telah menggauli anaknya perempuan yang berusia 9 tahun tanpa mau melakukan perawatan? Dalam posisi ini, pendeta tersebut bagaikan orang Farisi didalam PB ketika mereka tidak melihat bahwa hari sabat dibuat untuk manusia dan bukan manusia untuk hari sabat.
Masalah terakhir, ada banyak masalah, tetapi yang pokok adalah mereka yang datang kepada konselor dan membisu, menyerahkan masalahnya kepangkuan konselor, seolah berkata ini masalah ku lakukan sesuatu untukku.
Banyak orang yang berharap terjadi sulap atau mukjizat, khususnya dari pendeta, mungkin karena pemahaman agama yang menyatakan bahwa ditangan Tuhan tidak ada yang mustahi. (Mat.19:26). Kerap orang berkata kepada pendeta ”apakah menurut anda ada harapan bagi kami untuk menyelesaikan masalah kami, jika kami berdua datang kepada mu?” Jawaban terbaik adalah :”Aku tidak tahu. Hal itu tergantung bagaimana kalian berdua ingin menyelamatkan pernikahan kalian, seberapa sabar kalian berdua untuk berusaha memecahkan masalah yang kompleks tersebut, dan seberapa mampu masing-masing dari anda untuk melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan.”
Jadi tanggung jawab pendeta (konselor) bukan untuk menyelamatkan orang tetapi hanya memberi kesaksian atas anugerah keselamatan dari Allah, dengan demikian didalam konseling dia mengambil tanggung jawab bukan untuk menyelamatkan pernikahan tetapi menyediakan suatu hubungan dimana dua orang dapat mengerti diri mereka satu sama lain, dengan cara lebih baik dan belajar cara berhubungan satu sama lain dengan lebih baik.

II. Kompetensi Interpersonal di dalam Keluarga
Di dalam konseling pernikahan kita tidak dapat menolong tetapi membuat be-berapa kerangka kerja teoritis (theoretical framework). Percaya bahwa masalah hubungan suami isteri dapat diselesaikan oleh suami sebagai kepala rumah tangga dan isteri mematuhi perintahnya adalah sebuah teori atau sudut pandang. Percaya bahwa jika laki-laki ”jalan dengan Tuhan” dia akan mampu untuk menyelesaikan masalah per-nikahannya, adalah teori lain. Teori-teori seperti itu akan menjadi dasar bagi konselor pernikahan didalam diskusi dengan pasangan suami isteri.
Pendekatan Kompetensi Interpersonal mencoba untuk membuang istilah-istilah seperti penyesuaian, sebagai suatu penghuni tetap atau warga tetap; kebahagiaan, seperti didasarkan atas suatu sifat yang dapat diperbandingkan atas persetujuan yang sangat samar-samar. Kematangan emosi (emotional maturity) seperti juga pertimbangan dan termasuk hilangnya kekuasaan untuk memotivasi individu. Lebih jauh, kompetensi adalah memahami adanya bagian-bagian dari situasi interpersonal dan usaha untuk menemukan cara yang lebih baik bereaksi terhadap orang lain atau orang yang terlibat.
Dengan kata lain, adanya situasi yang tidak menyenangkan buat dua orang, masing-masing seharusnya memandang situasi dari sudut pandang orang lain; alternatif keseimbangan, mendefenisikan tujuan baru dan menetapkan cara untuk mencapainya, dan belajar teknik-teknik untuk hidup bersama dengan cara yang lebih menyenangkan. Cara ini tidak pernah statis. Apa yang baik kemarin belum tentu baik untuk hari ini. Olehkarenanya, setiap bagian harus dilakukan dengan saling mendengar. Hidup bersama adalah suatu proses dinamika yang mengakui adanya perubahan baik didalam manusia maupun dunia.
Foote dan Cottrell’s memformulasikan 6 faktor yang inheren dalam pengalaman interpersonal didalam keluarga, yaitu :kesehatan, intelegensia, emphaty, autonomy, pertimbangan dan kreatvitas. Hudston sendiri memformulasikan ke enam faktor tersbut menjadi : kebebasan, autonomy, emphaty, fleksibilitas, kreativitas dan trust.
Autonomy dan fleksibilitas adalah sifat dasar atau karakter individu. Emphaty dan trust pada dasarnya fokus pada apa yang terjadi diantara dua orang dalam hubungan face to face.
Dalam konteks buku ini, pendekatan kompetensi interpersonal berarti bahwa orang yang memiliki 6 kualitas tersebut akan sukses membentuk hubungan permanen. Mereka yang kehilangan satu atau lebih akan gagal. Dalam hal ini berarti bahwa ketika menghadapi persoalan pernikahan kita mencari tingkat kebebasan, autonomy, empati, fleksibilitas, kreativitas dan trust yang dimiliki atau yang tidak dimiliki dan bagaimana hal ini mempengaruhi hibungan.
Komponen Pertama hubungan interpersonal yang baik dirumah adalah kebebasan (freedom). Tanpa kebebasan manusia akan seperti boneka yang digerakan oleh seseorang atau suatu kekuatan. Lawan dari kebebasan adalah paksaan. Jika setiap individu ingin bernilai dan dihormati, dia harus memiliki tingkat kebebasan yang memenuhi dirinya, demikian halnya dalam pernikahan. Kebebasan berarti kemampuan untuk menangapi orang lain, menjadi terbuka pada orang lain. Kebebasan dalam pernikahan tidak pernah mutlak. Kita bicara ”batasan pernikahan”. Pernikahan adalah suatu pernyataan dimana dua orang menerima batasan tertentu atas kebebasannya. Adanya kerelaan dan sedikit penegasan, pernikahan butuh bukan untuk meninggalkan perasaan pribadi untuk terjebak atau diperbudak. Jika dua orang telah saling sepakat untuk suatu hubungan cinta dan saling setia, mereka masih memiliki kebebasan didalam batas-batas yang harus mereka penuhi. Hal penting bagi konselor pernikahan adalah untuk melihat bagaimana pandangan masing-masing atas elemen kebebasan, apa yang perlu dikendalikan satu sama lain dan bagaimana hubungan pernikahan dapat ditata kembali sehingga tingkat kebebasan dan tanggapan yang dibutuhkan dapat ditemukan. Ranjang pernikahan janganlah jadi suatu penjara dan hubungan tidaklah sama dengan perbudakan.
Kedua, dan mungkin yang paling penting adalah autonomy. Autonomy menurut Erich Fromm :
Autonomy adalah bagian dari tragedi situasi kemanusian yang pertumbuhannya sendiri tidak pernah sempurna. Sekalipun dalam kondisi yang terbaik hanya sebagian dari potensi yang dimiliki manusia yang terealisir. Seseorang telah meninggal sebelum ia mencapainya secara penuh.
Teolog melihat autonomy dalam Tuhan dan dalam hubungan dengan Tuhan sebagai tujuan manusia. Psikolog dan Teolog setuju bahwa suatu individu harus menguatkan dirinya, menerima dirinya dan mengatur dirinya. Tiap orang harus bertanggung jawab untuk memelihara suatu standar internal yang stabil dengan mana ia mengatur, memiliki kepercayaan didalam dirinya, mengandalkan atas kemampuan diri sendiri dalam bidang kegiatan tertentu, mengembangkan pengendalian diri sendiri yang berfungsi ketika dibutuhkan, dan menjaga pertahanan yang memadai dan realistis terhadap ancaman akan serangan yang datang. Suatu pernikahan adalah suatu kesatuan dua orang yang merasa cukup layak dalam memberi dan menerima. Masing-masing harus mandiri (autonomous).
Konselor pernikahan harus mencoba untuk memahami tingkat autonomy masing-masing dan tingkat pelemahan individu dalam kisah hidup mereka. Kemudian menafsirkan satu sama lain. Tidak ada therapi singkat yang menyelesaikan masalah pernikahan jika keduanya begitu kurang dalam autonomy.
Kualitas ketiga, dalam sebuah pernikahan yang baik adalah empati. Empati adalah keprihatinan didalam pikiran terhadap orang lain tanpa merasakan perasan yang lain. Dalam proses empati yang utama adalah intlektual, tetapi emosi tidak dapat dihindarkan.
Contoh sempurna dari empati adalah pada saat sebelum Nabi Yehezkiel menyampaikan kotbahnya kepada orang Israel, Ia duduk di tepi sungai Kebar di Tel-Abib dan di sana Ia duduk tertegun di tengah-tengah mereka selama tujuh hari.(Yez.3:15) Yehezkiel mengalami dan merasakan apa dan situasi yang dialami bangsa Israel di pembuangan. Itu adalah empati. Demikian halnya saat Yesus menangisi Yerusalem (Luk.19:41-44).
Empati berbeda dengan simpati. Didalam simpati kita menderita bersama orang lain. Penderitaan kita bisa jadi lebih menyakitkan buat kita dibandingkan penderitaan yang sesungguhnya yang dialami orang lain. Tidak demikian dengan empati. Empati mencakup perkiraan seseorang atas situasi orang lain dalam usaha untuk memahami apa yang dia rasakan.
Bagaimana seorang pendeta yang tidak pernah mengalami perceraian memahami seseorang yang mengatakan bahwa ia tidak dapat bertahan tanpa anak ada isterinya ? Bagaimana ia dapat memahami seorang wanita yang mengatakan bahwa ia tidak pernah berfikir bahwa hal itu terjadi pada dirinya, tetapi ia jatuh cinta pada pria lain?
Jawab untuk seluruh pertanyaan ini adalah pendeta harus menggambarkan menurut pengalaman perasaannya sendiri dan mencoba untuk membangun kembali didalam dirinya sendiri perasaan orang lain.
Yang lebih penting, sebagaimana dia mendengarkan pasangan yang digangu juga mendengarkan yang lain, dia harus belajar untuk mencatat dengan akurat menurut pikirannya sendiri apa yang dirasakan dan diucapkan, dan mencoba untuk membuat beberapa persepsi bagaimana situasi ini jadinya. Mendengarkan tidaklah cukup. Merasakan apa yang dirasakan dan apa yang terjadi diantara dua individu adalah yang utama dibutuhkan untuk perawatan pasien pernikahan.
Empati perlu, tidak hanya untuk situasi konseling, tetapi untuk reaksi interpersonal buat para pasangan bermasalah, dan buat yang sejenis, untuk menciptakan situasi interpersonal yang baik.
Aspek Keempat dari pernikahan yang sukses adalah fleksibilitas (fleksibility). Hal ini dapat didefenisikan sebagai kemampuan ”untuk menggulung dengan kekuatan”. Perubahan melampaui yang orang dapat kendalikan muncul didalam hidup. Hal ini dapat tiba-tiba berubah didalam lingkungan fisik, seperti kecelakaan mobil, tornado, kematian teman atau serangan penyakit yang tiba-tiba. Atau perubahan dapat dengan cepat bergerak didalam hubungan interpersonal, seperti pengkianatan teman, ketidak taatan pasangan, kehilangan pekerjaan, suatu kehamilan yang tidak diharapkan atau penyakit mental salah atu anggota keluarga.
Rasul Paulus menggambarkan prinsip fleksibilitas dengan sangat jelas ketika ia mengatakan ”Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan.” (Flp.4:12).
Kelima, komponen kompetensi interpersonal adalah kreativitas (kreativity). Termasuk yang berhubungan dengan faktor ini adalah harapan. Tanpa harapan bahwa cara terbaik yang berhubungan tidak dapat ditemukan, demikian juga konselor dan konsili tidak memiliki dasar untuk membangun kembali perilakunya.
Kreativitas berarti memperkenalkan yang baru kedalam prilaku pasangan. Orang yang kreatif tidak pernah kehabisan akal untuk mencari cara baru untuk bereaksi dan tidak takut adanya perbedaan, spontanitas, pengambilan risiko. Kreativitas mengikuti kebebasan (freedom). Orang kreatif selalu bertanya :”apakah ini berjalan?” jika tidak, dia membuat alternatif yang lain.
Kreativitas penting dalam masalah pernikahan, hal ini menjadi pokok karena setiap tahapan pernikahan menginginkan suatu penyesuaian-penyesuaian baru. Dikalangan sosiolog dikenal dengan baik bahwa pernikahan memiliki tahapan-tahapan. Sebelum anak pertama lahir, pasangan berhubungan dengan cara yang biasa. Sejak anak pertama hingga anak yang terakhir masuk sekolah, suami isteri memiliki berbagai masalah. Fase lain adalah periode anak terakhir masuk sekolah hingga waktunya anak keluar dari perguruan tinggi atau hingga anak meninggalkan rumah. Periode ”Kehampaan” (empty nest), saat pasangan suami isteri kembali sendiri lagi. Dalam setiap fase (periode) membutuhkan kreativitas. Didalam pergaulan, penyesuaian sexual, prilaku dalam bermain, dalam keagamaan dan komunikasi, hingga daya tarik liburan, seluruh fase reaksi interpersonal, kreativitas adalah hal pokok.
Keenam, yang terakhir dari komponen kompetensi interpersonal adalah trust. Di dalam hubungan konseling dan didalam pengertian reaksi interpersonal antara pasangan, trust adalah sebuah komponen penting.

III. Masalah dibalik Masalah-Masalah
Ada 6 tipe situasi emosi yang mendasari timbulnya masalah dalam pernikahan, yaitu :
(1) Keinginan untuk membuat seseorang tergantung pada atau berpegang teguh pada.
(2) Kebutuhan akan kelembutan atau tanggapan seksual dalam pernikahan.
(3) Konsep peran yang dimainkan oleh suami dan isteri.
(4) Kebutuhan untuk mendominasi.
(5) Bahaya ketidak pekaan dan ketidak sensitifan, dan
(6) Kebutuhan untuk menyendiri dan dan menjauh.
Konselor pernikahan harus menanyakan kepada dirinya sendiri secara cermat : Mengapa dua orang tidak dapat menciptakan suatu harmoni?
Cara untuk menyelesaikan masalah dalam pernikahan, bagi sebagian konselor adalah : Apakah yang kita cari sejauh ini adalah masalah yang sebenarnya ?
Kita akan mengawali dengan suatu jenis masalah, berdasarkan pengalaman, ada satu yang paling umum : Keinginan untuk membuat seseorang tergantung pada atau berpegang teguh pada.
Seorang penulis masalah pernikahan mengatakan: ”Aku yakin bahwa kelemahan yang membuat kita mudah diserang kemalangan dalam mengembangkan pernikahan adalah kecenderungan untuk menahan kepasifan kita sejak awal, sifat mau menerima dan sifat ketergantungan.” Dia merujuk pada sifat ”sejak awal” karena kita masuk ke dunia ini sama sekali tergantung dan menghabiskan keberadaan keduniawian kita dalam periode waktu yang lama, bahkan sebagian atau seluruhnya tergantung pada orang lain, tidak ada makluk ciptaan yang mengalami waktu ketergantungan sedemikian lama.
Tidak seorangpun akan membantah bahwa seorang anak kecil butuh dicintai dan dirawat bahkan dilayani oleh orang dewasa. Tetapi ketika satu individu memasuki pernikahan, percaya bahwa dia mempunyai hak untuk dicintai tidak peduli bagaimana tindakannya dan apa masalah yang dihadapinya. Walaupun tindakannya baik dia tidak akan dicintai sebagaimana yang diinginkannya. Kebanyakan orang tidak mendapatkan cinta sebagaimana yang dia inginkan, yang mereka peroleh adalah rasa hormat satu sama lain.
Masalah kedua yang dihadapi Pendeta adalah kepekaan perasaan atau reaksi seksual dalam pernikahan.
Banyak sekali pemahaman yang keliru perihal seks didalam rumah tangga, bagi seorang konselor yang penting dipahami adalah, bahwa sebagian besar persoalan seksual didalam rumah tangga, sesungguhnya tidak berawal dari masalah seks.
Erich Fromm berpandangan bahwa adalah pemahaman yang keliru bila menganggap bahwa masalah sesungguhnya dari masalah seks adalah seks, bahwa pengaruh terbesar dari masalah seks adalah kesombongan, kesepian dan kecenderungan seseorang mengganggap dirinya superior. Kubie berpandangan sama, menurutnya ia belum pernah menemukan bahwa pernikahan terjadi atau hancur hanya oleh masalah seks belaka.
Malasalah ketiga yang dialami oleh banyak pernikahan adalah kesulitan dalam menetapkan peran yang dimainkan oleh suami dan isteri.
Latar belakang keluarga dari pasangan suami isteri mempengaruhi peran didalam sebuah pernikahan. Dalam keluarga yang dominasi ada pada pihak laki-laki (ayah) dan ibu hanya sebagai pengurus rumah tangga dan mengasuh anak, maka peran tersebut juga terbawa didalam rumah tangganya. Demikian halnya seorang isteri dari keluarga dimana ibunya mendominasi keluarga, maka si anak juga akan melakukan peran tersebut, maka dengan latar belakang keduanya, pernikahan tidak akan dapat berjalan dengan baik bahkan terancam pada perceraian.
Pada era saat ini perubahan peran suami dan isteri menjadi maslah yang krusial didalam rumah tangga. Pertanyaan yang muncul biasanya meliputi :
(1) Siapa yang menafkahi dan membayar semua tagihan ?
(2) Siapa yang memulai hubungan seks ?
(3) Siapa yang mengajari anak-anak ?
(4) Siapa yang berwenang dalam mengambil keputusan dalam hal yang penting ?
(5) Siapa yang membeli bahan makanan dan keperluan rutin lainnya ?
Pendeta harus memperhatikan seluruh variasi bagaimana suami dan isteri merasa peran mereka. Pendeta seharusnya mencoba mengklarifikasi isu tersebut, menolong tiap pasangan untuk dapat merasakan situasi yang ada berdasarkan sudut pandang pasangannya daripada mencoba mendekati masalah dengan mencari peran yang seharusnya mereka lakukan.
Masalah keempat yang tersembunyi diantara banyak pernikahan adalah kebutuhan untuk mendominasi satu sama lain.
Pada dasarnya kebutuhan untuk mendominasi muncul dari rasa ketidak amanan. Hal ini awalnya mungkin pada masa kanak-kanak, keinginan dasar untuk mendapatkan sesuatu menurut caranya sendiri, konsep peran yang berbeda, ketakutan akan kehilangan kendali secara mengejutkan atau hilangnya rasa hormat karena adaya kemandirian secara individual. Keamanan tersebut yang dicari oleh setiap orang terutama didalam pernikahan, suatu perasaan bahwa seseorang senang dan hormat kepada yang lain dalam situasi dimana satu sama lain saling menghormati.
Dalam melihat persoalan ini, konselor tidak boleh tergoda untuk mengatakan bahwa yang satu salah atau mengatkan bahwa hubungan keduanya adalah biasa-biasa saja. Konselor memiliki peluang yang besar untuk melihat seberapa besar tanggapan yang dimanupulasi, semakin besar seseorang memanipulasi tanggapannya semakin besar keinginannya untuk mendominasi. Konselor dapat menggunakan solusi alternatif dan mengkonfrontasikan jawabannya dengan pasangannya.
Pola reaksi kelima yang masuk kedalam pernikahan yang sedang sakit adalah ketidakadaan tanggungjawab dan ketidak pekaan satu sama lain.
Ketiadaan tanggung jawab dan ketidak sensitifan adalah merupakan tipe tanpa harapan dalam sebuah pernikahan. Tipe jenis ini biasanya memiliki karakter yang tidak patuh terhadap aturan yang ada di masyarakat, tidak peduli dengan orang lain.
Secara intelektual orang-orang tipe ini mengetahui seluruh jawaban tetapi tidak mau melakukannya. Sekalipun mereka mengetahui bahwa prilaku tersebut akan membawa mereka kepada masalah besar. Konselor berhadapan dengan 3 fakta yang dpat dilihat dengan jelas dalam orang jenis tipe ini, yaitu :
(1) Pasangan yang menikahi orang tipe tidak bertanggungjawab hampir selalu berniat menyakiti dan membuat kesulitan.
(2) Pandangan umum sulit mempercayai bahwa manusia tipe ini betul-betul ada atau tidak seorangpun termasuk rohaniawan yang menemukan cara untuk menolong mereka berubah.
(3) Mengarahkan mereka ke psikiatris juga tidak akan lebih baik, karena dia biasanya datang hanya tiga atau empat kali ke terapi dan sesuai ketentuan yang berlaku menurut hukum, orang jenis ini tidak dapat di rawat dirumah sakit jiwa.
Masalah kepribadian ke enam yang dihadapi Pendeta adalah orang yang memiliki suatu kebutuhan untuk menjauh dan menyendiri.
Kepribadian ini dapat terjadi pada salah satu pasangan atau keduanya. Jika terjadi padan keduanya hubungan akan memiliki toleransi. Jika salah satu sangat membutuhkan kedekatan dan kehangatan maka pernikahan akan menjadi tidak memiliki toleransi.
Orang yang penyendiri adalah tipe orang yang diindikasikan sebagai orang yang tidak menyukai keributan. Dia mungkin mengatkan bahwa psangannya tidak mematuhinya, dan isterinya lebih memikirkan ibunya dari pada dia, bahwa dia dingin secara seks atau dia tidak mampu bercinta. Dapat saja dia mengatakan ” Aku tidak pernah merasakan bahwa dia mencintai ku dan semakin kucoba mendekatinya dan mencintainya semakin dia menjauh dari ku”. Isterinya mungkin mengatakan bahwa dari awal dia sudah pelit dengan uang, kritis atas pekerjaan rumah, tidak dapat berhubungan dengan teman dan arogan dan mau menang sendiri dalam berdiskusi. Jika dia ramah dengan lelaki lain dia akan mengatakan, ”Apa yang kau lihat pada orang bodoh itu ?” Jika dia mencoba mengajaknya berekreasi, dia menjawab apakah sudah tidak ada lagi anak anak dan bukankah itu sama dengan menghabiskan hidupnya dengan bermain game komedi.
Dalam konseling dia mungkin baru saja dapat menerima bahwa dia terlalu serius dalam seluruh hidupnya, bahwa dia memiliki kebutuhan agar orang-orang menjauh darinya dan bahwa masalah pernikahannya adalah bagian dari kesalahannya. Dia bisa saja tidak dapat melihat bahwa penolakan oleh isterinya adalah sesuatu yang berhubungan dengan dirinya, oleh prilakunya sendiri, atau dia tidak mengijinkan orang-orang mendekat kepadanya agar mereka mengetahui betapa kosong dan tidak dapat dicintai dia.
Disarikan Oleh P. Erianto Hasibuan dari Buku Marital Counseling Karangan R. LOFTON HUDSON, Fortress Press, Philadelphia, 1966.

Tidak ada komentar: