Jumat, 14 Desember 2007

Teori Motivasi dari David Clarence McClelland

Oleh : P. Erianto Hasibuan
PENDAHULUAN

David Clarence McClelland (191727 Maret 1998) memperoleh BA pada tahun 1938 dari Universitas Wesleyan dan MA pada tahun 1939 pada Universitas Missouri serta Ph. D dalam bidang psikologi eksperimental pada Universitas Yale tahun 1941. McClelland pengajar di Sekolah Tinggi Connecticut dan Universitas Wesleyan sebelum diterima pada tahun 1956 di Universitas Harvard. Setelah ia bergabung selama 30an tahun di Harvard ia pindah ke Universitas Boston tahun 1987.
McClelland mengajukan teori motivasi yang didasarkan atas teori personaliti dari Henry Murray (1938), yang menset suatu model komprehensif dari kebutuhan manusia dan proses-proses motivasi. Henry A. Murray (13 Mei 189323 Juni 1988) adalah seorang Psikolog Amerika yang mengajar lebih dari 30 tahun di Universitas Harvard. Ia adalah pendiri Lembaga Psikoanalitis Boston dan mengembangkan teori personaliti yang didasarkan pada “kebutuhan” dan “tekanan”. Ia juga adalah pengembang Thematic Apperception Test (TAT) yang secara luas digunakan oleh para psikolog.
Didalam bukunya The achieving society (1961) McClelland merumuskan bahwa motivasi manusia dibagi kedalam tiga kebutuhan utama, yaitu : Kebutuhan untuk berprestasi (Need for achievement/n-Ach), Kebutuhan untuk berkuasa (Need for power/n-Pow) dan Kebutuhan untuk berafiliasi (Need for affiliation /n-Aff). Pokok penting dari masing-masing kebutuhan berbeda untuk tiap-tiap individu dan juga tergantung pada latar belakang kultur masing-masing individu. Ia juga menyatakan bahwa motivasi yang kempleks ini adalah suatu faktor penting didalam perubahan sosial dan evolusi didalam kemasyarakatan. Peninggalannya juga termasuk sistim skoring yang dikembangkan bersamaan untuk Thematic Apperception Test (TAT) yang dikembangkan oleh Murray and Morgan (1935). TAT tersebut digunakan untuk menilai personaliti dan meneliti motivasi seseorang.
1 Penggunaan teori ini di organisasi modern cukup berkembang utamanya untuk menyesuaikan kebutuhan seseorang dengan bidang tugas yang sesuai dengan kebutuhan yang dimilikinya. Sekalipun belum digunakan secara umum dalam proses rekrutmen, tetapi beberapa perusahaan telah mendasarkan teori ini dalam hal penempatan dan penetapan grade untuk tiap karyawannya.
TEORI KEBUTUHAN McClelland
Didalam teori kebutuhan yang digambarkan dalam model Murray, David McClelland mengatakan bahwa kebutuhan individu diperoleh dari waktu ke waktu dan dibentuk melalui pengalaman hidup seseorang. Sebagian besar dari kebutuhan ini dapat dikelompokkan menjadi prestasi, afiliasi dan kekuasaan. Keefektifan seseorang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dipengaruhi oleh ketiga kebutuhan tersebut. Teori McClelland kadang-kadang di katakan sebagai teori tiga kebutuhan atau sebagai teori kebutuhan yang dipelajari (learned needs theory).
Sesuai dengan namanya teori kebutuhan yang dipelajari, maka teori ini pada awalnya didasari pada kenyataan bahwa para sarjana yang memiliki prestasi tinggi di kampus tidak selamanya dapat menunjukkan prestasi yang tinggi didalam pekerjaan. Atas dasar tersebut dilakukan penelitian terhadap para pekerja yang sukses, dan mengapa mereka dapat sukses dalam pekerjaannya. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan maka diperoleh karakteristik yang ditunjukkan oleh individu dengan kinerja yang menonjol. Karakteristik tersebut mungkin juga dimiliki oleh mereka yang tidak berprestasi menonjol, tetapi pada mereka yang berprestasi menonjol, karakteristik tersebut lebih sering ditunjukkan dan diberbagai situasi dengan hasil yang lebih baik. Hal tersebut dikenal dengan istilah Kompetensi.
Pada perkembangan selanjutnya kompetensi diuraikan lebih lanjut dengan uraian bahwa struktur kompetensi dibedakan menjadi dua, yaitu hard competancy dan Soft competancy. Hard competancy adalah kompetensi yang kelihatan dipermukaan dan lebih mudah dikembangkan, seperti keterampilan dan pengetahuan, sedang Soft competancy adalah bagian yang tidak terlihat karena berupa nilai citra diri seseorang dan sifat motif dari seseorang, kompetensi ini lebih sulit dikembangkan, dan kompetensi jenis ini yang lebih menentukan keberhasilan dalam jangka panjang.
Kompetensi menjadi sesuatu yang penting dewasa ini, sebab dari berbagai penelitian yang dilakukan bahwa kompetensi berperan membantu individu untuk mencapai sasaran yang harus dicapai, dengan demikian penting bagi setiap individu untuk mengetahui dan memahami kompeensi yang dimilikinya dan keterkaitannya dalam pencapaian sasaran.

Achievment
n.Ach adalah suatu istilah yang diperkenalkan oleh David McClelland kedalam bidang psikologi, menunjukkan keinginan individu untuk secara secara signifikan berprestasi, menguasai skil, pengendalian atau standard tinggi. n.Ach berhubungan dengan kesulitan orang untuk memilih tugas yang dijalankan. Mereka yang memiliki n. Ach rendah mungkin akan memilih tugas yang mudah, untuk meminimalisasi risiko kegagalan, atau tugas dengan kesulitan tinggi, sehingga bila gagal tidak akan memalukan. Mereka yang memiliki n. Ach tinggi cenderung memilih tugas dengan tingkat kesulitan moderat, mereka akan merasa tertantang tetapi masih dapat dicapai. Mereka yang memiliki n.Ach tinggi memiliki karakteristik dengan kecenderungan untuk mencari tantangan dan tingkat kemandirian tinggi.
Orang-orang yang memiliki kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement/n-Ach) yang tinggi mencoba melampaui dan dengan demikian cenderung menghindari situasi yang berisiko rendah dan tinggi. Orang-orang yang berprestasi tinggi (achievers) menghindari situasi dengan risiko rendah karena dengan mudah mencapai kesuksesan yang bukan pencapaian yang sungguh-sungguh. Dalam proyek dengan risiko tinggi, achievers melihat hasilnya sebagai suatu kesempatan yang melampaui kemampuan seseorang. Individu dengan n. Ach tinggi cenderung bekerja pada situasi degan tingkat kesuksesan yang moderat, idealnya peluang 50%. Achievers membutuhkan umpan balik yang berkesinambungan untuk memonitor kemajuan dari pencapaiannya. Mereka lebih suka bekerja sendiri atau dengan orang lain dengan tipe achievers tinggi.
Banyak pengusaha mungkin gagal didalam kelompoknya tetapi tidak pada pekerjaannya. Mereka sangat puas dengan penghargaan yang didasarkan pada pencapaian prestasinya. Sumber n.Ach meliputi :
1. Orang tua yang mendorong kemandirian dimasa kanak-kanak
2. Menghargai dan memberi hadia atas kesuksesan
3. Asosiasi prestasi dengan perasaan positif
4. Asosiasi prestasi dengan orang-orang yang memiliki kompetensi dan usaha sendiri bukan karena keberuntungan.
5. Suatu keinginan untuk menjadi efektif atau tertantang
6. Kekuatan pribadi.
Affiliation
Mereka yang memiliki kebutuhan affiliasi (need for affiliation/n-Aff) tinggi membutuhkan hubungan kemanusiaan dengan orang lain dan membutuhkan rasa diterima dari orang lain. Mereka cenderung memperkuat norma-norma dalam kelompok kerja mereka. Orang dengan n.Aff tinggi cenderung bekerja pada tempat yang memungkinkan interaksi personal. Mereka bekerja dengan baik pada layanan customer dan situasi interaksi dengan pelanggan.
Power
Mereka yang memiliki kebutuhan kekuasaan (need for power/n-Pow) dapat menjadi orang yang memiliki dua tipe, personal dan institusional. Mereka yang butuh keuasaan personal menginginkan orang lain secara langsung, dan kebutuhan ini sering diterima sebagai hal yang tidak diingini. Seseorang yang membutuhkan kekuasan lembaga mau mengorganisir usaha orang lain untuk tujuan lebih lanjut dari organisasi. Manejer dengan kebutuhan kekuasaan lembaga yang tinggi cenderung lebih efektif dibandingkan dengan mereka yang membutuhkan kekuasaan personel tinggi.
Pengukuran
Teknik McClelland untuk mengukur n.Ach, n.Aff dan n.Pow dapat dilihat sebagai suatu terobosan radikal terhadap dominasi psikometri tradisional. Bagaimanpun terobos-an ini dikenal bahwa pemikiran McClelland dengan kuat dipengaruhi oleh pekerjaan Henry Murray, yang dikenal dengan istilah Model Murray proses motivasi dan kebutuhan manusia dan pekerjaannya selama perang dunia ke II. Murry yang pertama mengenali pengaruh n.Ach, n.Pow dan n.Aff dan menempatkannya didalam konteks yang terintegrasi dengan model motivasi. Asumsi teori personaliti didasarkan pada kompetensi tingkat tinggi seperti inisiatif, kreativitas, dan kepemimpinan dapat diukur menggunakan konsistensi secara internal. Pengukuran McClelland dikenal sebagai kompetensi yang sulit dan memerlukan aktivitas yang dikembangkan ataupun diperlihatkan dalam melakukan aktivitas. Lebih lanjut hal ini merupakan jumlah kumulatif dan berkelanjutan, komponen kompetensi menghasilkan pekerjaan yang sukses. Sesuai dengan sistim scoring n.Ach, n.Pow dan n.Aff dengan sederhana dapat dihitung berapa komponen kompetensi seseorang yang mempengaruhi aktivitas tersebut.
Sebagai contoh Hay mendefenisikan salah satu kompetensi yaitu dorongan berprestasi (achievement orientation) adalah perhatian untuk bekerja dengan baik atau melampaui standar prestasi. Standar tersebut dapat berupa prestasi diri sendiri dimasa lampau (improvement), ukuran yang objektif (result orientation)atau sesuatu yang belum dilakukan orang lain (innovation). Hal ini menunjukkan dorongan untuk bertindak lebih baik dan efisien.
Tingkatan :
Bekerja dengan baikuntuk mencapai suatu target.
Mencapai standar prestasi yang ditentukan.
Meningkatkan kinerja
Menetapkan dan mencapai sasaran yang menantang
Membuat analisis cost – benefit.
Mengambil risiko wirausaha yang diperhitungkan.
Apabila didalam suatu posisi jabatan (job) ditentukan kompetensi minimal yang dibutuhkan untuk dorongan berprestasi adalah pada level 4, maka akan dicari kandidat yang menunjukkan karakteristik selalu membuat target pribadi yang melampaui target yang ditetapkan, dengan cara yang inovatif dan sebelumnya menunjukkan hasil yang melampaui target yang ditetapkan.
Thematic Apperception Test (TAT)
McClelland menggunkan TAT untuk mengukur kebutuhan individual masing-masing orang yang berbeda. TAT adalah suatu projective test yang memberikan kepada subjek suatu rangkaian gambar-gambar yang berarti ganda, dan subjek diminta untuk mengembangkan suatu cerita spontan untuk masing-masing gambar. Asumsinya bahwa subjek akan memproyeksikan kebutuhannya kedalam cerita dan cerita ini akan merefleksikan tema-tema tertentu.
Para psikolog telah mengembangkan teknik scoring yang dapat diandalkan untuk TAT. Test menentukan score masing-masing individu untuk tiap kebutuhan berprestasi ( achievement), berafiliasi (affiliation), dan berkuasa (power). Score ini dapat digunakan untuk menggambarkan tipe pekerjaan mana yang sesuai bagi seseorang.
Sebagai contoh seseorang yang memiliki kebutuhan untuk berafiliasi (n.Aff) yang tinggi akan kurang produktif apabila yang bersangkutan ditempatkan pada pekerjaan yang lebih banyak berhadapan dengan mesin, untuk mendukung produktivitasnya maka selayaknya ditempatkan pada pekerjaan yang berhubungan degnan manusia atau menjalin hubungan dengan orang lain.
Implikasi
Learned needs theory dari McClelland telah membawa implikasi yang luas tidak hanya pada dunia bisnis dan pendidikan, tetapi juga dibidang olah raga. Sartono Mukadis seorang psikolog yang berprofesi sebagai konsultan sumber daya manusia dalam tulisannya Hujan Cambuk di Negeri Orang, Hujan Tangis di Negeri Sendiri, mengungkapkan dengan bahasa sederhana bagaima pengaruh dari adanya Achievement Motivation Training (AMT) yang merupakan hasil perkembangan dari The Achieving Society yang berkembang di Indonesia sejak tahun 1973-an lalu dan bertujuan menularkan virus nAch agar lebih menonjol dari dua needs lainnya :
“ orang yang sudah tertular virus nAch ditandai semangat bertanding dengan diri sendiri, jatuh bangkit kembali, berkesinambungan, mampu menetapkan tujuan antara yang terukur dan spesifik, mengenali kekuatan dan keterbatasan diri maupun lingkungan, serta menghargai setiap kritik dan umpan balik. juga selalu memulai dengan mencari penyebab kegagalan pada diri sendiri dan tidak menyalahkan pihak lainnya. Tidak berhenti pada keberhasilan dan pujian serta bekerja jauh melampaui ukuran materi semata.

Penulis tidak mendapatkan bahan yang berhubungan dengan kegiatan pastoral, sehingga implikasi yang disajikan adalah implikasi dibidang manajemen. Dengan TAT akan diperoleh kebutuhan seseorang, dengan pengetahuan tersebut maka orang yang memiliki kebutuhan yang berbeda dapat dimotivasi secara berbeda, seperti :
a. Kebutuhan untuk berprestasi tinggi – Orang yang tergolong pada high achiever harus diberikan pekerjaan yang menantang dengan sasaran akhir yang masih dapat dicapai. Bagi mereka uang bukanlah suatu motivator yang penting, yang lebih efektif adalah umpan balik atas apa yang telah mereka lakukan.
b. Kebutuhan untuk berafiliasi tinggi – Karyawan dengan kebutuhan afiliasi yang tinggi membutuhkan lingkungan kerja yang dipenuhi dengan nuansa kerjasama yang prima.
c. Kebutuhan akan kekuasaan – Manajemen harus menyediakan peluang untuk mengatur orang lain bagi mereka yag mencari kekuasaan.
Simpulan
Berdasar pada Learned needs theory dari McClelland, telah dilakukan berbagai observasi dan penelitian yang meneliti karakteristik yang ditunjukkan oleh individu dengan kinerja yang menonjol, atau lebih dikenal dengan istilah kompetensi. Berdasarkan kompetensi yang diharapkan tersebut selanjutnya telah berkembang pusat-pusat pelatihan untuk membentuk kompetensi yang diharapkan, bahkan sekolah-sekolah setidaknya telah mengiklankan program pendidikannya sebagai pendidikan yang berdasarkan pada kompetensi.
Pemahaman akan kompetensi seseorang akan menolong kita untuk memahami kebutuhan seseorang, dengan demikian dapat dimotivasi dengan tepat. Demikian halnya untuk kepentingan diri sendiri, kita dapat melatih diri kita untuk memiliki kompetensi yang kita butuhkan untuk berhasil. Dari ketiga kebutuhan tersebut, yang selalu mendapat perhatian sentral adalah n.Ach, yaitu kebutuhan untuk berprestasi. Kebutuhan ini menjadi sentral sebab merupakan motor penggerak dari seorang untuk menapai kinerja.
Bacaan :
· McClelland, D. C. (1961) The achieving society. Princeton: Van Nostrand. Sumber : wikipedia
· McClelland, D.C., Atkinson, J.W., Clark, R.A., & Lowell, E.L. (1953) The achievement motive. Princeton: Van Nostrand. Sumber : wikipedia
· Murray, H.A. (1938) Explorations in personality. New York: Oxford University Press. Sumber : wikipedia
· Gibson, James L. Organizations : behavior, structure, processes, 9thed. Richard D. Irwin, 1997.

Teori Psikoanalitis Adler

Oleh : P. Erianto Hasibuan
Lebih jauh dengan Alfred Adler
Alfred Adler dilahirkan pada tanggal 7 Pebruari 1870 di Wina (Austria) dan wafat pada tanggal 28 Mei 1937 di Aberdeen (Skotlandia). Ia adalah seorang Yahudi yang lahir dari keluarga yang termasuk dalam status sosial ekonomi kelas menengah pada saat itu. Adler ketika berusia 5 tahun terkena penyakit pneumonia (radang paru-paru) yang mendorong dia untuk memerangi penyakitnya hingga berhasil meraih gelar sarjana kedokteran dari University of Vienna. Ia akhirnya dikenal sebagai seorang ahli penyakit dalam.
Tahun 1898, ia menulis buku pertamanya yang memfokuskan pada pendekatan kemanusiaan dan penyakit dari sudut pandang individu sebagai pribadi bukan mem-bagi-baginya menjadi gejala, insting, atau dorongan-dorongan. Pada tahun 1902, ia mendapat tawaran kerjasama dari Freud untuk bergabung dalam kelompok diskusi untuk membahas masalah psikopatologi. Adler akhirnya ikut bergabung dan kemudi-an menjadi pengikut setia Freud, namun hubungan tersebut tidak berlangsung lama.
Pada tahun 1907, Adler menulis sebuah paper berjudul "Organ Inferiority" yang menjadi pemicu rusaknya hubungan Freud dengan Adler. Dalam tulisan tersebut Adler mengatakan bahwa setiap manusia pada dasarnya mempunyai kelemahan organis. Berbeda dengan hewan, manusia tidak dilengkapi dengan alat-alat tubuh untuk melawan alam. Kelemahan-kelemahan organis inilah yang justru membuat manusia lebih unggul dari makhluk-makhluk lainnya, karena mendorong manusia untuk melakukan kompensasi (menutupi kelemahan). Adler juga tidak sependapat dengan teori psikoseksual Freud. Pada tahun 1911, Adler meninggalkan kelompok diskusi, bersama dengan delapan orang koleganya, dan mendirikan sekolah sendiri. Sejak itu ia tidak pernah bertemu lagi dengan Freud.
Ia kemudian membentuk kelompoknya sendiri, yang kemudian dikenal sebagai Psikologi Individual dan yang menarik pengikut dari seluruh dunia. Pada tahun 1935 Adler menetap di Amerika Serikat di mana ia meneruskan praktiknya sebagai psikiater dan menjadi profesor dalam psikologi medis di Long Island College of Medicine.
Manusia sebagai makhluk sosial
1Berbeda secara tajam dengan pandangan pokok Freud bahwa tingkah laku manusia didorong oleh insting‑insting yang dibawa sejak lahir dan dengan aksioma pokok Jung yang menyatakan bahwa tingkah laku manusia dikuasai oleh arkhetipe‑arkhetipe yang dibawa sejak lahir. Adler berpendapat bahwa manusia pertama‑tama dimotivasikan oleh dorongan‑dorongan sosial. Menurut Adler, manusia pada dasarnya adalah mahluk sosial. Mereka menghubungkan dirinya dengan orang‑ orang lain, ikut dalam kegiatan‑kegiatan kerja sama sosial, menempatkan kesejahteraan sosial di atas kepentingan diri sendiri, dan mengembangkan gaya hidup yang meng-utamakan orientasi sosial. Adler tidak berkata bahwa manusia disosialisasikan hanya dengan melibatkan diri pada proses‑proses sosial; dorongan sosial adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir, meskipun tipe‑tipe khusus hubungan dengan orang dan pranata‑ pranata sosial yang berkembang ditentukan oleh corak masyarakat tempat orang itu dilahirkan. Maka dalam satu segi, pandangan Adler sama‑sama bersifat biologis seperti Freud dan Jung. Ketiga‑tiganya berpendapat bahwa seseorang mempunyai kodrat inheren yang membentuk kepribadiannya. Freud menekankan seks, Jung menekankan pola‑pola pemikiran primordial, serta Adler menekankan minat sosial. Penekanan pada faktor‑faktor sosial tingkah laku yang telah diabaikan atau diminimasikan oleh Freud maupun Jung membuat Adler berbeda sehingga memiliki ciri tersendiri.
Ada 3 ciri tersendiri teori Adler dan yang meberikan sumbangan paling besar bagi teori psikologi, yaitu :
 Adler mengalihkan perhatian para psikolog pada pentingnya variabel‑variabel sosial dan membantu mengembangkan bidang psikologi sosial pada saat psikologi sosial membutuhkan dorongan dan dukungan, terutama dari kalangan psikoanalisis.
‚ Adler memberi sumbangan penting bagi teori kepribadian dengan konsepnya mengenai diri yang kreatif. Tidak seperti ego Freud, yang terdiri dari kumpulan proses psikologis yang melayani tujuan insting‑insting diri Adler merupakan sistem subjektif yang sangat dipersonalisasikan, yang menginterpretasikan dan membuat pengalaman‑pengalaman organisme penuh arti. Tambahan lagi, diri mencari penga-laman‑pengalaman yang akan membantu pemenuhan gaya hidup sang pribadi yang unik; apabila pengalaman-pengalaman ini tidak ditemukan di dunia maka diri akan berusaha menciptakannya. Konsepsi tentang diri yang kreatif ini adalah baru bagi teori psikonalitik dan ia membantu mengimbangi "objektivisme" ekstrem psikoanalisis klasik, yang hampir sepenuhnya bersandar pada kebutuhan‑kebutuhan biologis dan stimulus‑stimulus dari luar untuk menerangkan dinamika kepribadian.
ƒ Adler menekankan pada keunikan kepribadian. Adler berpendapat bahwa setiap orang merupakan konfigurasi unik dari motif‑motif, sifat‑sifat, minat‑minat dan nilai-nilai; setiap perbuatan yang dilakukan orang membawa corak khas gaya hidupnya sendiri.
TEORI KEPRIBADIAN ADLER
Teori Adler tentang sang pribadi meminimasikan peran insting seksual yang dalam teori awal Freud memainkan peranan yang hampir eksklusif dalam dinamika tingkah laku. Terhadap monolog Freudian tentang seks ini, Adler menambahkan suara-suara lain yang penting. Manusia pertama‑tama adalah makhluk sosial, bukan seksual. Manusia dimotivasikan oleh minat sosial, bukan oleh dorongan seksual. Inferioritas mereka tidak terbatas pada bidang seksual, melainkan bisa meluas pada segala segi baik fisik maupun psikologis. Manusia berusaha berjuang mengembangkan gaya hidup unik di mana dorongan seksual memainkan peranan kecil. Sebenarnya, cara orang memuaskan kebutuhan‑kebutuhan seksualnya ditentukan oleh gaya hidupnya bukan sebaliknya. Penurunan peranan seks yang dilakukan Adler bagi banyak orang membuat lega dari panseksualisme Freud yang monoton.
Adler memberi tekanan kepada pentingnya sifat khas (unik) kepribadian, yaitu individualitas, kebulatan serta sifat‑sifat pribadi manusia. Menurut Adler tiap orang adalah suatu konfigurasi motif‑motif, sifat‑sifat, serta nilai‑nilai yang khas; tiap tindak yang dilakukan oleh seseorang membawakan corak khas gaya kehidupannya yang bersifat individual.
Teori kepribadian Adler sangat ekonomis dalam arti bahwa sedikit konsep dasar menopang seluruh struktur teoretisnya. Karena itu, segi pandangan Adler dapat dengan cepat disajikan secara ringkas dalam sejumlah kecil rubrik, yakni: (1) finalisme flktif, (2) perjuangan ke arah superioritas, (3) perasaan inferioritas (rendah diri) dan kompensasi, (4) minat sosial, (5) gaya hidup, (6) diri kreatif.
Finalisme Fiktif (Finalisme Semu)
Sehabis memisahkan diri dari Freud, Adler lalu sangat dipengaruhi oleh filsafat "seakan‑akan" yang dirumuskan oleh Hans Vaihinger dalam bukunya yang bedudul Die Philosophie des Als Ob (1911). Vaihinger mengemukakan, bahwa manusia hidup dengan berbagai macam cita‑cita atau pikiran yang semata‑mata bersifat semu, yang tidak ada buktinya atau pasangannya dalam realitas. Gambaran‑gambaran semu yang demikian itu misalnya: "Semua manusia ditakdirkan sama", Kejujuran adalah politik yang paling baik", "tujuan mengesahkan alat” dan sebagainya. Gambaran‑gambaran semu itu memungkinkan manusia untuk menghadapi realitas dengan lebih baik. Gambaran‑ gambaran semu tersebut adalah praduga-praduga penolong, yang apabila kegunaannya sudah tidak ada lagi lalu dapat dibuang.
Adler mengambil ajaran filsafat positivisme idealistis yang bersifat pragmatis itu dan disesuaikannya dengan pendapatnya sendiri. Di dalam filsafat Vaihinger itu Adler menemukan pengganti determinisme historis Freud yang menekankan faktor konstitusio-nal serta pengalaman masa kanak‑kanak; Adler menemukan gagasan bahwa manusia lebih didorong oleh harapan‑harapannya terhadap masa depan daripada pengalaman‑ pengalaman masa lampaunya. Tiap orang mempunyai Leitlenie, yaitu rancangan hidup rahasia yang tak disadari, yang diperjuangkannya terhadap segala rintangan. Tujuan yang ingin dikejar manusia itu mungkin hanya suatu fiksi, yaitu suatu cita‑cita yang tak mungkin direalisasikan, namun kendatipun demikian merupakan pelecut yang nyata bagi usaha manusia, dan karenanya juga merupakan sumber keterangan bagi tingkah lakunya. Menurut Adler orang yang normal dapat membebaskan diri akhimya, dari fiksi ini, sedang orang yang neurotis tidak.
Perjuangan ke Arah Superioritas
Pada tahun 1908, Adler telah mencapai kesimpulan bahwa agresi lebih penting daripada seksualitas. Kemudian impuls agresif itu. diganti dengan "hasrat akan kekuasaan". Adler mengidentifikasikan kekuasaan dengan sifat maskulin dan kelemahan dengan sifat feminin. Pada tahap pemikiran inilah (kira‑kira tahun 1900) ia mengemukakan ide tentang "protes maskulin" suatu bentuk kompensasi berlebihan yang dilakukan baik oleh pria maupun wanita jika mereka merasa tidak mampu dan rendah diri. Kemudian, Adler menggantikan "hasrat akan kekuasaan" dengan "perjuangan ke arah superioritas" yang tetap dipakainya untuk seterusnya. Jadi ada tiga tahap dalam pemikiran Adler tentang tujuan final manusia, yakni: menjadi agresif, menjadi berkuasa, dan menjadi superior.
Adler menegaskan bahwa superioritas bukan pengkotakan sosial, kepemimpinan, atau kedudukan yang tinggi dalam masyarakat. Tetapi superioritas yang dimaksudkan Adler adalah sesuatu yang sangat mirip dengan konsep Jung tentang diri atau prinsip aktualisasi‑diri dari Goldstein. Superioritas adalah perjuangan ke arah kesempurnaan. Ia merupakan "dorongan kuat ke atas".
Dari mana datangnya perjuangan ke arah superioritas atau kesempurnaan ini? Adler menyatakan bahwa perjuangan ini bersifat bawaan; bahwa ia merupakan bagian dari hidup; malahan hidup itu sendiri. Dari lahir sampai mati perjuangan ke arah superioritas itu membawa sang pribadi dari satu tahap perkembangan ke tahap‑tahap perkembangan berikutnya yang lebih tinggi. Adler mengakui bahwa dorongan ke arah superioritas itu dapat menjelma dengan beribu‑ribu cara yang berbeda‑beda, dan bahwa setiap orang mempunyai cara konkret masing‑masing untuk mencapai atau berusaha mencapai kesempurnaan. Orang yang neurotik misalnya, memperjuangkan harga diri, kekuasaan, dan pemujaan diri ‑ dengan kata lain, memperjuangkan tujuan~tujuan egoistik atau mementingkan diri sendiri ‑ sedangkan orang normal memperjuangkan tujuan‑tujuan yang terutama bersifat sosial.
Perasaan Inferioritas dan Kompensasi
Sejak mula‑mula menjadi dokter, Adler telah menaruh perhatian terhadap fungsi‑ fungsi jasmani yang kurang sempurna, hal ini dirumuskannya dalam Organ minderwertigheit und ihre psychische Kompensationen (1912). Mula‑mula dia menyelidiki tentang kenapakah apabila orang sakit itu menderita di daerah‑daerah tertentu pada tubuhnya; misalnya ada orang menderita sakit jantung, ada yang sakit paru‑paru, dan ada lagi yang sakit punggung, dan sebagainya. Jawab Adler ialah pada daerah‑daerah tersebut terdapat kekurangan‑kesempurnaan atau minderwertingkeit (inferiority), baik karena dasar maupun karena kelainan dalam perkembangan. Selanjutnya dia menemukan bahwa orang yang mempunyai organ yang kurang baik itu berusaha mengkompensasikannya dengan jalan memperkuat organ tersebut melalui latihan‑latihan yang intensif. Contoh yang terkenal mengenai kompensasi terhadap organ yang kurang sempurna ini adalah Demosthenes yang pada masa kanak‑kanaknya menggagap, tetapi karena latihan‑latihan akhirnya menjadi orator yang paling ternama.
Segera setelah dia menerbitkan monograf tentang minder­ wertigkeit von organen Adler memperluas pendapatnya tentang rasa rendah diri itu: pengertian ini mencakup segala rasa kurang berharga yang timbul karena ketidakmampuan psikologis atau sosial yang dirasa secara subyektif, ataupun karena keadaan jasmani yang kurang sempurna. Pada mulanya Adler menyatakan inferioritas itu dengan "kebetinaan" dan kompensasinya disebut "protes kejantanan", akan tetapi kemudian dia memasukkan hal itu kedalam pengertian yang lebih luas yaitu rasa diri kurang atau rasa rendah diri (Inferioritas) yang timbul karena perasaan kurang berharga atau kurang mampu dalam bidang penghidupan apa saja. Misalnya saja anak merasa kurang jika membandingkan diri dengan orang dewasa, dan karenanya didorong untuk mencapai taraf perkembangan yang lebih tinggi, dan apabila dia telah mencapai taraf perkembangan itu timbul lagi rasa diri kurangnya dan didorong untuk maju lagi, demikian selanjutnya. Adler berpendapat bahwa rasa rendah diri itu bukanlah suatu pertanda ketidak normalan; melainkan justru merupakan pendorong bagi segala perbaikan dalam kehidupan manusia. Tentu saja dapat juga rasa rendah diri itu berlebih‑lebih sehingga manifestasinya juga tidak normal, misalnya timbulnya kompleks rendah diri atau kompleks untuk superior. Tetapi dalam keadaan normal rasa rendah diri itu merupakan pendorong ke arah kemajuan atau kesempurnaan (superior).
Dalam pada itu perlu dicatat bahwa Adler bukanlah seorang hedonist; kendatipun rasa rendah diri itu membawa penderitaan, namun hilangnya rasa rendah diri tidak mesti berarti datangnya kenikmatan. Bagi Adler tujuan manusia bukanlah mendapatkan kenikmatan, akan tetapi mencapai kesempurnaan.
Minat Kemasyarakatan
Pada tahun‑tahun permulaan perumusan teorinya, ketika ia mengemukakan hakikat manusia yang agresif dan haus kekuasaan serta ide tentang protes maskulin sebagai suatu bentuk kompensasi berlebihan atas kelemahan feminin, Adler dikritik dengan tajam karena ia menekankan dorongan‑dorongan yang bersifat mementingkan diri sendiri dan mengabaikan motif‑motif sosial.
Adler, seorang pembela keadilan sosial dan penyokong demokrasi sosial, memperluas konsepsinya tentang manusia dengan memasukkan faktor minat sosial (1939). Meskipun minat sosial terjelma dalam bentuk‑bentuk seperti kerjasama, hubungan antarpribadi dan hubungan sosial; identifikasi dengan kelompok, empati dan sebagainya, namun makna istilah itu sendiri jauh lebih luas daripada hal‑hal ini. Menurut artinya yang terdalam, minat sosial berupa individu membantu masyarakat mencapai tujuan terciptanya masyarakat yang sempurna. "Minat sosial merupakan kompensasi sejati dan yang tak dapat dielakkan bagi semua kelemahan alamiah manusia 'lndividual".
Setiap orang berada dalam suatu konteks sosial sejak hari pertama hidupnya. Kerjasama terwujud dalam hubungan antara bayi dan ibunya, dan sejak itu sang pribadi terus‑menerus terlibat dalam jalinan hubungan antarpribadi yang membentuk kepribadiannya dan memberikan penyaluran‑penyaluran konkret bagi perjuangan ke arah superioritas. Perjuangan ke arah superioritas menjadi tersosialisasikan; cita‑cita akan suatu masyarakat yang sempurna menggeser ambisi yang bersifat murni pribadi dan keuntungan yang bersifat mementingkan diri sendiri. Dengan bekerja demi kepentingan umum, manusia melakukan kompensasi bagi kelemahan‑kelemahan individualnya sendiri.
Adler yakin bahwa minat sosial bersifat bawaan; bahwa manusia adalah makhluk sosial menurut kodratnya, bukan karena kebiasaan belaka. Akan tetapi sama seperti setiap bakat kodrati lainnya, kecenderungan yang dibawa sejak lahir ini tidak bisa muncul secara spontan, tetapi harus ditumbuhkan lewat bimbingan dan latihan. Karena ia yakin akan pentingnya pendidikan, maka Adler menyediakan banyak waktu untuk mendirikan klinik bimbingan kanak‑kanak, menyempurnakan sekolah-sekolah, dan mendidik masyarakat tentang cara‑cara. yang tepat untuk mengasuh anak‑anak.
Menarik untuk menelusuri dalam tulisan‑tulisan Adler perubahan pasti meski secara gradual pada konsepsinya tentang manusia sejak tahun‑tahun awal kehidupan profesinya ketika ia masih bersekutu dengan Freud sampai tahun‑tahun kemudian sesudah ia memiliki reputasi internasional. Di mata Adler muda, manusia didorong oleh nafsu akan kekuasaan dan dominasi yang tak terpuaskan untuk mengkompensasikan suatu perasaan inferioritas yang dalam dan tersembunyi. Di mata Adler tua, manusia dimotivasikan oleh minat sosial bawaan yang menyebabkan ia menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Gambaran tentang manusia sempurna yang hidup di.tengah suatu masyarakat yang sempurna menggantikan gambaran tentang manusia perkasa, agresif yang menguasai serta mengeksploitasi masyarakat. Minat kemasyarakatan menggantikan minat yang bersifat mementingkan diri.
Gaya Hidup
Gaya hidup, adalah prinsip sistem dengan mana kepribadian individual berfungsi; keseluruhanlah yang memerintah bagian‑bagiannya. Ini merupakan slogan dari teori kepribadian Adler. Gaya hidup merupakan prinsip-prinsip idiografik Adler yang utama; itulah prinsip yang menjelaskan keunikan seseorang. Setiap orang mempunyai gaya hidup tetapi tidak mungkin ada dua orang mengembangkan gaya hidup yang sama.
Setiap orang mempunyai tujuan sama, yakni superioritas, namun cara untuk mengejar tujuan ini tak terhingga jumlahnya. Orang yang satu berusaha menjadi superior dengan mengembangkan inteleknya, yang lain mengerahkan segenap usahanya untuk mencapai kesempurnaan otot.
Gaya hidup terbentuk sangat dini pada masa kanak‑kanak, pada usia 4 atau 5 tahun, dan sejak itu pengalaman‑pengalaman diasimilasikan dan digunakan seturut gaya hidup yang unik ini. Sikap, perasaan, apersepsi terbentuk dan menjadi mekanik pada usia dini, dan sejak itu praktis gaya hidup tidak bisa berubah. Orang mungkin memperoleh cara‑cara baru untuk mengungkapkan gaya hidupnya yang unik, tetapi cara‑cara ini hanya merupakan contoh‑contoh konkret dan khusus dari gaya hidup dasar sama yang terbentuk pada usia awal.
Adler menyatakan bahwa gaya hidup sebagian besar ditentukan oleh inferioritas‑inferioritas khusus, entah khayalan atau nyata yang dimiliki orang. Gaya hidup, merupakan kompensasi dari suatu inferioritas khusus. Apabila anak memiliki kelemahan fisik, maka gaya hidupnya akan berwujud melakukan hal‑hal yang akan menghasilkan fisik yang kuat. Anak yang bodoh akan berjuang mencapai superioritas intelektual.
Diri Kreatif
Konsep ini merupakan puncak prestasi Adler sebagai teoretikus kepribadian. Ketika ia menemukan daya kreatif pada diri, maka semua konsepnya yang lain ditempatkan di bawahnya; akhirnya ditemukan juga penggerak utama, sendi sang filsuf, obat mujarab kehidupan, penyebab pertama semua tingkah laku manusia yang telah sekian lama dicari Adler. Diri kreatif yang bersifat padu, konsisten, berdaulat dalam struktur kepribadian.
Seperti semua penyebab pertama yang lain, daya kreatif diri sulit digambarkan. Kita dapat melihat pengaruh‑pengaruhnya, tetapi kita. tidak dapat melihatnya. Diri kreatif merupakan jembatan antara stimulus‑stimulus yang menerpa seseorang dan respon‑respon yang diberikan orang yang bersangkutan terhadap stimulus‑stimulus itu. Pada hakikatnya, doktrin tentang diri kreatif itu menyatakan bahwa manusia membentuk kepribadiannya sendiri. Manusia membangun kepribadiannya dari bahan mentah hereditas dan pengalaman.
Diri kreatif adalah ragi yang mengolah fakta‑fakta dunia dan mentransformasikan fakta‑fakta ini menjadi kepribadian yang bersifat subjektif, dinamik, menyatu, personal dan unik. Diri kreatif memberikan arti pada kehidupan; ia menciptakan tujuan maupun sarana untuk mencapainya. Diri kreatif adalah prinsip aktif kehidupan manusia, dan tidak berbeda dengan konsep jiwa yang lebih kuno itu.


Bacaan :
Suryabrata, Sumadi, Psikologi Kepribadian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998
Calvin S. Hall at all, Theories of Personality, John Wiley & Sons, New York, 1978. Edisi Terjemahan oleh Kanisius, Yogyakarta, 1993.

KONSELING PERNIKAHAN

I. Pendeta sebagai Koselor Pernikahan

Seseorang yang menghadapi persoalan dalam keluarga, seharusnya pergi kepada orang tuanya untuk mendiskusikannya, tetapi pada kenyataannya mereka justru pergi kepada para pendeta untuk meminta nasehat. Menagapa demikian? Karena orang tua mereka sangat sibuk, sehingga mereka pergi kepada pendeta sebagai figur orang tua. Figur tersebut menunjukkan adanya gambaran peran yang menunjukkan nilai orang tua pada pendeta tersebut.
Konsep peran berarti bahwa didalam hidup ini, kita melihat seseorang yang melakukan tugas untuk kita dengan cara tertentu. Peran selalu mencakup pemenuhan beberapa kebutuhan atau keinginan.
Ada banyak peran yang ada di masyarakat dihadirkan pada diri pendeta, berikut diuraikan gambaran peran seorang pendeta dalam arti luas, yaitu:
Pendeta adalah teman dalam arti luas untuk gereja dan Tuhan.
Pendeta diharapkan selalu ada dimana ia dibutuhkan, dirumah sakit, di rumah bahkan dipenjara, dan ia siap selama 24 jam. Pendeta diharapkan dapat memenuhi setiap kebutuhan jemaatnya, baik yang bersifat materi maupun spiritual.
Pendeta sunguh-sunguh tertarik dengan masalah perkawinan dan rumah tangga.
Pendeta terlibat terhadap pelayanan sejak baptisan bayi, menikahkan mereka yang telah dewasa hingga pemakaman orang tua atau bahkan kegenerasi di atasnya. Ia tidak hanya terlibat dengan permasalah seremoni tetapi juga dengan pengajaran.
Pendeta memiliki peran yang dapat dipercaya dalam isu perceraian.
Pendeta dapat dipercaya oleh mereka yang percaya bahwa perceraian seharusnya tidak ada, bahkan dapat dipercaya oleh masyarakat umum yang percaya bahwa pendeta akan menyelamatkan suatu pernikahan jika masih mungkin.
Pendeta menetapkan suatu keputusan atas benar dan salah.
Setiap orang yang datang kepada pendeta berharap bahwa mereka akan menerima jawaban benar atau salah atas situasi yang sedang mereka hadapi. Jika seorang isteri melaporkan bahwa suaminya menginginkan oral sex, maka dia akan mengharapkan jawaban pendeta bahwa itu adalah sejenis penyimpangan. Seorang suami yang datang dan menceritakan bahwa isterinya selingkuh dengan bosnya, maka si suami akan yakin bahwa pendeta tidak akan menjawab, ” lalu apa?,” ”Itu terjadi setiap saat.”

Pendeta menawarkan keselamatan.
Ketika sebuah pernikahan gagal, orang selalu berhadapan dengan ketidak berdayaannya. Mereka lalu bertanya kepada dirinya sendiri, apa yang salah dengan ku? Mungkin agama dapat menolong. Mereka tahu bahwa tujuan agama adalah mengubah orang. Jika aku dapat mengajak pasanganku berbicara kepada pendeta, mungkin pendeta dapat menguatkan kami untuk mendapat jalan keluar, itulah harapan si suami.

PENDETA MENGEVALUASI KEWAJIBANNYA
Konseling juga merupakan kewajiban dari seorang Pendeta, dalam hal ini termasuk Konseling pernikahan.Hal ini harus benar-benar menjadi perhatian oleh Pendeta dan mereka yang menyerahkan orang-orang kepadanya.
Masalah pertama dalam konseling pernikahan bagi pendeta adalah pelatihan.
Selain dapat belajar dari berbagai buku, para pendeta dapat memperoleh pelatihan dari sekolah-sekolah teologi yang ada disekitarnya atau rumah sakit (klinik psikologi) yang ada dilingkungannya. Pelatihan tersebut akan dapat membantu pendeta meningkatkan kemampuan personalnya untuk mengatasi permasalahan yang ada saat wawancara.
Masalah kedua yang dihadapi pendeta adalah masalah reputasi moral.
Isu kerap dihadapi oleh seorang konselor bila mengunjungi lawan jenis berkali-kali. Untuk menghindari isu tersebut, setelah wawancara pertama atau kedua dapat dilakukan wawancara ditempat yang orang lain ada. Dalam konseling rumah tangga yang menghasilkan perceraian, pendeta juga akan menjadi sasaran empuk bagi isu moral.
Masalah ketiga menyangkut etis atau nilai-nilai.
Pendeta kerap diperhadapkan kepada masalah etis atau nilai-nilai yang sulit dalam melakukan konseling pernikahan. Sebagai contoh, jika seseorang mengatakan bahwa perceraian dapat dibenarkan jika karena jinah, apakah yang dilakukan pendeta, dalam kerangka teologis, apakah yang akan dikatakannya kepada wanita yang menikahi homoseksual dan membenci tubuh wanita itu dan menolak untuk menyentuhnya?. Haruskah seorang wanita tetap mempertahankan pernikahannya dengan seorang suami yang telah menggauli anaknya perempuan yang berusia 9 tahun tanpa mau melakukan perawatan? Dalam posisi ini, pendeta tersebut bagaikan orang Farisi didalam PB ketika mereka tidak melihat bahwa hari sabat dibuat untuk manusia dan bukan manusia untuk hari sabat.
Masalah terakhir, ada banyak masalah, tetapi yang pokok adalah mereka yang datang kepada konselor dan membisu, menyerahkan masalahnya kepangkuan konselor, seolah berkata ini masalah ku lakukan sesuatu untukku.
Banyak orang yang berharap terjadi sulap atau mukjizat, khususnya dari pendeta, mungkin karena pemahaman agama yang menyatakan bahwa ditangan Tuhan tidak ada yang mustahi. (Mat.19:26). Kerap orang berkata kepada pendeta ”apakah menurut anda ada harapan bagi kami untuk menyelesaikan masalah kami, jika kami berdua datang kepada mu?” Jawaban terbaik adalah :”Aku tidak tahu. Hal itu tergantung bagaimana kalian berdua ingin menyelamatkan pernikahan kalian, seberapa sabar kalian berdua untuk berusaha memecahkan masalah yang kompleks tersebut, dan seberapa mampu masing-masing dari anda untuk melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan.”
Jadi tanggung jawab pendeta (konselor) bukan untuk menyelamatkan orang tetapi hanya memberi kesaksian atas anugerah keselamatan dari Allah, dengan demikian didalam konseling dia mengambil tanggung jawab bukan untuk menyelamatkan pernikahan tetapi menyediakan suatu hubungan dimana dua orang dapat mengerti diri mereka satu sama lain, dengan cara lebih baik dan belajar cara berhubungan satu sama lain dengan lebih baik.

II. Kompetensi Interpersonal di dalam Keluarga
Di dalam konseling pernikahan kita tidak dapat menolong tetapi membuat be-berapa kerangka kerja teoritis (theoretical framework). Percaya bahwa masalah hubungan suami isteri dapat diselesaikan oleh suami sebagai kepala rumah tangga dan isteri mematuhi perintahnya adalah sebuah teori atau sudut pandang. Percaya bahwa jika laki-laki ”jalan dengan Tuhan” dia akan mampu untuk menyelesaikan masalah per-nikahannya, adalah teori lain. Teori-teori seperti itu akan menjadi dasar bagi konselor pernikahan didalam diskusi dengan pasangan suami isteri.
Pendekatan Kompetensi Interpersonal mencoba untuk membuang istilah-istilah seperti penyesuaian, sebagai suatu penghuni tetap atau warga tetap; kebahagiaan, seperti didasarkan atas suatu sifat yang dapat diperbandingkan atas persetujuan yang sangat samar-samar. Kematangan emosi (emotional maturity) seperti juga pertimbangan dan termasuk hilangnya kekuasaan untuk memotivasi individu. Lebih jauh, kompetensi adalah memahami adanya bagian-bagian dari situasi interpersonal dan usaha untuk menemukan cara yang lebih baik bereaksi terhadap orang lain atau orang yang terlibat.
Dengan kata lain, adanya situasi yang tidak menyenangkan buat dua orang, masing-masing seharusnya memandang situasi dari sudut pandang orang lain; alternatif keseimbangan, mendefenisikan tujuan baru dan menetapkan cara untuk mencapainya, dan belajar teknik-teknik untuk hidup bersama dengan cara yang lebih menyenangkan. Cara ini tidak pernah statis. Apa yang baik kemarin belum tentu baik untuk hari ini. Olehkarenanya, setiap bagian harus dilakukan dengan saling mendengar. Hidup bersama adalah suatu proses dinamika yang mengakui adanya perubahan baik didalam manusia maupun dunia.
Foote dan Cottrell’s memformulasikan 6 faktor yang inheren dalam pengalaman interpersonal didalam keluarga, yaitu :kesehatan, intelegensia, emphaty, autonomy, pertimbangan dan kreatvitas. Hudston sendiri memformulasikan ke enam faktor tersbut menjadi : kebebasan, autonomy, emphaty, fleksibilitas, kreativitas dan trust.
Autonomy dan fleksibilitas adalah sifat dasar atau karakter individu. Emphaty dan trust pada dasarnya fokus pada apa yang terjadi diantara dua orang dalam hubungan face to face.
Dalam konteks buku ini, pendekatan kompetensi interpersonal berarti bahwa orang yang memiliki 6 kualitas tersebut akan sukses membentuk hubungan permanen. Mereka yang kehilangan satu atau lebih akan gagal. Dalam hal ini berarti bahwa ketika menghadapi persoalan pernikahan kita mencari tingkat kebebasan, autonomy, empati, fleksibilitas, kreativitas dan trust yang dimiliki atau yang tidak dimiliki dan bagaimana hal ini mempengaruhi hibungan.
Komponen Pertama hubungan interpersonal yang baik dirumah adalah kebebasan (freedom). Tanpa kebebasan manusia akan seperti boneka yang digerakan oleh seseorang atau suatu kekuatan. Lawan dari kebebasan adalah paksaan. Jika setiap individu ingin bernilai dan dihormati, dia harus memiliki tingkat kebebasan yang memenuhi dirinya, demikian halnya dalam pernikahan. Kebebasan berarti kemampuan untuk menangapi orang lain, menjadi terbuka pada orang lain. Kebebasan dalam pernikahan tidak pernah mutlak. Kita bicara ”batasan pernikahan”. Pernikahan adalah suatu pernyataan dimana dua orang menerima batasan tertentu atas kebebasannya. Adanya kerelaan dan sedikit penegasan, pernikahan butuh bukan untuk meninggalkan perasaan pribadi untuk terjebak atau diperbudak. Jika dua orang telah saling sepakat untuk suatu hubungan cinta dan saling setia, mereka masih memiliki kebebasan didalam batas-batas yang harus mereka penuhi. Hal penting bagi konselor pernikahan adalah untuk melihat bagaimana pandangan masing-masing atas elemen kebebasan, apa yang perlu dikendalikan satu sama lain dan bagaimana hubungan pernikahan dapat ditata kembali sehingga tingkat kebebasan dan tanggapan yang dibutuhkan dapat ditemukan. Ranjang pernikahan janganlah jadi suatu penjara dan hubungan tidaklah sama dengan perbudakan.
Kedua, dan mungkin yang paling penting adalah autonomy. Autonomy menurut Erich Fromm :
Autonomy adalah bagian dari tragedi situasi kemanusian yang pertumbuhannya sendiri tidak pernah sempurna. Sekalipun dalam kondisi yang terbaik hanya sebagian dari potensi yang dimiliki manusia yang terealisir. Seseorang telah meninggal sebelum ia mencapainya secara penuh.
Teolog melihat autonomy dalam Tuhan dan dalam hubungan dengan Tuhan sebagai tujuan manusia. Psikolog dan Teolog setuju bahwa suatu individu harus menguatkan dirinya, menerima dirinya dan mengatur dirinya. Tiap orang harus bertanggung jawab untuk memelihara suatu standar internal yang stabil dengan mana ia mengatur, memiliki kepercayaan didalam dirinya, mengandalkan atas kemampuan diri sendiri dalam bidang kegiatan tertentu, mengembangkan pengendalian diri sendiri yang berfungsi ketika dibutuhkan, dan menjaga pertahanan yang memadai dan realistis terhadap ancaman akan serangan yang datang. Suatu pernikahan adalah suatu kesatuan dua orang yang merasa cukup layak dalam memberi dan menerima. Masing-masing harus mandiri (autonomous).
Konselor pernikahan harus mencoba untuk memahami tingkat autonomy masing-masing dan tingkat pelemahan individu dalam kisah hidup mereka. Kemudian menafsirkan satu sama lain. Tidak ada therapi singkat yang menyelesaikan masalah pernikahan jika keduanya begitu kurang dalam autonomy.
Kualitas ketiga, dalam sebuah pernikahan yang baik adalah empati. Empati adalah keprihatinan didalam pikiran terhadap orang lain tanpa merasakan perasan yang lain. Dalam proses empati yang utama adalah intlektual, tetapi emosi tidak dapat dihindarkan.
Contoh sempurna dari empati adalah pada saat sebelum Nabi Yehezkiel menyampaikan kotbahnya kepada orang Israel, Ia duduk di tepi sungai Kebar di Tel-Abib dan di sana Ia duduk tertegun di tengah-tengah mereka selama tujuh hari.(Yez.3:15) Yehezkiel mengalami dan merasakan apa dan situasi yang dialami bangsa Israel di pembuangan. Itu adalah empati. Demikian halnya saat Yesus menangisi Yerusalem (Luk.19:41-44).
Empati berbeda dengan simpati. Didalam simpati kita menderita bersama orang lain. Penderitaan kita bisa jadi lebih menyakitkan buat kita dibandingkan penderitaan yang sesungguhnya yang dialami orang lain. Tidak demikian dengan empati. Empati mencakup perkiraan seseorang atas situasi orang lain dalam usaha untuk memahami apa yang dia rasakan.
Bagaimana seorang pendeta yang tidak pernah mengalami perceraian memahami seseorang yang mengatakan bahwa ia tidak dapat bertahan tanpa anak ada isterinya ? Bagaimana ia dapat memahami seorang wanita yang mengatakan bahwa ia tidak pernah berfikir bahwa hal itu terjadi pada dirinya, tetapi ia jatuh cinta pada pria lain?
Jawab untuk seluruh pertanyaan ini adalah pendeta harus menggambarkan menurut pengalaman perasaannya sendiri dan mencoba untuk membangun kembali didalam dirinya sendiri perasaan orang lain.
Yang lebih penting, sebagaimana dia mendengarkan pasangan yang digangu juga mendengarkan yang lain, dia harus belajar untuk mencatat dengan akurat menurut pikirannya sendiri apa yang dirasakan dan diucapkan, dan mencoba untuk membuat beberapa persepsi bagaimana situasi ini jadinya. Mendengarkan tidaklah cukup. Merasakan apa yang dirasakan dan apa yang terjadi diantara dua individu adalah yang utama dibutuhkan untuk perawatan pasien pernikahan.
Empati perlu, tidak hanya untuk situasi konseling, tetapi untuk reaksi interpersonal buat para pasangan bermasalah, dan buat yang sejenis, untuk menciptakan situasi interpersonal yang baik.
Aspek Keempat dari pernikahan yang sukses adalah fleksibilitas (fleksibility). Hal ini dapat didefenisikan sebagai kemampuan ”untuk menggulung dengan kekuatan”. Perubahan melampaui yang orang dapat kendalikan muncul didalam hidup. Hal ini dapat tiba-tiba berubah didalam lingkungan fisik, seperti kecelakaan mobil, tornado, kematian teman atau serangan penyakit yang tiba-tiba. Atau perubahan dapat dengan cepat bergerak didalam hubungan interpersonal, seperti pengkianatan teman, ketidak taatan pasangan, kehilangan pekerjaan, suatu kehamilan yang tidak diharapkan atau penyakit mental salah atu anggota keluarga.
Rasul Paulus menggambarkan prinsip fleksibilitas dengan sangat jelas ketika ia mengatakan ”Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan.” (Flp.4:12).
Kelima, komponen kompetensi interpersonal adalah kreativitas (kreativity). Termasuk yang berhubungan dengan faktor ini adalah harapan. Tanpa harapan bahwa cara terbaik yang berhubungan tidak dapat ditemukan, demikian juga konselor dan konsili tidak memiliki dasar untuk membangun kembali perilakunya.
Kreativitas berarti memperkenalkan yang baru kedalam prilaku pasangan. Orang yang kreatif tidak pernah kehabisan akal untuk mencari cara baru untuk bereaksi dan tidak takut adanya perbedaan, spontanitas, pengambilan risiko. Kreativitas mengikuti kebebasan (freedom). Orang kreatif selalu bertanya :”apakah ini berjalan?” jika tidak, dia membuat alternatif yang lain.
Kreativitas penting dalam masalah pernikahan, hal ini menjadi pokok karena setiap tahapan pernikahan menginginkan suatu penyesuaian-penyesuaian baru. Dikalangan sosiolog dikenal dengan baik bahwa pernikahan memiliki tahapan-tahapan. Sebelum anak pertama lahir, pasangan berhubungan dengan cara yang biasa. Sejak anak pertama hingga anak yang terakhir masuk sekolah, suami isteri memiliki berbagai masalah. Fase lain adalah periode anak terakhir masuk sekolah hingga waktunya anak keluar dari perguruan tinggi atau hingga anak meninggalkan rumah. Periode ”Kehampaan” (empty nest), saat pasangan suami isteri kembali sendiri lagi. Dalam setiap fase (periode) membutuhkan kreativitas. Didalam pergaulan, penyesuaian sexual, prilaku dalam bermain, dalam keagamaan dan komunikasi, hingga daya tarik liburan, seluruh fase reaksi interpersonal, kreativitas adalah hal pokok.
Keenam, yang terakhir dari komponen kompetensi interpersonal adalah trust. Di dalam hubungan konseling dan didalam pengertian reaksi interpersonal antara pasangan, trust adalah sebuah komponen penting.

III. Masalah dibalik Masalah-Masalah
Ada 6 tipe situasi emosi yang mendasari timbulnya masalah dalam pernikahan, yaitu :
(1) Keinginan untuk membuat seseorang tergantung pada atau berpegang teguh pada.
(2) Kebutuhan akan kelembutan atau tanggapan seksual dalam pernikahan.
(3) Konsep peran yang dimainkan oleh suami dan isteri.
(4) Kebutuhan untuk mendominasi.
(5) Bahaya ketidak pekaan dan ketidak sensitifan, dan
(6) Kebutuhan untuk menyendiri dan dan menjauh.
Konselor pernikahan harus menanyakan kepada dirinya sendiri secara cermat : Mengapa dua orang tidak dapat menciptakan suatu harmoni?
Cara untuk menyelesaikan masalah dalam pernikahan, bagi sebagian konselor adalah : Apakah yang kita cari sejauh ini adalah masalah yang sebenarnya ?
Kita akan mengawali dengan suatu jenis masalah, berdasarkan pengalaman, ada satu yang paling umum : Keinginan untuk membuat seseorang tergantung pada atau berpegang teguh pada.
Seorang penulis masalah pernikahan mengatakan: ”Aku yakin bahwa kelemahan yang membuat kita mudah diserang kemalangan dalam mengembangkan pernikahan adalah kecenderungan untuk menahan kepasifan kita sejak awal, sifat mau menerima dan sifat ketergantungan.” Dia merujuk pada sifat ”sejak awal” karena kita masuk ke dunia ini sama sekali tergantung dan menghabiskan keberadaan keduniawian kita dalam periode waktu yang lama, bahkan sebagian atau seluruhnya tergantung pada orang lain, tidak ada makluk ciptaan yang mengalami waktu ketergantungan sedemikian lama.
Tidak seorangpun akan membantah bahwa seorang anak kecil butuh dicintai dan dirawat bahkan dilayani oleh orang dewasa. Tetapi ketika satu individu memasuki pernikahan, percaya bahwa dia mempunyai hak untuk dicintai tidak peduli bagaimana tindakannya dan apa masalah yang dihadapinya. Walaupun tindakannya baik dia tidak akan dicintai sebagaimana yang diinginkannya. Kebanyakan orang tidak mendapatkan cinta sebagaimana yang dia inginkan, yang mereka peroleh adalah rasa hormat satu sama lain.
Masalah kedua yang dihadapi Pendeta adalah kepekaan perasaan atau reaksi seksual dalam pernikahan.
Banyak sekali pemahaman yang keliru perihal seks didalam rumah tangga, bagi seorang konselor yang penting dipahami adalah, bahwa sebagian besar persoalan seksual didalam rumah tangga, sesungguhnya tidak berawal dari masalah seks.
Erich Fromm berpandangan bahwa adalah pemahaman yang keliru bila menganggap bahwa masalah sesungguhnya dari masalah seks adalah seks, bahwa pengaruh terbesar dari masalah seks adalah kesombongan, kesepian dan kecenderungan seseorang mengganggap dirinya superior. Kubie berpandangan sama, menurutnya ia belum pernah menemukan bahwa pernikahan terjadi atau hancur hanya oleh masalah seks belaka.
Malasalah ketiga yang dialami oleh banyak pernikahan adalah kesulitan dalam menetapkan peran yang dimainkan oleh suami dan isteri.
Latar belakang keluarga dari pasangan suami isteri mempengaruhi peran didalam sebuah pernikahan. Dalam keluarga yang dominasi ada pada pihak laki-laki (ayah) dan ibu hanya sebagai pengurus rumah tangga dan mengasuh anak, maka peran tersebut juga terbawa didalam rumah tangganya. Demikian halnya seorang isteri dari keluarga dimana ibunya mendominasi keluarga, maka si anak juga akan melakukan peran tersebut, maka dengan latar belakang keduanya, pernikahan tidak akan dapat berjalan dengan baik bahkan terancam pada perceraian.
Pada era saat ini perubahan peran suami dan isteri menjadi maslah yang krusial didalam rumah tangga. Pertanyaan yang muncul biasanya meliputi :
(1) Siapa yang menafkahi dan membayar semua tagihan ?
(2) Siapa yang memulai hubungan seks ?
(3) Siapa yang mengajari anak-anak ?
(4) Siapa yang berwenang dalam mengambil keputusan dalam hal yang penting ?
(5) Siapa yang membeli bahan makanan dan keperluan rutin lainnya ?
Pendeta harus memperhatikan seluruh variasi bagaimana suami dan isteri merasa peran mereka. Pendeta seharusnya mencoba mengklarifikasi isu tersebut, menolong tiap pasangan untuk dapat merasakan situasi yang ada berdasarkan sudut pandang pasangannya daripada mencoba mendekati masalah dengan mencari peran yang seharusnya mereka lakukan.
Masalah keempat yang tersembunyi diantara banyak pernikahan adalah kebutuhan untuk mendominasi satu sama lain.
Pada dasarnya kebutuhan untuk mendominasi muncul dari rasa ketidak amanan. Hal ini awalnya mungkin pada masa kanak-kanak, keinginan dasar untuk mendapatkan sesuatu menurut caranya sendiri, konsep peran yang berbeda, ketakutan akan kehilangan kendali secara mengejutkan atau hilangnya rasa hormat karena adaya kemandirian secara individual. Keamanan tersebut yang dicari oleh setiap orang terutama didalam pernikahan, suatu perasaan bahwa seseorang senang dan hormat kepada yang lain dalam situasi dimana satu sama lain saling menghormati.
Dalam melihat persoalan ini, konselor tidak boleh tergoda untuk mengatakan bahwa yang satu salah atau mengatkan bahwa hubungan keduanya adalah biasa-biasa saja. Konselor memiliki peluang yang besar untuk melihat seberapa besar tanggapan yang dimanupulasi, semakin besar seseorang memanipulasi tanggapannya semakin besar keinginannya untuk mendominasi. Konselor dapat menggunakan solusi alternatif dan mengkonfrontasikan jawabannya dengan pasangannya.
Pola reaksi kelima yang masuk kedalam pernikahan yang sedang sakit adalah ketidakadaan tanggungjawab dan ketidak pekaan satu sama lain.
Ketiadaan tanggung jawab dan ketidak sensitifan adalah merupakan tipe tanpa harapan dalam sebuah pernikahan. Tipe jenis ini biasanya memiliki karakter yang tidak patuh terhadap aturan yang ada di masyarakat, tidak peduli dengan orang lain.
Secara intelektual orang-orang tipe ini mengetahui seluruh jawaban tetapi tidak mau melakukannya. Sekalipun mereka mengetahui bahwa prilaku tersebut akan membawa mereka kepada masalah besar. Konselor berhadapan dengan 3 fakta yang dpat dilihat dengan jelas dalam orang jenis tipe ini, yaitu :
(1) Pasangan yang menikahi orang tipe tidak bertanggungjawab hampir selalu berniat menyakiti dan membuat kesulitan.
(2) Pandangan umum sulit mempercayai bahwa manusia tipe ini betul-betul ada atau tidak seorangpun termasuk rohaniawan yang menemukan cara untuk menolong mereka berubah.
(3) Mengarahkan mereka ke psikiatris juga tidak akan lebih baik, karena dia biasanya datang hanya tiga atau empat kali ke terapi dan sesuai ketentuan yang berlaku menurut hukum, orang jenis ini tidak dapat di rawat dirumah sakit jiwa.
Masalah kepribadian ke enam yang dihadapi Pendeta adalah orang yang memiliki suatu kebutuhan untuk menjauh dan menyendiri.
Kepribadian ini dapat terjadi pada salah satu pasangan atau keduanya. Jika terjadi padan keduanya hubungan akan memiliki toleransi. Jika salah satu sangat membutuhkan kedekatan dan kehangatan maka pernikahan akan menjadi tidak memiliki toleransi.
Orang yang penyendiri adalah tipe orang yang diindikasikan sebagai orang yang tidak menyukai keributan. Dia mungkin mengatkan bahwa psangannya tidak mematuhinya, dan isterinya lebih memikirkan ibunya dari pada dia, bahwa dia dingin secara seks atau dia tidak mampu bercinta. Dapat saja dia mengatakan ” Aku tidak pernah merasakan bahwa dia mencintai ku dan semakin kucoba mendekatinya dan mencintainya semakin dia menjauh dari ku”. Isterinya mungkin mengatakan bahwa dari awal dia sudah pelit dengan uang, kritis atas pekerjaan rumah, tidak dapat berhubungan dengan teman dan arogan dan mau menang sendiri dalam berdiskusi. Jika dia ramah dengan lelaki lain dia akan mengatakan, ”Apa yang kau lihat pada orang bodoh itu ?” Jika dia mencoba mengajaknya berekreasi, dia menjawab apakah sudah tidak ada lagi anak anak dan bukankah itu sama dengan menghabiskan hidupnya dengan bermain game komedi.
Dalam konseling dia mungkin baru saja dapat menerima bahwa dia terlalu serius dalam seluruh hidupnya, bahwa dia memiliki kebutuhan agar orang-orang menjauh darinya dan bahwa masalah pernikahannya adalah bagian dari kesalahannya. Dia bisa saja tidak dapat melihat bahwa penolakan oleh isterinya adalah sesuatu yang berhubungan dengan dirinya, oleh prilakunya sendiri, atau dia tidak mengijinkan orang-orang mendekat kepadanya agar mereka mengetahui betapa kosong dan tidak dapat dicintai dia.
Disarikan Oleh P. Erianto Hasibuan dari Buku Marital Counseling Karangan R. LOFTON HUDSON, Fortress Press, Philadelphia, 1966.

SEWARD HILTNER-DISCOVERING APPROACH AND METHOD

Bab ini menyajikan dua pendekatan dalam konseling pastoral yang keduanya efektif. Pembahasan diawali dengan psikologis dinamis dan sejarah hidup, mempelajari faktor-faktor pembentuknya atau pelakunya selanjutnya mempertimbangkan bagaimana menolongnya atau metode-metode konseling. Dapat juga dimulai dengan pendekatan dan metode serta studi dinamis seolah kita terpaksa sebagai mereka melalui pertanyaan-pertanyaan secara metodologis.
Dalam penguraiannya penulis membagi kedalam 2 bagian besar, yaitu :
I. Analisa wawancara
Untuk menjelaskan bagaimana efektivitas suatu waawancara dilakukan penulis menyajikan dialog Betty Smith dengan Pendeta, yang oleh penulis diidentifikasi sebagai 9 pendeta. Wawancara tersebut telah dilakukan oleh 40 orang pendeta didalam seminar. Didalam setiap wawancara yang dilakukan oleh masing-masing pendeta penulis telah memberi komentar menyangkut efektivitas dari apa yang dilakukan si pendeta dan respon dari Betty Smith (untuk lebih mudah digunakan istilah konsili sebagai pengganti dari penggunaan parishioner).
Dalam pembahasannya dibagian ini juga disajikan berbagai kelemahan-kelemahan yang dilakukan oleh para pendeta dalam melakukan tanggapan terhadap situasi yang dihadapi konsili seperti halnya Pendeta 1 yang mengabaikan pendekatan dan metode, Pendeta 2 yang menyamaratakan (generalization), Pendeta 3 yang kurang peka, Pendeta 4 yang moralis (moralize)mengalihkan (diverted), Pendeta 5 yang mengalihkan (diverts), Pendeta 6 yang tidak memahami, Pendeta 7 sebagai pengkotbah, Pendeta 8 yang dapat memahami serta Pendeta 9 sebagai pendorong (encouragement). Secara garis besar pembicaraan tersebut akan disajikan dalam bagian tersendiri.
II. Solusi Sementara
Dalam bagian ini diuraikan 5 solusi sementara yang disajikan, yaitu :
1. Proses konseling yang memfokuskan perhatian pada situasi anggota jemaat dan perasaan mereka akan hal tersebut.
2. Konseling dihasilkan melalui pengertian sebenarnya oleh Pendeta bagaimana perasaan anggota jemaat tentang situasi, dan melalui komunikasi atas situasi sebenarnya yang dipahami.
3. Ketika rasa pertentangan anggota jemaat (konsili) muncul didalam konseling, Pdt. memberi pertolongan pertama kepada anggota jemaat dengan menjelaskan dasar-dasar pertentangan tersebut dan hubungan mereka yang menarik menurut dia.
4. Hubungan konseling berisi suatu jenis khusus kebebasan atas bagian dari anggota jemaat (konsili) dan juga suatu jenis khusus pembatasan.
5. Proses Konseling harus meliputi, satu atau lebih kejadian yang sesuai, yang akan menolong dalam konsolidasi pengertian yang dicapai atau penjelasan yang dicapai.
I . ANALISA WAWANCARA
Dalam analisa wawancara, kasus yang diangkat adalah Betty Smith yang telah menjadi anggota sebuah gereja selama beberapa tahun, dia mempertimbangkan menjadi kristen sejak pengalamannya dalam percakapan saat dia mengikuti acara gereja. Usianya tiga puluan. Ia tinggal dengan orang tuanya dan dua orang saudara perempuannya, dan memiliki tanggung jawab yang baik terhadap keluarga. Beberapa bulan yang lalu ayahnya meninggal, dan reaksinya atas hal tersebut pada saat itu sepertinya sempurna, segala sesuatu dalam kendali. Baru-baru ini dia mengirim surat ke pendeta, dan diikuti dengan pembicaraan melalui telepon, dalam pembicaraan maupun surat, ia mengatakan ingin berbicara tentang keyakinan dan ayahnya yang meninggal.
Berikut ini akan disajikan beberapa petikan dari wawancara termasuk beberapa ulasan yang dianggap penting.
Miss Smith : Aku melalui waktu yang mengerikan sejak ayahku meninggal. Seolah pada awalnya aku harus menemui dia. Aku seharusnya melakukan sesuatu juga, tetapi aku tidak yakin aku sudah berada ditempat yang sama dengan dia.
Pendeta 1 : Engkau sudah melakukan hal yang bijak untuk tidak mengikuti jalan itu.
Ini teoritis dan sederhana yaitu persetujuan. Pendeta ini percaya bahwa dia harus setuju atau tidak setuju dengan Miss. Smith. Pernyataannya yang jelas itu akan membuat Miss Smith tidak mungkin untuk menyatakan adanya perasaan-perasaan negatif yang dia mililiki, buat dia (Pendeta) menunjukkan bahwa dia mengetahui tidak ada metode-metode tetapi hal itu adalah masalah setuju atau tidak setuju. Si Pendeta sebetulnya menjauhkan dirinya dari hal sebenarnya yang dihadapi Miss. Smith.
Pendeta 2 : Kita semua kadang kala memiliki pengalaman seperti ini.
Ini sederhana jika tidak teoritis, adalah penyamarataan. Perasaan bahwa Miss Smith memiliki persaan salah, ia bermaksud untuk menolongnya membersihkan dari kuasa yang membebani. Dia kira hal itu dapat dilakukan dengan mengatakan kepadanya bahwa bukan hanya dia sendiri yang menghadapi kesulitan tersebut. Lalu dia menyamaratakan, dengan demikian secara jelas Miss Smith mengetahui bahwa Pendeta tersebut tidak tertarik dan tidak mengerti atas situasi yang dihadapinya.
Pendeta 3 : Apakah yang sudah engkau lakukan?
Pendeta ini merasa bahwa hal yang penting adalah untuk melakukan tidakan pertama. Sehingga ia segera bergerak kearah tersebut. Dalam melakukan hal tersebut sudah barang tentu ia mengabaikan perasaan Miss Smith. Miss Smith sudah tentu tidak dapat sampai ketahapan tersebut hingga ia merasa ada kesempatan untuk menjelaskan bagaimana perasaannya. Kita dapat menarik kesimpulan bahwa Pendeta ini memiliki kepekaan yang rendah.
Pendeta 4 : Ayahmu hidup didalam hidupnya dan engkau memiliki hidupmu sendiri.
Pendeta ini beranggapan bahwa konseling hasil dari pertimbangan moral. Sesuatu yang menyangkut salah atau benar. Pendeta menolong orang untuk memutuskan diantara keduanya. ”Kadang kala orang-orang takut akan sesuatu yang salah.
Pendeta 5 : Ya, teruskan, mungkin kita akan mendapatkannya di suatu tempat.
Miss Smith dikagetkan. Dia bermaksud untuk melanjutkan, dan memperkirakan bahwa mereka akan ada disuatu tempat atau dia tidak akan kembali. Tetapi mungkin maksudnya mereka tidak akan sampai kemana pun, dan boleh jadi dia sebenarnya tidak harus kemana pun. Pendeta itu ingin untuk meyakinkan bahwa setiap orang mengetahui dia ada disana dan bertanggung jawab. Hasilnya adalah bahwa dia mengalihkan dan menaburkan keraguan.
Pendeta 6 : ”Aku yakin kematian ayahmu telah memberikan pengaruh besar bagimu.”
Kadang-kadang kita juga melakukan pembicaraan seperti ini, kita tidak memahami masalah yang sebenarnya sehingga kita hanya melindungi diri kita sendiri, sehingga lawan bicara dapat mengerti bahwa kita tidak mengerti apa yang sedang ia bicarakan.
Pendeta 7: ”Aku tahu kau membutuhkan waktu, karena kau sudah menderita begitu dalam, tetapi kita dapat memiliki kekuatan bila menyerahkannya kedalam tangan Tuhan.
Kotbah sesuatu yang baik dari mimbar. Tetapi kuasanya untuk mengejutkan dapat ditonjolkan bila digunakan dalam percakapan, khususnya setelahnya, dan masih lebih khusus bila komentar itu memberi kesan suatu perasaan yang diinginkan dan mungkin siap dicurahkan. Pada Minggu siang Miss Smith mengatakan ” Itu adalah kotbah yang baik”. Tetapi dalam periode konseling ia mungkin akan kelihatan begitu bodoh untuk mengatakan seluruhnya.

Pendeta 8 : ”Kau betul-betul dalam masalah”.
Inilah pengertian yang sebenarnya. Miss Smith telah memulai dengan suatu pengakuan, yang tidak ada yang kurang dari kenyataan tetapi ia sudah keluar untuk melihat jika disana ada beberapa pengertian sebelum ia melanjutkan. Komentar pendeta itu singkat.. Hal itu tidak bersifat umum, moralitas atau mencoba untuk menolong dengan suatu jawaban sebelum ada pernyataan jawaban. Pendeta itu menangkap perasaan utama Miss Smith yang dinyatakan dengan kalimat yang efektif ”masalah”. Ini adalah ucapan pendeta bukan ucapan Miss Smith. Dengan menggunakan hal itu, dia menunjukkan bahwa dia sudah menterjemahkan dengan benar, dan oleh karenanya dimengerti, inti perasaan yang akan diungkapkan Miss Smith. Dia bukan tanpa menyadari memasukkan dirinya sendiri kedalam situasi dengan mengatakan ” Maaf anda sedang dalam masalah”. Dia dengan mudah menunjukkan bahwa ia mengertri.
Pendeta 9 : ”Mungkin engkau mau menceritakan lebih lanjut bagaimana perasaanmu”.
Ini berhati-hati, suatu ketidak yakinan, dan dapat menimbulkan suatu kejelasan dalam pikiran Miss Smith. Tetapi di atas semuanya itu ini adalah dorongan nyata kepada Miss Smith untuk dikedepankan. Orang mungkin mengatakan bahwa pendeta itu sudah melakukan pendekatan yang benar dalam konseling tetapi masih belum memiliki keterampilan untuk menindak lanjutinya. Hal ini mengesankan bahwa walaupun buruk didalam teknik kadang kala memberi arti kecil bagi konselor yang telah memiliki prilaku yang benar dalam proses.
Pendeta yang melakukan interview sebenarnya sudah memberikan tanda pengertian. Ini sudah baik, bukan karena tidak adanya kata-kata yang dikandung, tetapi karena kebutuhan pada bagian ini untuk mendorong Pendeta untuk memahami dengan mempersilakan Miss Smith menyampaikan. Adalah suatu kesalahan bila mengira bahwa lebih diam atau hanya sedikit kata-kata adalah kunci dari konseling. Tetapi pointnya adalah suatu pengertian tanda setuju telah mencukupi.
Miss Smith : Aku merasa lebih baik sekarang, tetapi aku masih tidak tahu apakah aku percaya. Aku kira aku sudah yakin hingga dia meninggal, tetapi aku tidak pernah memiliki keyakinan yang teruji sebelumnya.
Pendeta : Kau sekarang memiliki keragu-raguan.
Pada dasarnya perasaan Miss Smith memberi kesan bahwa dia tidak yakin atas keyakinannya sebagaimana sebelumnya. Tanpa menyadari hal itu, dia menguji Pendeta tersebut untuk melihat apakah dia berkeinginan untuk menerima fakta bahwa dia memiliki keragu-raguan. Dia mendapatkan tanggapan bahwa dia mendapatkan hal itu.
Miss. Smith : Ya, aku masih memiliki mereka, dan aku kira aku akan selalu memiliki mereka. Aku tidak berfikir aku dapat percaya atas apa yang telah kulakukan sebelumnya. Hal ini mengerikan ketika kau mendapatkan bahwa keyakinanmu tidak bernilai apapun. Aku tidak pernah berbicara kepada siapapun. Kami tidak berbicara dengan sangat bebas di dalam keluarga kami, dan aku bahkan tidak pernah mengatakan satu kata pun kepada orang lain.
Pendeta : Dan engkau sudah bersedia untuk membicarakan hal ini kepada orang lain.
Hal pokok yang dikatakan Miss. Smith adalah bahwa dia merasa terisolasi. Dia merasa dia kehilangan sesuatu yang sangat berharga baginya, dan dia belum dapat membuat dirinya membicarakan hal tersebut kepada orang lain. Ia merasa sendiri. Sekarang dia sedang mengatakan hal itu dengan orang lain, tetapi rasa menjadi sendiri masih menyertainya. Bagaimana dia dapat menjelaskan perasaannya jika pendeta tidak mengerti apa yang dimaksud dengan perasaan terisolasi?. Tanggapan singkat pendeta menunjukkan bahwa dia tidak mengerti perasaan yang coba akan Mis Smith ungkapkan.
Mis. Smith : Ya, tetapi karena aku tidak mendapatkan, Aku telah mencoba meminta tolong melalui pendoa, dan hal itu pun tidak banyak menolong. Sebenarnya pertama kali aku merasa lebih baik adalah selama salah satu dari kotbah mu. Kadang kata-kata mu membuatku menyadari bahwa mungkin jika aku mendapatkan sesuatu hal yang tetap didalam hidupku, yaitu keyakinan hal itu akan memelihara ku.
Pendeta : Aku mengerti
Suatu hal yang berpengaruh didalam kotbah telah terbawa hingga kerumah oleh Miss Smith, dan sudah menolong mengigatkan dia bahwa kemungkinan perasaan kehilangan kepercayaan bukanlah keseluruhan masalahnya tetapi bagian kecil dari suatu masalah yang lebih besar yaitu menyangkut hubungannya dengan dunia, dengan orang-orang dan mungkin dengan dirinya sendiri. Dia tidak menegaskan ini untuk dirinya sendiri, tetapi apa yang dia ucapkan menunjukkan bahwa kesulitan yang dia peroleh adalah sesuatu yang terjadi didalam keseluruhan hidupnya. Dia mengetahui ini saat dia datang keruangan. Lalu mengapa dia tidak memulai dengan mengatakan, ”setelah ayahku meninggal aku menghadapi masalah besar, aku merasa kehilangan keyakinan. Sekarang aku mengetahui bahwa itu hanya sebagian. Masalahku bukan hanya keyakinanku?” Alasannya adalah untuk mengatakan bahwa akan membuka lebih luas area peribadinya untuk dilihat. Sebelum dia dapat mempercayai pendeta secara keseluruhan, dia memiliki perasaan bahwa sebenarnya pendeta mengerti. Melalui pemahaman bahwa pendeta mengerti perasaannya akan kehilangan keyakinan dan kesendirian, pendeta meyakin-kannya bahwa ia dapat mengerti dia. Dia tidak dengan sengaja menguji pendeta, tetapi itu adalah dampak. Sekarang dia tahu pendeta dapat dipercaya, dan dapat memimpin. Komentar Pendeta, ”saya tahu” adalah tepat disini, untuk lebih mengenali fakta bahwa Miss. Smith memiliki perhatian yang bernilai.
Miss Smith : Engkau mengatakan sesuatu yang belum pernah terpikirkan sebelumnya, engkau mengatakan tentang wanita yang menyentuh Yesus. Engkau berbicara tentang orang dikeramaian dan siapa yang menyentuh dia dengan sengaja, tetapi engkau tidak bertaya, ”Siapa yang menjamahku dengan sengaja?” Itu hanyalah tanggapan atas jamahaan yang disengaja yang ia katakan, ”siapa yang menjamahku?” Aku heran jika aku menghabiskan seluruh hidupku untuk hal ini, menjadi seorang dari orang ramai yang ada didekat Yesus, tidak pernah menyentuh dia dengan sengaja.
Pendeta : Engkau sekarang merasa bahwa engkau sepertinya memiliki pengalaman yang lebih dekat.
Dengan jelas Pendeta sudah menyingkapkan hal yang mendasar Miss Simth telah mengatakan dan dengan bahasanya sendiri hal itu dikatakan dengan kata-katanya sendiri. Ini bukan muslihat. Dia mau menolong Miss Smith untuk menolong dirinya sendiri. Untuk benar-benar masuk untuk menolong dia, pendeta harus memahami apa yang coba dia komunikasikan kepadanya dan membuat hal itu jelas bahwa dia betul-betul mengerti. Metode pengungkapan (rephrasing) ini suatu pusat pikiran atau perasa-an, khususnya setelah penyataan panjang, adalah cara paling sederhana untuk menunjukkan bahwa seseorang sudah betul-betul mendapatkan maksud itu.
Miss Smith : Akankah, aku tahu, membuat suatu perbedaan yang menakjubkan di-dalam kehidupan setiap hari. Tetapi apakah engkau pikir orang biasa seperti aku, butuh pengalaman seperti itu? Aku dapat melihat dimana engkau membutuhkan hal itu, karena setelahnya adalah urusanmu, tetapi mungkin juga aku tidak membutuhkan itu.
Pendeta : Engkau ingin tahu apakah engkau benar-benar butuh keyakinan seperti itu.
Hingga tahap ini wawancara telah berjalan baik. Miss Smith telah merasa lebih baik bahwa pendeta memahami, telah menyatakan lebih isi hatinya, telah menunjukkan adanya kemajuan penting, hanya sekarang mulai untuk menyatakan bahwa dia merasa dia memiliki suatu konflik sekalipun pengetahuan baru belum dapat memecahkan.
Hal ini adalah godaan yang sangat alami buat pendeta untuk merasa terdorong dengan penerapan yan didasarkan pada ketertarikan utamanya pada urusan yang baik untuk mengatakan kepada Miss Smith setiap orang membutuhkan keyakinan. Lalu seorang Pendeta mengatakan, ”Jika aku membutuhkan itu, lalu demikian juga dengan semua pengikut kristus.”Walaupun tanggapan ini dapat dimengerti, hal itu tidak membantu. Untuk pertama kalinya Miss Smith menyatakan perasaan negatif yang sebenarnya kepada dirinya sendiri dengan memperhitungkan hal itu kepada pendeta. Godaannya adalah untuk menaggapi masalah individu tersebut. Tetapi hal itu tidak sepenuhnya personal. Hal itu hanyalah cara Miss Smith mencoba mencegah berhadapan dengan yang tidak menyenangkan atas pembicaraan akan dirinya. Jika Pendeta tidak mengerti hal tersebut, dia tidak memahami Miss Smith. Oleh karena itu sekalipun reaksi ini alami tetapi hal itu gagal secara lengkap didalam situasi konseling.
Dua Pendeta lain menaggapi dengan suatu cara menunjukkan bahwa mereka dapat menerima perasaan Miss Smith yang bertentangan sebagai suatu fakta. Yang lain berkata, ”engkau belum yakin hal itu buat mu : engkau yakin hal itu akan membuat suatu yang berbeda dalam hidupmu.” dan yang lain. ”Lalu engkau memisahkan antara mengingini hal tersebut dan menentangnya.” Kedua tanggapan ini adalah akut, dan menunjukkan suatu elemen yang tidak datang dari wawancara ini sebelumnya. Catatan bahwa Miss Smith telah menyampaikan komentarnya dalam dua sisi konflik : yang pertama pengalaman baru akan membuat suatu perbedaan didalam hidupnya yang dia akan nilai, dan yang kedua Konflik seperti membuat banyak permintaan hanya atas orang-orang biasa. Jika dua perasaan yang setidaknya masing-masing saling bertentangan satu sama lain dinyatakan, lalu pengertian yang menyatakan secara tidak langsung dikenali oleh masing-masing pihak seperti dua komentar pendeta yang serta merta atas apa yang sesungguhnya terjadi, maka penjelasan akan menolong. Hal ini ibarat konselor mengatakan, ”Aku mengerti bagaimana engkau memiliki dua perasaan tersebut, gagasan mereka mendorong dalam aarah pertentangan.” Untuk mendengar ungkapan pendeta tersebut didalam kata-katanya perihal bagian-bagian didalam konflik itu akan menuntun kearah penjelasan dari sifat bagian-bagian ini. Dan menuntun kearah kapasitas untuk menolong seseorang.
Miss Smith: Ya, dan aku tidak menyadari seberapa kecil aku hingga ayahku mening-gal. Aku merasa bahwa aku seharusnya mengetahui bagaimana untuk mendapatkan pengalaman jika aku memiliki sesuatu seperti yang engkau katakan didalam kotbahmu.
Pendeta : Apakah engkau kehilangan, yang begitu penting ?
Komentar ini keluar mengarahkan visi kepercayaan yang lebih dalam dan luas, dan bukan menyurutkan elemen dalam konflik. Pendeta itu menyatakan kembali perasaan yang mendasar. Pendeta yang lain mengatakan, ”lalu apakah engkau mau suatu penglaman iman didalam hidupmu.” dan yang lain, ”Engkau mau sesuatu yang lebih dalam dari yang telah kau alami sebelumnya.”
Miss Smith : Ya, Saya kira demikian.
Pendeta : Dan apakah itu sesuatu yang engkau ingini ?
Seorang Pendeta mengatakan dengan anggukan yang bersahabat lakukan hal itu. Pendeta yang kedua berkata, Dan engkau mau melakukan sesuatu agar supaya mendapatkannya?”. Pendeta ketiga, ”engkau mau hal itu cukup dengan mencari nya dimana itu didapatkan?” Bebarapa pendeta lain menanggapi, ”apakah keyakinanmu bertumbuh?” ”Sudahkah engkau coba hidup dengan cara itu?” ”Temukan, bersama kita akan menyatakan kemungkinan menjadi pengikut Tuhan.”
Miss Smith : Ya, tetapi apa artinya itu? Apa yang harus ku lakukan kedepan? Itulah yang aku takutkan.
Pendeta : Engkau sedikit kuatir karena mungkin lebih banyak yang engkau butuhkan daripada yang dapat engkau berikan?
Godaan pendeta itu mendorong Miss Smith adalah satu cara atau cara lain dan mencoba secara verbal untuk mengesampingkan ketakutannya. Tetapi melakukan hal itu adalah untuk menggagalkan rasa hormat Miss Smith sebagai seorang pribadi dan untuk mengabaikan haknya untuk memiliki perasaan negatif seperti ketakutan. Kembali Miss Smith didalam tanggapannya menghadapi dua hal atas konliknya. Dia mengatakan bahwa ia mau melanjutkan tetapi dia takut. Suatu tanggapan yang baik dari pendeta yang lain adalah,”engkau sebaiknya mendapatkan jawaban sebelumnya.”
Miss. Smith: Aku kira begitu, Aku kira aku harus mau memberi diriku dan percaya bahwa apa yang diperintahkan kepadaku adalah yang terbaik buat ku. Hal itu akan membuat banyak perbedaan didalam banyak urusan jika aku menyerahkan diriku. Aku sudah menjadi Kristen dalam waktu yang lama, tetapi ini berbeda. Apakah engkau yakin bahwa aku harus menyerahkan diriku dengan cara ini ?
Pendeta : Jawabannya kelihatannya sudah terjawab sendiri dengan sangat jelas dalam pikiran mu.
Inilah Pendeta itu. Aku kira membingungkan. Hingga kalimat terakhir hal itu menjadi jelas. Miss Smith telah dengan jelas membuat keputusan untuk bergerak maju. Ketika keraguan muncul lagi pada bagian akhir. Pendeta itu rupanya gagal dia seharusnya menjauh dengan mengabaikan hal itu. Kenyataannya bahwa wawancara tidak bergerak dari titik ini secara berarti sebagaimana yang dilakukan sebelumnya mungkin karena tindakan ini adalah bagian pendeta. Dia telah mengenali perasaan negatif sebelumnya, dan kemudian hal itu sepertinya Miss Smith sepakat dengan hal itu dan datang dengan sisi positif. Lalu komentar negatif kecil datang lagi, seperti kebiasaan lama. Secara metapora, pendeta menjauhkan perhatiannya dan kadang kala gagal.
Seorang pendeta memberi tanggapan lebih baik, ”engkau yakin, walau belum dapat menolong keinginan dengan cara yang lebih baik.” hal ini selanjutnya untuk mengenali dua sisi dari konflik, yang sejauh ini belum terpecahkan. Teman kita sang komandan, moralis dan generalis seluruhnya ada dengan alasan, ”Ya pergi ke gereja dan cari petunjuk Tuhan.” ”Komitmen yang sungguh-sungguh.” ”hanya itu jalan untuk memenuhi kuasa rohani.” Seseorang mungkin heran jika pendeta yang terakhir pernah melihat satu kelompok nazi muda berbaris dengan komitmen yang sungguh-sungguh kepada hitler (pimpinannya), dan berfikir bahwa kuasa rohani demikian berasal dari komitmen. Laporan konselor menjadi lebih menarik dalam hal lain – seperti kebenaran umum, prinsip moral, atau kotbah minggu berikutnya-lalu dia di dalam jemaat, konseling itu mulai memasuki jalur akhir.
Miss Smith : Aku kira, aku takut akan tahu apa yang harus kulakukan, dan hal itu memerlukan sedikit pengorbanan juga, tetapi aku masih berfikir bahwa jika aku sudah memiliki sesuatu seperti ini saat ayahku meninggal, aku seharusnya sudah memiliki sesuatu sebagai gantungan. Hal itu mengerikan. Aneh bagaimana aku dapat mengalami tahun-tahun ini dan kemudian merasa bahwa aku sudah menemukannya sekarang.
Pendeta : Tetapi engkau merasa sudah menemukannya sekarang.
Komentar pendeta sedikit melebihi daripada yang dikesankan Miss Smith. Ketika beberapa komentar kembali, dia membuat kesalahan dengan membiarkan keraguannya tetap ada, ia mengatur jalan untuk dirinya sendiri hinga ia hampir memaksa untuk mengikuti. Dalam komentar ini Miss Smith hampir mengatakan dia sudah menemukan apa yang dia cari, tetapi tidak cukup. Pendeta itu sekarang dengan jelas mengarah kepada satu sisi konflik. Hal ini mungkin sebagai komentar yang berikutnya, biarkan Miss Smith nyaman dengan semuanya yang sekarang mulai baik. Tetapi bisa jadi kembali kekeraguannya karena dia belum mendapatkan kepuasan atas keraguannya yang masih ada tersebut. Salah seorang pendeta. Memberikan tanggapan yang luar biasa ketika ia berkata, ”engkau memiliki rasa kehilangan yang belum terobati sebelumnya.”
Miss Smith : Aku kira aku tahu apa yang harus ku lakukan. Aku takut bahwa aku keluar dari keramaian dan benar-benar menjamah Kristus dengan cara baru. Aku tahu aku harus melakukan sesuatu tentang hal itu.
Pendeta : Engkau yakin bahwa engkau dapat belajar untuk melakukannya seperti engkau berlatih melakukan hal itu.
Hal ini akan baik jika pada tanggapan sebelumnya pendeta tidak menolak untuk mengakui hal keraguan masih ada, dan tidak dapat diabaikan hanya karena tidak dapat mengenalinya. Pendeta yang lain berkata, ”engkau siap untuk bertindak.” yang kedua, ”engkau lihat apa yang harus engkau lakukan.” Tetapi tidak berhubungan dengan yang satu ini, ”ya, tetapi hal itu tergantung pada keramaian itu. Mungkin engkau dapat menjadi seorang pengarah yang baik atas mereka. Lalu suara autoritaria mengatakan, lalu keyakinan itu diundangkan.” dan konsepsi yang menggunakan bahasa teologi memiliki dampak yang ajaib, ”Kristus akan membuat itu mungkin untuk engkau melakukannya.”
Miss Smith : Ya aku yakin akan hal itu. Aku kira hal ini hanya menyangkut keinginan untuk melakukan apa yang diperintahkan berikutnya.
Pendeta : dan engkau siap untuk melakukannya.
Kembali lagi, Miss Smith membantu mengingatkan keraguan yang masih dimilikinya, tetapi mengatakannnya tidak jelas karena arahan nya sebelumnya tidak dikenali. Beberapa pernyataan seperti yang berikut, walau pada tahapan ini, mungkin belum membuka jalan bagi Miss Smith untuk membicarakan keraguan yang masih ada : ”dan harapan mu engkau sudah yakin atas keinginanmu.” Faktanya menunjukkan jika ketakutan dan keraguan masih ada, walaupun berkurang melalui wawancara sebelumnya, hal itu akan menjadi penyebab kesulitan berikutnya bagi Miss Smith. Faktanya bahwa pendeta hanya memperhatikan keraguan umum dan gagal untuk mengenali yang lain yang dapat mengakibatkan kesulitan baru hingga dia datangi kembali. Dia sudah memperlihatkan bahwa dirinya mengerti dan menolong akan hal-hal besar, sehingga mereka bicara, tetapi juga sedikit tidak sabar dan berat sebelah setelah hal besar didiskusikan.
Miss Smith : Aku tahu apa yang harus ku lakukan
Pendeta : Bagus.
Selamat jalan sudah disampaikan. Hal ini berarti bahwa Miss Smith memiliki kesimpulan atas situasi tersebut dalam hal tanggung jawab, apa yang harus ia lakukan, bukan dalam arti ia bermaksud melakukan apa atau apa yang mau ia lakukan. Ini karena pendeta itu, setelah menunjukkan pengertian yang sempurna pada tahap awal dan melihat bahwa ia sudah belajar menuju sisi yang benar dan menurutnya ”baik”, memutuskan untuk mengabaikan yang lain dari dia yang tidak menguatkan pada keputusan yang ”baik”. Hasilnya adalah Miss Smith membuat keputusan yang dia pikir harus dia lakukan, tetapi tidak dengan seluruh aspek positif yang seharusnya mungkin dipertimbangkan dalam mengambil keputusan karena pendeta tidak mempertimbangkan keraguan kecil yang dimiliki sebagaimana terhadap keraguan yang lebih besar. Sekalipun pendeta nyata pintar tentang konseling, oleh karena itu, wawancara hanya berhasil setengah. Secara khusus hal ini tidak berhasil karena keraguan dan kesulitan Miss Smith kemungkin yang terjadi pada bagian ini ia merasa pendeta. akan berfikir terlalu kecil untuk dianggap serius, oleh karenanya peluang dia (Miss Smith) untuk kembali adalah kecil. Cara itu tidak dibiarkan terbuka.
II. SOLUSI SEMENTARA
Beberapa solusi sementara dari wawancara akan digambarkan berikut ini :
1. Proses konseling yang memfokuskan perhatian pada situasi anggota jemaat dan perasaan mereka akan hal tersebut.
Proses konseling yang fokus pada situasi dan perasaan Jemaat dilakukan dengan memberikan dorongan (bukan pengalihan) kepada konsili untuk mengungkapkan apa yang dia butuhkan dan bagaimana dia dengan bebas mengungkapkan perasaannya. Cara terbaik untuk ini adalah dengan menggunakan kata tanya Engkau didam setiap pertanyaan sehingga konsili dalam menjawab selalu mengatakan Saya yang akan mengarah kepada perasaan yang bersangkutan (Lihat Pdt. 8 bandingkan dengan Pdt. 5)
2. Konseling dihasilkan melalui pengertian sebenarnya oleh Pendeta bagaimana perasaan anggota jemaat tentang situasi, dan melalui komunikasi atas situasi sebenarnya yang dipahami.
Bagaimana memahami perasaan konsili atas situasi yang dihadapinya melalui komunikasi untuk dapat memahami keadaan konsili tidak hanya degan menggunakan intlektualitas tetapi juga dengan aspek perasaan. Sebagai contoh Pdt. yang memberi jawaban, ”jangan takut lakukanlah.”telah kehilangan sisi emosionalnya, sekalipun secara intlektual ia telah mendapatkan intinya. Pdt 2 merupakan contoh buruk, bukan hanya karena ia mengalihkan tetapi juga karena adanya kebingungan ke arah pertanyaan yang menyamaratakan.
3. Ketika rasa pertentangan konsili muncul didalam konseling, pendeta memberi pertolongan pertama kepada anggota jemaat dengan menjelaskan dasar-dasar pertentangan tersebut dan hubungan mereka yang menarik menurut dia.
Dalam kasusu Miss Smith hingga bagian tertentu (C) terjadi pertentangan perihal pengalaman, pada satu sisi ia mengatakan jika ia memiliki pengalaman yang mendalam atas keyakinan, hal itu akan berdampak besar dan sangat bernilai dalam perubahan hidupnya, tetapi pada sisi lain dia tidak yakin bahwa orang biasa membutuhkan pengalaman seperti itu. Tanggapan salah seorang pendeta memperlihatkan bahwa ia tidak hanya menerima perasaan Miss Smith sebagai suatu fakta dan memahami apa yang coba disampaikan olehnya tetapi juga mengkomunikasikan pengertiannya atas dasar-dasar konflik seperti yang dipahami oleh Miss Smith. Dia mengatakan, ”Engkau tidak yakin hal itu untuk mu, sebelum engkau yakin hal itu akan membuat suatu perbedaan dalam hidupmu.” Pengenalan kedua dasar-dasar didalam konflik sejauh yang mereka nyatakan pada bagian ini dan pernyataan ulang lisan sebagai kontribusi mereka untuk menjelaskan.
Kotbah tak disengaja adalah bahaya paling serius dalam hal ini dalam konseling. Dalam tanggapannya pada bagian A Pdt. 1 berkata, ” Engkau sudah melakukan hal yang bijak untuk tidak mengikuti jalan itu.” Dia tidak mengarah ke moralitas. Dia hanya tidak tahu adanya cara untuk menghasilkan selain dengan membuat keputusan atas semua yang sudah datang. Pdt. 4 menggambarkan suatu pertimbangan moral dengan jelas kitika ia mengatakan, ”Ayahmu hidup didalam hidupnya dan engkau memiliki hidupmu sendiri.” dalam kedua kasus ini pertimbangan moral telah digunakan sebagai pengganti dari pengertian; dan seiring dengan waktu pria ini mendapatkan hal yang dijelaskan seperti yang dibutuhkan, mereka sejauh ini telah berada pada satu sisi konflik walaupun pada sisi yang lain tidak dapat dijelaskan. Tidaklah mengejutkan mendapatkan bahwa pendeta mengatakan setelah C, pernyataan Miss Smith yang pertama dia mulai dengan menetapkan dasar-dasar didalam konflik, ” Ya, Yesus datang menolong orang biasa.” Setelah pertimbangan moral yang dikatakan kepadanya dengan pasti bagaimana seharusnya perasaannya, dan yang menyatakan secara tidak langsung bahwa dia disalahkan jika dia tidak merasa demikian, kita hampir tidak dapat melihat besarnya dorongan buat Miss Smith untuk mengeluarkan sisi lain dari situasinya dan meminta pertolongan untuk hal itu. Seperti Firman Tuhan, ”Dia menjawab sesuatu sebelum dia mendengarkannya, itu adalah kebodohan dan memalukan bagi dia.” dan kita dapat menambahkan, hal itu dengan penuh kekuatan membuat frustasi orang yang dia jawab.
Adalah menarik untuk menebak mengapa pendeta kita mempunyai kegemaran memberikan pertimbangan moral walaupun ketika hal itu dengan jelas menggagalkan tujuan yang lebih besar. Untuk hal yang lebih luas hal ini menyatakan suatu rumusan kebiasaan umum, yang membangun sebagian besar perhatian kita untuk melihat apakah itu benar dan salah tentang dunia dimana kita hidup dan sebagian dari fakta bahwa orang dengan tidak sadar mengharapkan kita untuk melakukan pendekatan demikian melalui jalan pertimbangan moral. Kita mengkotbahkan tentang kriteria benar dan salah, dan hal yang sejenis. Tetapi hampir tek kentara, jika tidak kita berhati-hati, hal ini menjadi pandangan utama kita. Kita lupa, ”Keputusan belum, adalah belum diputuskan,” dan menjadi lebih kuatir dengan dosa dari pada dengan orang yang berbuat dosa (pendosa).
4. Hubungan konseling berisi suatu jenis khusus kebebasan atas bagian dari anggota jemaat (konsili) dan juga suatu jenis khusus pembatasan.
Cara terbaik untuk memahami keduanya adalah melalui keduanya yaitu konsili dan pendeta, lebih mungkin lagi adalah bila hubungan itu berhasil. Pembatasan dasar konsili adalah dia menerima tugaspendeta sebagai penolongnya untuk menolong dirinya sendiri, dan bukan untuk mengatakan kepadanya apa yang dilakukan atau justru bagaimana melakukan hal itu. Dengan kata lain, masalahnya adalah diterima-nya sebagai masalahnya dan bukan mendesak pendeta memberikan solusi. Ada beberapa pembatasan lain. Ada beberapa pembatasan atas waktu, saling pengertian. Sebuah wawancara jarang menjadi terbaik dan biasanya buruk jika konsili melanjutkan selama dua jam atau lebih. Ada pembatasan atas berbagai jenis, yang mana seluruhnya berpusat disekitar fakta bahwa pendeta tidak dapat menjadi ”digunakan”
Pemahaman atas pembatasan ini adalah penting didalam konseling, dan atas banyak kesempatan pendeta dapat menolong dengan penetapan dengan tegas pembatasan-nya, seperti contoh :
Mr. Ronald : Apa yang mau kulakukan adalah mengatakan kepada mu cerita, lalu mungkin engkau akan mempunya beberapa masukan (saran) terhadap apa yang dapat ku lakukan terhadap hal itu.
Pendeta : Aku bebas hingga pukul tiga, dan aku akan senang mendengar cerita itu. Aku tidak mendapatkan hal itu menjadi sangat berguna sesuai pengalamanku, bagaimanapun untuk menyarankan orang apa yang harus mereka lakukan. Tetapi hal itu sepertinya bermanfaat untuk menolong seseorang untuk melihat situasinya sedikit lebih jelas sehingga ia memiliki peluang terbaik untuk menangani hal tersebut oleh dirinya sendiri.
Mr. Ronald : Aku mengerti yang engkau maksud. Dan aku kira aku tidak mau hanya berkata tetapi melakukan. Bukankah, ini masalahku?, baikinilah situasiku ...
Tidaklah dapat sejak awal membuat pembatasan secara jelas dan nyata, tetapi seiring dengan berjalannya waktu maka keseimbangan dan saling pengertian akan semakin dipahami oleh kedua belah pihak.
Didalam hubungan dengan konseling bukanlah hanya pembatasan yang ada, tetapi kebebasan juga ada, yaitu kebebasan untuk menyampaikan isi hati dan pikiran juga kebenasan untuk tidak menyampaikan sesuatu yang dirasi tidak berkenan untuk disampaikan.Betty Smith seharusnya bebas sejauh dia memahami tanggapan pendeta. Dan membicarakan keraguannya dan keinginannya agar keyakinannya lebih teguh, dengan kata lain bahwa hubungan konseling tidak harus menjadi sejenis dibawa paksaan yang mana Miss Smith merasa dia harus membicarakan perasaan yang dia sendiri belum siap untuk membicarakannya.
Miss Smith berkata ia baru menyadari bahwa jika ia mendapatkan sesuatu yang lain didalam hidupnya, pertanyaan atas keyakinan dapat memeliharanya. Dia berkata dengan kata lain, bahwa ia mengetahui situasinya melebihi pertanyaan akan keyakinan. Kebebasan dalam hubungan konseling meliputi kebebasannya untuk tidak membicarakan sesuatu jika ia belum merasa siap untuk membicarakannya.
5. Proses Konseling harus meliputi, satu atau lebih kejadian yang sesuai, yang akan menolong dalam konsolidasi pengertian yang dicapai atau penjelasan yang dicapai.
Ada yang percaya bahwa konsolidasi ini adalah hanya tahapan lain dari klarifikasi, dan aku tidak membantah seperti sebuah klasifikasi. Tetapi apakah berjalan melalui kata atau hanya diambil, beberapa jenis konsolidasi berhubungan dengan proses koseling yang selalu muncul, sekalipun pendeta. Tidak mewaspadai hal itu.
Didalam kasus Betty Smith konsolidasi sepertinya sebagian besar sudah negatif. Akankah Betty datang menemui pendeta lagi? Jika tidak berarti apakah keduanya dia dan pendeta mengerti bahwa dia tidak akan datang? Masihkah ada saling pengertian? Sebagaimana halnya Betty pergi, kita tahu bahwa tidak ada pengaturan buat kontak lain yang dibuat, dan setelah analisa kita untuk perasaannya untuk meninggalkan, kita cenderung untuk percaya perlu waktu lama sebelum ia kembali. Jika dia sudah menentukan dia tidak datang kembali, atau dia dapat kembali kecaranya tanpa konseling lebih lanjut, atau buat sementara waktu dia dapat melakukan apa saja menurut dia, bukankah itu menjadi suatu konsolidasi penting, apasaja pengertian yang sudah dia capai jika dia berkata demikian atau mengatakan sesuatu dengan membuat perasaannya jelas tentang mengapa dia tidak kembali?
Konsolidasi bukanlah mempekenalkan ide baru, biasanya adalah ringkasan dasar-dasar dalam konflik seperti yang Miss Smith lihat, terhadap suatu batasan dasar dari adanya komentar tunggal dari dia dan yang sudah dilakukannya. Oleh karena itu hal itu dapat memperluas sudut pandang dalam hal klarifikasi yang dilakukan. Seperti suatu prosedur yang lebih cocok pada tahapan selanjutnya dalam hubungan konseling.